JAKARTA, KOMPAS — Tersangka perkara suap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Eddy Sindoro, akhirnya menyerahkan diri ke Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat (12/10/2018). Alasan keamanan membuat Eddy hampir dua tahun berpindah-pindah dalam pelariannya.
Sekitar pukul 14.30, Eddy tiba di KPK Jakarta setelah diterbangkan dari Singapura. Kembalinya Eddy berawal dari komunikasi antara kolega Eddy dan mantan pemimpin KPK, Taufiqurrahman Ruki, akhir September 2018. Ruki mengontak Atase Kepolisian KBRI Singapura yang selanjutnya berkoordinasi dengan KPK hingga proses pemulangan.
”Apakah dia merasa terancam atau ada ancaman? Saya tidak tahu. Semata-mata saya sebagai senior KPK untuk membantu. Saya bukan mediator, hanya menghubungkan dengan KPK. Tapi baru tadi malam, Eddy serahkan diri. Lalu petugas KPK berangkat pagi-pagi untuk menjemput,” kata Ruki saat jumpa pers di KPK Jakarta, Jumat (12/10/2018).
Kehadiran Ruki dalam konferensi pers yang digelar KPK tersebut juga atas permintaan pihak Eddy. ”Jaringan saya bilang, \'Untuk meyakinkan, saya minta Bapak muncul ke KPK\'. KPK mempersilakan, baik saya datang,” ungkap Ruki. Setibanya di KPK, Eddy langsung menjalani pemeriksaan intensif.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengonfirmasi persoalan keamanan menjadi pertimbangan pihak Eddy sehingga memilih menghubungi Ruki terlebih dahulu. Selanjutnya, KPK dibantu otoritas Singapura, Polri, Imigrasi, dan KBRI Singapura dalam proses ini.
Pascapenyerahan diri Eddy ini, KPK berencana mengembangkan perkara antara keterkaitan pengacara Lucas dan bekas Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, yang namanya turut disebut dalam persidangan Panitera PN Jakpus Edi Nasution. ”KPK berharap sikap kooperatif yang telah ditunjukkan hari ini dengan menyerahkan diri dapat dilanjutkan sampai selesai menjalani proses hukum,” kata Saut.
Eddy ditetapkan sebagai tersangka pada Desember 2016, setelah sempat dicegah bepergian keluar negeri sejak Mei 2016. Kendati demikian, Eddy sudah lebih dahulu berada di luar negeri. Oleh karena itu, Eddy tidak pernah hadir saat dipanggil KPK, baik sebagai saksi maupun saat sudah berubah statusnya menjadi tersangka.
Eddy sempat ingin kembali sekitar 2017. Akan tetapi, hal itu urung dilakukan. Sepanjang 2016-2018, Eddy pun berpindah-pindah dari Bangkok, Malaysia, Myanmar, hingga Singapura. Pada Agustus 2018, KPK akhirnya meminta untuk penetapan daftar pencarian orang terhadap Eddy.
”Tanggal 29 Agustus, yang bersangkutan pun dideportasi untuk dipulangkan ke Indonesia. Tapi setibanya di Soekarno-Hatta, ESI kembali terbang ke Bangkok yang diduga tanpa melalui proses imigrasi,” ujar Saut.
Dugaan menghalangi
Hal ini yang membuat pengacara Lucas ditetapkan sebagai tersangka sejak 1 Oktober 2018 oleh KPK atas dugaan menghalangi penanganan perkara karena membantu Eddy batal kembali ke Tanah Air.
Perkara ini berawal dari penangkapan mantan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution pada April 2016. Edy ditangkap setelah menerima suap dari Doddy Aryanto Supeno, yang merupakan perantara salah satu kelompok usaha besar di Indonesia.
Suap sebesar Rp 1 miliar dalam bentuk dollar Singapura, Rp 150 juta, dan 50.000 dollar AS tersebut digunakan untuk melancarkan kasus sengketa hukum dari perusahaan yang berkaitan dengan jaringan konglomerasi tersebut. Ada sejumlah kasus yang diurus Doddy kepada Edy atas perintah dari Eddy Sindoro, antara lain pembatalan permohonan eksekusi lanjutan atas tanah yang telah dikuasai PT Jakarta Baru Cosmopolitan, penundaan aanmaning perkara niaga PT Metropolitan Tirta Perdana, dan pengurusan peninjauan kembali PT Across Asian Limited yang sudah melewati batas waktu.