JAKARTA, KOMPAS – Intoleransi politik yang cenderung menguat di Indonesia perlu diatasi dengan menyelesaikan persoalan struktural yang memungkinkan berkembangnya praktik politik konservatif tersebut. Kegagalan mengatasi politik identitas tidak hanya buruk bagi demokrasi, tetapi juga dikhawatirkan bisa menganggu bangunan keindonesiaan yang plural, lantas menimbulkan konflik.
Setelah reformasi tahun 1998, cita-cita untuk mewujudkan sistem demokrasi yang berorientasi pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat masih belum tercapai. Tidak hanya itu, praktik demokrasi elektoral juga berhadapan dengan penguatan politik identitas, ujaran kebencian, serta penyebaran disinformasi.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Amin Mudzakkir dalam diskusi “Quo Vadis Demokrasi: Mekanika Elektoral dalam Arus Politik Identitas” yang diselenggarakan Para Syndicate di Jakarta, Jumat (07/12/2018) menuturkan, hasil riset LIPI menunjukkan intoleransi politik yang tinggi di Indonesia disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, tingginya perasaan terancam dan ketidakpercayaan. Sebagian komponen masyarakat mempercayai bahwa kelompok agama lain mendoninasi kehidupan publik.
Faktor kedua, tingginya fanatisme keagamaan, sedangkan faktor ketiga penggunaan media sosial yang berdampak signifikan dalam menaikkan fanatisme keagamaan dan perasaan terancam. Intoleransi politik ini dilihat dari tingkat keberterimaan terhadap perbedaan agama dari sisi lingkungan, maupun dalam memilih pemimpin. Amin menilai konservatisme politik di Indonesia memang berasal dari fanatisme keagamaan, tetapi dia juga meyakini resep penyembuhnya juga keagamaan. Ini terlihat misalnya, dari munculnya Nahdlatul Ulama sebagai suara dominan dalam diskursus publik yang menolak intoleransi politik.
Budayawan Mohamad Sobary menuturkan bahwa dari perspektif sejarah, politik identitas bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Di era Orde Lama, pada tahun 1950-an dan tahun 1960-an, politik identitas juga banyak muncul. Agama, kata dia, sudah dijadikan sebagai isu politik untuk “membakar” keadaan. Bahwa politik identitas kembali muncul di era masa kini, dia menyampaikan, bukan tidak mungkin hal ini sudah menjadi bagian dari tradisi politik Indonesia.
Kendati sependapat dengan Sobary bahwa politik identitas bukan hal baru di Indonesia, tetapi pengajar politik dari President University Jakarta, Muhammad AS Hikam mengingatkan bahwa politik identitas saat ini tidak sama dengan masa lalu. Politik identitas di masa kini semakin personal, serta juga terhubung dengan gerakan ideologi transnasional.
Dia berpendapat perkembangan politik identitas kontemporer ini bisa dilihat dari struktur global dan nasional. Globalisasi yang di satu sisi meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara di Asia, Eropa, dan Amerika, di sisi lain juga meningkatkan jurang kesenjangan. Hal ini menimbulkan protes keras yang diwarnai dengan identitas agama, feminisme, dan gerakan buruh. Di tingkat nasional, keterbukaan pascareformasi juga memberikan konsekuensi yang tidak diinginkan dengan masuknya berbagai ideologi. Sementara itu, dari sisi ekonomi, tidak ada perubahan mendasar dari masa Orde Baru. Masyarakat juga menghadapi persoalan ekonomi.
Selain itu, juga terjadi kegagalan pelembagaan politik. Reformasi politik terhenti pada formal politik di mana demokrasi berjalan tetapi tanpa formula perbaikan substansial, sehingga menyebabkan kemunduran kualitas demokrasi. Indikatornya, semakin rendahnya kepercayaan publik terhadap Dewan Perwakilan Rakyat dan partai politik. Parpol dan DPR terkesan semakin tidak perduli dengan publik, lebih mementingkan partai dan dirinya sendiri sehingga berperilaku koruptif. Akibatnya, publik merasa teralienasi, menghadapi kekosongan harapan, sehingga mencari alternatif. Politik identitas kemudian menjadi alternatif yang paling mudah. AS Hikam mendorong ada upaya struktural untuk mengatasi persoalan ini.
“Saya tidak khawatir dengan Pemilu 2019, tetapi setelah 2019 khawatir bangunan Indonesia kalau sampai diubah sistem menjadi sangat sarat politik identitas, melupakan Pancasila, basis bangsa plural. Bisa kacau balau. Minimal terjadi konflik terus menerus. Terlalu mahal. Ini jangan dianggap remeh, juga jangan terlalu alarmist,” katanya.