JAKARTA, KOMPAS – Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih berperan sebagai fasilitator dalam menghubungkan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengerjaan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1. Eni bahkan bertemu dengan pihak-pihak yang secara teknis akan mengerjakan proyek itu, bukan hanya dengan pengambil keputusan.
Peran Eni itu terungkap di dalam sidang lanjutan perkara dugaan suap dengan terdakwa Johannes B Kotjo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (18/10/218) di Jakarta. Empat saksi yang dihadirkan sebagai saksi mengaku pernah bertemu dengan Eni, kendati awalnya tidak mengetahui secara pasti peran anggota DPR dari Fraksi Golkar tersebut. Empat saksi yang bersaksi kemarin ialah Direktur Utama PT Samantaka Batubara AM Rudi Herlambang, Direktur Operasional PT Pembangunan Jawa Bali Investasi (PJBI) Dwi Hartono, Direktur Utama PT PJBI Iwan Agung Firstantara, serta mantan Kepala Divisi Pengembangan Regional Sulawesi PT PLN Batubara Suwarno.
Di dalam sidang yang dipimpin oleh ketua majelis hakim Lucas Prakoso, keempat saksi mengaku pernah bertemu dengan Eni. Ia berperan memfasilitasi pertemuan dan memudahkan kesulitan-kesulitan yang mungkin ditemui dalam pengerjaan proyek PLTU Riau-1.
Rudi mengaku pertama kali bertemu dengan Eni pada pertengahan 2017. Saat itu, Rudi dikenalkan dengan Eni oleh Kotjo di kantornya. Namun, saat itu mereka bertiga tidak berbicara mengenai proyek Riau-1. “Yang kami bicarakan saat itu soal pertambangan batubara. Bu Eni dikenalkan oleh Pak Kotjo sebagai orang yang memiliki kawan pengusaha tambang. ‘Ini kawan yang akan bekerja sama dalam pengelolaan tambang,’ kata Pak Kotjo. Waktu itu, ada kawannya yang mempunyai tambang,” kata Rudi.
Namun, ketika jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ronald Worotikan menanyakan lebih jauh apakah pernah Rudi diberi atau ditawari fasilitas oleh Eni, Rudi membenarkannya.
“Pernah. Waktunya saya tidak ingat. Kalau tidak salah saat itu terdakwa (Kotjo) sedang pergi ke Jerman, tahun 2017. Saya ditelepon oleh Bu Eni. Tetapi saya tidak berani, sebab saya harus meminta persetujuan terdakwa. Arahan saya jelas dari pimpinan, dan saya tidak punya tugas selain mengurusi hal-hal teknis. Persoalan non-teknis bukan bagian saya,” kata Rudi.
Melalui telepon itu, Eni mengajak Rudi untuk bertemu dengan pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN). Namun, Rudi mengaku tidak tahu pada awalnya apa tujuan pertemuan itu. Ia pun mengaku menolak tawaran Eni tersebut. Peran Eni sebagai fasilitator makin jelas setelah Kotjo pulang dari Jerman. Kotjo menginformasikan kepada Rudi bahwa Eni akan membantu PT Samantaka dalam proyek Riau-1.
“Saya tanya (kepada Kotjo) dalam hal apa (bantuan itu)? Dijawab, misalnya kalau ada pertemuan barang kali bisa membantu, hanya memfasilitasi pertemuan saja. Selanjutnya saya tidak tahu. Setiap ada momen pertemuan, saya tidak ikut,” katanya.
“Tadi Saudara bilang, ‘Bu Eni bantu kita, termasuk untuk fasilitas ke PLN.’ Memangnya Eni ada koneksi di PLN?” tanya Jaksa Ronald.
“Saya tidak tahu Pak. Yang saya tahu, Bu Eni anggota DPR saja. Selanjutnya soal itu beliau tidak pernah bicara,” kata Rudi.
Saksi lainnya, Dwi Hartono juga mengaku pernah bertemu Eni. Ketika itu, Eni berada di dalam ruangan Direktur Utama PLN Sofyan Basir bersama dengan Kotjo dan Direktur Pengadaan PLN Supangkat Iwan Santoso.
“Saya melihat seorang perempuan berjilbab dan memakai kacamata. Saya awalnya tidak mengenal siapa perempuan itu. Entah yang mengenalkan kepada saya apakah Pak Sofyan ataukah Pak Iwan, saya lupa. Ketika itu Januari 2018. Waktu itu dikenalkan juga kepada Pak Kotjo, bahwa dia dari Blackgold Natural Resources (BNR),” kata Dwi.
Percepat proyek
Iwan Agung juga pernah bertemu dengan Eni pada 19 Desember 2017. Seperti halnya Dwi, Iwan Agung juga dikenalkan dengan Eni oleh Supangkat Iwan Santoso. Ketika itu, Eni menginginkan proyek PLTU Riau-1 cepat diselesaikan. “Awalnya kami tidak tahu peranan Bu Eni. Tapi pada tanggal 19 Desember 2017, kami bertemu dengan Bu Eni. Saya menduga Bu Eni ingin proses ini cepat, karena saat itu ada yang belum disetujui antara PJBI dengan investor (China Huadian engineering),” katanya.
Iwan mengaku baru tahu peranan Eni sebenarnya dalam pertemuan-pertemuan itu setelah ada peristiwa penangkapan tangan oleh KPK.
Kotjo didakwa menyuap Eni Rp 4,750 miliar untuk memuluskan upayanya mendapatkan proyek pengerjaan PLTU Riau-1. Pemberian itu dilakukan dalam empat tahap
Dalam kasus ini, Kotjo didakwa menyuap Eni Rp 4,750 miliar untuk memuluskan upayanya mendapatkan proyek pengerjaan PLTU Riau-1. Pemberian itu dilakukan dalam empat tahap. Dari jumlah itu, Rp 2 miliar di antaranya digunakan Eni untuk membiayai kegiatan-kegiatan pra-munaslub dan munaslub Golkar, dan Rp 2 miliar lainnya digunakan untuk kepentingan pribadinya. Sebanyak Rp 550 juta lainnya dipakai untuk membiayai suaminya maju dalam Pilkada di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Kotjo tidak membantah keterangan para saksi. Ia hanya menambahkan keterangan saksi tentang jaminan negara dalam proyek PLTU Riau-1. “Yang perlu digarisbwahai ialah proyek PLTU Riau-1 ini tidak ada jaminan dari negara. Biasanya kalau proyek-proyek seperti di Jawa itu semua ada guarantee (garansi) dari negara,”ujar Kotjo.