JAKARTA, KOMPAS - Pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang pertengahan tahun 2018 kian meningkat jika dibandingkan tahun sebelumnya. Ironisnya, aktor pelanggaran didominasi oleh masyarakat akar rumput yang distimulasi oleh elite politik. Penguatan perspektif kebinekaan dan peningkatan kapasitas kepolisian dibutuhkan di tengah dinamika kehidupan beragama agar fenomena itu tidak kian berlanjut, secara khusus pada Pemilu 2019 mendatang.
Berdasarkan penelitian Setara Institute for Democracy and Peace periode awal Januari hingga akhir Juni 2018, setidaknya terdapat 109 peristiwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dengan 136 tindakan pelanggaran. Jumlah itu meningkat dari periode yang sama di tahun 2017 lalu yang berjumlah 80 peristiwa pelanggaran (KBB) dengan 99 tindakan pelanggaran. Kedua penelitian itu diambil dari 20 provinsi di Indonesia.
Untuk laporan tengah tahun ini, pelanggaran KBB paling banyak terjadi di DKI Jakarta dengan 23 peristiwa. Kemudian, disusul sejumlah provinsi teratas yang lain, di antaranya Jawa Barat (19 kasus), Jawa Timur (15 kasus), Yogyakarta (9 kasus), Nusa Tenggara Barat (NTB) (7 kasus), Jawa Tengah (6 kasus), dan Sumatera Utara (6 kasus).
Adapun, urutan jenis tindakan pelanggaran KBB dari paling besar adalah intoleransi sebanyak 16 tindakan, lalu pelaporan penodaan agama (10 tindakan), ujaran kebencian (7 tindakan), dan diskriminasi (5 tindakan).
Pelanggar KKB didominasi oleh aktor non-negara, yakni individu (25 tindakan) dan kelompok warga (9 tindakan).
Direktur Riset Setara Institute Halili mengatakan, fenomena ini makin mengkhawatirkan karena pelanggar KBB sudah menguat di level masyarakat. Hal itu dinilai sebagai sebab-akibat dari politisasi suku, agama, ras, dan antar-golongan yang kerap dibawa oleh para elite politik.
"Artinya, masalah KKB ini seperti api dalam sekam, yang sesungguhnya sekarang terletak di warga. Ini bahaya kalau meledak suatu waktu. Mereka sudah berani mengekspresikan tindakan intoleran karena distimulasi oleh elit politik yang ingin menjatuhkan lawan politiknya," ujar Halili usai pemaparan "Laporan Tengah Tahun Kondisi KKB di Indonesia", di Jakarta, Senin (20/8/2018).
Apabila laporan tengah tahun 2018 ini ditelaah lebih dalam lagi, jumlah tindakan pelanggaran KBB memang paling sering terjadi pada bulan Februari, yakni 32 kasus. Diketahui, pertengahan Februari merupakan periode dimulainya kampanye Pilkada 2018. Jumlah pelanggaran itu berlanjut hingga Maret (23 kasus), April (22 kasus), Mei (13 kasus), dan Juni (8 kasus), sedangkan Januari hanya 11 kasus.
Halili menuturkan, pelanggaran KBB rentan terjadi ketika tahun politik berlangsung. Jika hal itu tidak ditangkal, pelanggaran serupa dapat mewarnai Pemilu 2019 mendatang.
"Larangan memilih pasangan calon yang tidak seagama dan kampanye-kampanye hitam akan marak kembali. Jiwa negara kita sebagai negara demokratis yang menjunjung bineka tunggal ika pun hilang begitu saja. Semua demi kepentingan politik elektoral," kata Halili.
Selain itu, Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menambahkan, tindakan pelanggaran yang perlu diantisipasi adalah ujaran kebencian jelang penyelenggaraan Pilpres 2019. Penggunaan media sosial akan semakin masif menjadi arena penyebaran dan pertarungan ujaran kebencian.
"Kami sangat berharap aparat keamanan sigap. Kalau tidak, ujaran kebencian akan menjadi tema sehari-hari yang bisa memecah belah kehidupan berbangsa dan beragama," ujar Bonar
Selain itu, menurut Bonar, perspektif kebinekaan juga perlu terus didorong, tidak hanya di pendidikan formal, tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat. Hal itu dapat dilakukan dengan terus mengintensifkan dialog antar-umat beragama.
Sejak dini
Secara terpisah, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Marsudi Syuhud mengatakan, kesadaran terhadap pentingnya hidup antar-umat beragama sudah sepatutnya ditanamkan sejak dini. Dengan demikian, keberagaman itu selalu mengedepankan moral dan akhlak, bukan fitnah atau ujaran kebencian.
"Bangsa kita sudah sepakat untuk hidup beragam, itu yang perlu dijaga. Perlu terus-menerus edukasi untuk bisa saling menghormati antar-umat beragama," tutur Marsudi.
Marsudi berharap, pada perhelatan Pilpres 2019 mendatang, para pendukung dan calon presiden-wakil presiden dapat ikut mewujudkan semangat keberagaman itu. "Jadi, jangan kemudian sama-sama saling mencari dan menjadi senjata untuk saling menusuk satu sama lain," ujarnya.