JAKARTA, KOMPAS – Pemberian remisi kepada narapidana dengan merujuk kepada Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi dinilai belum cukup optimal. Pemberian remisi tanpa memberikan prioritas kepada kategori narapidana tertentu akan kurang memberikan dampak signifikan pada upaya pemerintah menangani kepadatan hunian di lembaga pemasyarakatan.
Remisi idealnya diberikan dengan mempertimbangkan program prioritas, yakni dengan menitikberatkan pada kelompok napi tertentu. Pemberian remisi khusus saat hari besar keagamaan, misalnya, semestinya diikuti dengan pemberian remisi lanjutan bagi napi kategori khusus, seperti perempuan, anak, dan napi dalam kasus tindak pidana yang tidak serius.
Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Ade Kusmanto, Selasa (25/12/2018) di Jakarta, mengatakan, untuk natal tahun ini sebanyak 11.232 napi kristiani mendapatkan remisi atau pengurangan masa hukuman. Dari jumlah itu, 160 orang di antaranya dapat langsung menghirup udara bebas, 25 Desember 2018, karena sisa masa hukumannya terpotong habis dengan pemberian remisi khusus tersebut. Adapun 11.072 napi lainnya masih harus menjalani sisa hukuman.
“Salah satu di antaranya adalah mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Ia diusulkan mendapatkan remisi khusus natal 1 bulan. Bila dihitung dengan total remisi sebelumnya, Ahok mendapatkan potongan hukuman 3 bulan 15 hari,” kata Ade.
Ahok diperkirakan bebas pada 24 Januari 2019 bila masa penahanannya sejak 9 Mei 2017 dikalkulasikan dengan remisi yang diperolehnya.
“Remisi diberikan kepada Ahok sampai waktu yang telah ditetapkan menunggu surat keputusan Menkumham, dengan syarat Ahok konsisten menaati segala peraturan selama masa pidananya,” kata Ade.
Dalam keterangan persnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yassona H. Laoly mengatakan, pemberian remisi ini diharapkan bisa memberikan harapan bagi napi untuk terus memperbaiki diri. Semakin cepat mereka memperbaiki diri, maka semakin cepat pula mereka berintegrasi kembali dengan masyarakat.
“Hal ini sejalan dengan sudut pandang sistem pemasyarakatan yang melihat pemidanaan harus mengedepankan pada aspek pendekatan pembinaan, agar mereka dapat bertobat dan sadar atas kesalahan yang dilakukan,” katanya.
Di sisi lain, pemberian remisi juga bisa mengurangi beban negara dalam pemeliharaan napi. Dari remisi khusus Natal Tahun 2018 saja, Ditjen Pas mencatat ada penghematan uang negara sebesar Rp 4,7 miliar.
Optimalisasi remisi
Kendati demikian, mekanisme pemberian remisi menurut peneliti Peneliti Center for Detention Studies (CDS) Gatot Goei seharusnya bisa dioptimalkan guna membantu negara mengatasi kepadatan hunian (overcrowded) di lapas atau rumah tahanan, potensi kerusuhan, dan besarnya beban pemeliharaan napi.
“Jangan terlalu berharap banyak apabila kebijakan pemberian remisi dilaksanakan oleh lapas atau rutan saja, karena tanpa program prioritas Kemenkumham, dan pengawasan dalam pelaksanannya, petugas di bawah akan sulit melaksanakan pemberian remisi dengan optimal,” kata Gatot.
Keppres Nomor 174/1999 tentang Remisi memang hanya mengatur tiga jenis remisi, yakni remisi umum pada Hari Kemerdekaan 17 Agustus, remisi khusus pada hari besar keagamaan, dan remisi tambahan bagi napi yang dinilai berjasa kepada negara. Namun, menurut Gatot, program prioritas bisa dilakukan oleh Kemenkumham untuk mendorong lebih banyak napi mendapatkan hak mereka atas pemotongan pidana.
“Napi kategori khusus, seperti perempuan, anak, dan napi dalam kasus tindak pidana yang tidak serius, misalnya, bisa mendapatkan prioritas menerima remisi dalam jumlah besar, sehingga dampaknya signifikan dalam pengurangan beban penjara,” ujarnya.