JAKARTA, KOMPAS - Anggota Komisi I DPR, Fayakhun Andriadi, terancam dicabut hak politiknya selama lima tahun karena diduga menerima suap dari proyek pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut RI. Pidana tambahan ini dinilai sesuai meski yang bersangkutan mengakui dan menyesali perbuatannya, bahkan mengembalikan sejumlah uang yang diterimanya.
Dalam agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (31/10/2018), Jaksa Kresno Anto Wibowo menyampaikan hukuman tambahan tersebut berfungsi guna melindungi masyarakat untuk sementara waktu serta memberikan efek jera kepada terdakwa. ”Agar masyarakat tidak memilih kembali pejabat publik yang pernah berperilaku koruptif, juga memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk memperbaiki dan merehabilitasi diri. Maka dipandang perlu adanya pencabutan sebagian hak politik terhadap terdakwa dalam jangka waktu terentu terhitung sejak selesai menjalani pidana pokoknya” ujar Kresno.
Sementara untuk pidana pokok, Fayakhun dituntut pidana 10 tahun penjara dengan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Ia dinilai terbukti menerima uang terkait proyek pengadaan satelit monitoring bernilai Rp 222,4 miliar.
Sebelumnya, Fayakhun didakwa menerima 911.480 dollar AS dalam beberapa tahap melalui sejumlah rekening luar negeri. Antara lain, sebesar 100 ribu dollar AS dan 200 ribu dollar AS ke Zhejiang Hangzhou Yuhang Rural Commercial Bank Company Limited. Kemudian, sebesar 100 ribu dollar AS ke JP Morgan Chase Bank New York dan 500 ribu dollar AS ke JP Morgan International Bank Limited Brussels.
Dari penerimaan yang nilainya setara dengan Rp 12 miliar tersebut, Fayakhun telah mengembalikan Rp 2 miliar kepada KPK. Sisanya diungkapnya telah digunakan untuk keperluan pemenangan dirinya menjadi Ketua DPD Golkar DKI Jakarta dan sebagian ada yang mengalir untuk Musyawarah Nasional Golkar di Bali pada 2016.
Atas tuntutan ini, Ketua Majelis Hakim Franky Tumbuwun memberikan waktu sepekan untuk menyusun nota pembelaan. Fayakhun berencana menyampaikan pleidoi pribadi, begitu pula dengan penasihat hukum yang akan mengajukan nota pembelaan.
Putusan
Di hari yang sama, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta melalui Ketua Majelis Hakim Hariono menjatuhkan hukuman pidana 5 tahun 6 bulan penjara dengan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan kepada Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dan ayahnya, Asrun, yang merupakan mantan Wali Kota Kendari.
Keduanya dinyatakan terbukti menerima suap Rp 6,8 miliar untuk keperluan pemilihan Asrun sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara pada Pilkada 2018. Suap tersebut juga sebagai pelicin bagi kontraktor untuk memperoleh proyek infrastruktur di Kendari.