JAKARTA, KOMPAS — Korupsi kecil-kecilan atau petty corruption di sektor pelayanan publik di Indonesia masih menjadi persoalan yang harus diatasi oleh para pemangku kepentingan. Diperlukan penguatan prosedur operasional terstandar dan pengetatan pengawasan untuk meminimalisasi praktik sogok, pemerasan, dan pungutan liar agar dampak merusak korupsi skala kecil tetapi masif ini bisa ditekan.
Indeks Perilaku Anti-Korupsi (IPAK) 2018 yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) di Jakarta, Senin (17/9/2018), mencapai 3,66, sedikit turun dari tahun 2017 yang mencapai 3,71. Dalam skala 0-5, semakin besar nilai, semakin tinggi sikap antikorupsi. Nilai 3,66 masuk dalam kategori antikorupsi, tetapi belum mencapai kategori sangat antikorupsi (3,76 hingga 5). Pemerintah menargetkan pada 2019, IPAK bisa mencapai angka 4.
BPS menyusun indeks ini dengan menggunakan dua dimensi besar, yakni persepsi masyarakat yang berupa penilaian mereka terhadap perilaku antikorupsi di masyarakat serta pengalaman masyarakat. Dimensi pengalaman ini mencakup pelayanan masyarakat ketika berhubungan dengan 10 jenis pelayanan publik, di antaranya Perusahaan Listrik Negara (PLN), kepolisian, peradilan, layanan kesehatan, kantor desa atau kelurahan, dinas kependudukan dan pencatatan sipil, Kantor Urusan Agama, serta RT/RW.
”Dari sisi persepsi, ada peningkatan yang berkelanjutan sejak 2012. Artinya, dari sisi persepsi sudah sangat antikorupsi. Dari sisi pengalaman masih fluktuatif. Ada gap antara persepsi dan pengalaman,” kata Kepala BPS Suhariyanto.
Pada IPAK 2018, nilai persepsi mencapai 3,86. Angka ini naik secara bertahap setiap tahun sejak indeks ini diluncurkan tahun 2012. Saat itu, nilai dimensi persepsi 3,54, sedikit di bawah pengalaman yang tercatat 3,58. Namun, dalam kurun 2012-2018, nilai dimensi pengalaman turun-naik, dengan nilai terendah pada 2015, yakni 3,39, kemudian bertahap naik menjadi 3,60 pada 2017, lalu kembali turun menjadi 3,57 pada 2018.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Margo Yuwono mengatakan, fluktuasi pada dimensi pengalaman dalam IPAK 2018 bisa saja akibat sampel yang relatif kecil, tetapi juga bisa dijelaskan dari data yang menunjukkan porsi masyarakat yang mengakses layanan melalui perantara juga lebih tinggi dari tahun sebelumnya di beberapa jenis layanan, seperti KUA, kantor desa, PLN, peradilan, RT/RW, dan layanan kesehatan.
Akses layanan melalui perantara bisa dimaknai sebagai terjadi korupsi skala kecil. Selain itu, persentase masyarakat yang memberikan uang atau barang melebihi ketentuan dan menganggap hal itu lumrah juga naik dari 18,06 persen menjadi 19,61 persen pada 2018. Namun, persentase yang mengakses sendiri layanan publik dan mengaku membayar melebihi ketentuan turun pada 2018 dibandingkan 2017, hampir seluruh dari 10 jenis layanan publik yang diakses masyarakat.
Merata
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Oce Madril menilai praktik korupsi dalam skala kecil memang masih merata terjadi di banyak tempat. Hal ini yang menyebabkan terjadi kesenjangan antara persepsi antikorupsi masyarakat yang tinggi dan praktik keseharian di pelayanan publik. Menurut dia, kendati korupsi birokrasi pelayanan publik itu dari sisi jumlah kecil, umumnya merata di banyak tempat sehingga memberi daya rusak yang besar terhadap tatanan birokrasi.
”Apa-apa diukur dengan uang sogokan. Ini tentu merugikan hak warga negara. Ini bisa melahirkan diskriminasi dan ketidakadilan bagi warga yang tidak memberikan uang sogokan,” kata Oce Madril.
Menurut dia, perlawanan terhadap korupsi skala kecil itu harus dilakukan dengan terus membenahi prosedur pelayanan terstandar ketika aparatur birokrasi berhubungan dengan masyarakat. Hal ini juga perlu diikuti dengan pengawasan di wilayah-wilayah yang rentan konflik kepentingan, sogokan, dan pemerasan.