Pertemuan Paguyuban Korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik bersama SAFEnet di Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali, Minggu (4/11/2018). Paguyuban Korban UU ITE mendesak pemerintah menghentikan segala bentuk kriminalisasi menggunakan UU ITE dan menghapuskan pasal-pasal karet dalam UU ITE.
BADUNG, KOMPAS – Paguyuban Korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik bersama Southeast Asia Freedom of Expression Network mendesak pemerintah agar menghargai dan menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat sesuai Pasal 28 E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Untuk itu, pemerintah didesak menghentikan segala bentuk kriminalisasi menggunakan UU ITE dan menghapuskan pasal-pasal karet dalam UU ITE tersebut.
Koordinator Paguyuban Korban UU ITE Muhammad Arsyad di Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali, Minggu (4/11/2018), mengatakan, negara mengakui kebebasan berpendapat dan berekspresi setiap warga negara berdasarkan UUD 1945. “Dalam UU ITE terdapat pasal-pasal karet yang digunakan sebagai senjata bagi penguasa atau pemilik modal untuk menjerat pengritik,” kata Arsyad.
Dalam catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), sejak UU ITE diundangkan tahun 2008 sampai 31 Oktober 2018, terdapat sekitar 380 kasus yang menggunakan UU ITE, terutama Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2 UU ITE. Sekitar 90 persen dari kasus jeratan dengan UU ITE, menurut SAFEnet, menggunakan sangkaan pencemaran nama baik dan sisanya dengan tuduhan ujaran kebencian.
Para korban jeratan UU ITE bersama SAFEnet menginisiasi pembentukan Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE) sebagai wadah bagi korban untuk saling menguatkan dan memberikan pendampingan, termasuk advokasi.
Sekretaris PAKU ITE Anindya Shabrina menambahkan, pasal-pasal karet dalam UU ITE digunakan aparatur dan penguasa sebagai alat untuk membungkam kritik. Pola pemidanaan dengan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE mengindikasikan adanya upaya barter kasus, balas dendam, ataupun persekusi kelompok. “Ada ketimpangan relasi antara terlapor dan pelapor dalam kasus UU ITE,” ujar Anindya.
Anindya adalah satu dari sejumlah korban penerapan UU ITE. Anindya menjadi terlapor kasus pencemaran nama baik karena mengunggah kronologi intimidasi, tindak kekerasan, dan pelecehan atas dirinya ke akun media sosialnya. Arsyad juga terjerat UU ITE lantaran tulisan status di BBM-nya. Selain mereka, hadir Deni Erliana dari Bogor yang terseret kasus defamasi atau pencemaran nama baik UU ITE lantaran tulisan pesan WA.
Dari laman kominfo.go.id, Pasal 27 Ayat 3 UU ITE menyebutkan melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Koordinator Regional SAFEnet Damar Juniarto mengatakan, SAFEnet menemukan pasal-pasal karet dalam UU ITE digunakan terhadap pihak yang menyampaikan kritik terhadap penguasa, menyatakan keluhan terkait hak-haknya, atau mengungkapkan dugaan korupsi. “Media sosial menjadi cara paling mudah menyampaikan hal tersebut,” kata Damar.
Menurut Damar, pasal-pasal karet dalam UU ITE memberikan celah hukum yang dapat digunakan untuk menjerat pihak yang mengkritik, menyampaikan keluhan, atau mengungkapkan indikasi korupsi. Dari catatan SAFEnet, ujar Damar, sekitar 90 persen dari seluruh kasus pidana dengan UU ITE itu bermula dari kritik yang disampaikan melalui media sosial.
“Kami dari SAFEnet akan mengangkat isu korban UU ITE ini sampai ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,” kata Damar.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.