JAKARTA, KOMPAS — Keluarga korban Peristiwa Semanggi I meminta pemerintah menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia berat melalui proses hukum. Pemerintah diminta mengambil langkah konkret agar penyelesaian kasus tersebut tidak terlunta-lunta.
Hal tersebut disampaikan Sumarsih, ibunda Bernardinus Realino Norma Irmawan (Wawan), korban Peristiwa Semanggi I. Ia mengatakan, penyelesaian kasus Semanggi I sudah terlampau lama dibiarkan hingga 20 tahun. Keluarga korban berharap kasus ini segera diselesaikan agar ada jaminan kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang.
”Tidak ada hal baru yang saya sampaikan. Di pengujung kepemimpinannya, langkah konkret apa yang bisa dilakukan presiden untuk menyelesaikan tragedi penembakan mahasiswa, baik pada kasus Semanggi 1, Semanggi 2, maupun Trisakti,” ujar Sumarsih dalam jumpa pers Memperingati 20 Tahun Tragedi Semanggi I di Jakarta, Rabu (14/11/2018).
Menurut dia, penyelesaian kasus ini mendesak dilakukan karena sudah terlampau lama dibiarkan. Selain itu, kasus ini perlu dituntaskan secara hukum sebagai wujud penghapusan impunitas. Sumarsih mengatakan, orang-orang yang bertanggung jawab atas kasus penembakan itu perlu dihukum sesuai undang-undang yang berlaku.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, hasil penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan bahwa terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan dalam kasus Semanggi I, Semanggi II, dan Trisakti.
Sumarsih meminta DPR tunduk kepada hal tersebut. Hal itu sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi No 15/PUU-V/2007, yang menyatakan bahwa terjadi atau tidak pelanggaran HAM berat ditentukan oleh Komnas HAM sebagai lembaga penyelidik.
”Mekanismenya sudah jelas di UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM. Jika terbukti ada pelanggaran HAM dari hasil penyelidikan Komnas HAM dan Kejaksaan sebagai lembaga penyidik, DPR membuat rekomendasi kepada presiden untuk menerbitkan kepres pembentukan pengadilan HAM ad hoc,” katanya.
Dalam mengupayakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, berencana membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Namun, rencana ini ditolak Komnas HAM, keluarga korban yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas untuk Korban Keadilan (JSKK), dan sejumlah aktivis HAM (Kompas, 13/8/2018).
Penyelesaian masalah yang dilakukan DKN melalui pendekatan non-yudisial atau tanpa proses peradilan. Hal itu yang tidak bisa diterima oleh keluarga korban.
”Penyelesaiannya seharusnya melalui proses hukum,” ujar Sumarsih.
Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Dimas Bagus Arya Saputra mengatakan, komitmen presiden untuk menyelesaikan kasus HAM berat dinanti di sisa masa kepemimpinannya. Presiden diminta untuk memberi tugas kepada Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti berkas penyelidikan yang sudah diserahkan oleh Komnas HAM.
Selain itu, ia mengatakan, presiden diminta untuk menghentikan segala upaya yang melenceng dari tujuan penegakkan hukum.
”Menghentikan mekanisme yang jauh dari nilai keadilan, seperti pembentukan DKN, penyelesaian dengan cara adat, dan penyelesaian secara musyawarah. Jalur itu berusaha untuk menyelesaikan kasus ini secara nonhukum atau non- yudisial,” ujar Dimas. (SUCIPTO)