JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah memberikan pembebasan bersyarat kepada pimpinan Jamaah Ansharut Tauhid, Abu Bakar Baasyir, diminta untuk dikaji ulang. Jangan sampai alasan kemanusiaan yang dilakukan Presiden Joko Widodo justru dianggap sebagai langkah politis untuk meraih efek elektoral dari segelintir kalangan umat Islam.
Pengamat terorisme, Al Chaidar, mengapresiasi langkah pemerintah untuk memberikan pembebasan bersyarat kepada terpidana terorisme, Abu Bakar Baasyir, atas alasan kemanusiaan. Namun, ia menekankan, realisasi pemberian pembebasan bersyarat itu amat kompleks sebab Baasyir masih menolak menandatangani ikrar tertulis untuk setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu, kata Chaidar, rencana pemberian pembebasan bersyarat Baasyir itu juga ditentang oleh sebagian simpatisan dan anggota kelompok Baasyir. Menerima pembebasan bersyarat dan grasi dianggap telah bertentangan dengan akidah agama yang mereka yakini.
”Perlu waktu khusus agar pemberian pembebasan bersyarat tidak dicurigai berhubungan dengan pemilihan presiden untuk tujuan meraih suara kelompok Muslim. Jadi, sebaiknya proses pembebasan itu dikaji ulang, misalnya baru dilakukan setelah pilpres, yang penting niat itu sudah digulirkan sejak saat ini,” kata Chaidar yang dihubungi dari Jakarta, Minggu (20/1/2019).
Seperti diketahui, Yusril Ihza Mahendara, yang menjadi perwakilan Presiden Jokowi, menemui Baasyir di LP Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, Jumat (18/1/2019). Dalam pertemuan itu, Yusril menyampaikan rencana pemerintah untuk membebaskan Baasyir atas alasan kemanusiaan, pekan ini.
Berdasarkan penelusuran Kompas terhadap grup Whatsapp simpatisan Abu Bakar Baasyir, Minggu, muncul pernyataan bahwa Baasyir menolak dibebaskan sampai Pilpres 2019 selesai. Pernyataan itu dilengkapi dengan foto Baasyir yang memperlihatkan simbol jari salah satu pasangan calon presiden.
Menurut Chaidar, Baasyir yang telah menanggalkan afiliasinya dalam jaringan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) sehingga pengaruh gangguan keamanan yang dapat ditimbulkannya tidak sebesar ketika ia masih memimpin Jemaah Islamiyah, awal 2000-an. Di sisi lain, jaringan NIIS mayoritas dijalankan secara sendiri-sendiri. Alhasil, pengaruh pemimpin karismatik, seperti Baasyir, tidak lagi terlalu signifikan.
Namun, ia mengingatkan, andai Baasyir telah bebas, aparat keamanan masih perlu dilakukan pemetaan dan pemantauan terhadap aktivitas Baasyir.
”Ibaratnya, laron itu selalu terpusat pada sumber cahaya. Baasyir masih menjadi sumber cahaya itu sehingga pemantauan laron-laron itu diperlukan,” ujar Chaidar.
Tak ada persoalan hukum
Menurut peneliti antiterorisme Certified Counter Terrorism Practitioner, Rakyan Adibrata, pembebasan yang diberikan kepada Baasyir bisa dilakukan selama tidak ada permasalahan dari sisi hukum, terutama Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Sebab, Baasyir memerlukan penanganan yang lebik baik atas masalah kesehatannya. Alasan kemanusiaan itu pula yang mendasari pemerintah untuk memindahkan Baasyir dari LP Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, ke LP Gunung Sindur, April 2016. Selain itu, pemerintah juga telah memberikan penanganan medis kepada Baasyir ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Maret 2018.
Kalau kita mengabaikan hak-hak kemanusiaan, lalu apa bedanya kita dengan teroris? Tentu keputusan itu akan banyak penolakan, tetapi prinsip hak asasi manusia harus diutamakan.
”Kalau kita mengabaikan hak-hak kemanusiaan, lalu apa bedanya kita dengan teroris? Tentu keputusan itu akan banyak penolakan, tetapi prinsip hak asasi manusia harus diutamakan,” ujar Rakyan.
Ia menambahkan, pemberian pembebasan itu juga harus dibarengi dengan persyaratan yang harus dipatuhi, misalnya keluarga memberikan jaminan agar Baasyir secara pribadi tidak menyalahgunakan pembebasan itu untuk melakukan konsolidasi dengan para pengikutnya. Hal itu dilakukan untuk langkah pembebasan Baasyir tidak mengabaikan aspek keamanan.
”Pastikan Baasyir tidak menyalahkan kebaikan negara baik dilakukan oleh dirinya pribadi maupun keluarga. Perlu ada konsekuensi hukum bagi penjamin yang melanggar hal-hal yang dijanjikan kepada negara,” tutur Rakyan.