Tangan Letnan Dua Corps Penerbang/Cpn (K) Tri Ramadhani terus gemetaran kala pertama kali mengawaki helikopter latih jenis Hughes 300. Akibat kegelisahannya itu, pesawat yang dikendarainya tak kunjung stabil. Kejadian itu ia alami selama 10 jam penerbangan awal.
"Jadi, kayak ngamuk sendiri pesawatnya. Padahal, sebenernya pesawatnya gak kenapa-kenapa. Akunya saja yang tegang banget," kata perempuam yang biasa dipanggil Rani, sambil mengingat-ingat pengalaman pertamanya berlatih menjadi pilot di Lapangan Udara Skuardon 11/Serbu, Semarang, Jawa Tengah, Jumat (20/7/2018).
Rani merupakan salah satu dari tiga pelopor penerbang dari Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad). Dua teman yang lain adalah Letda Cpn (K) Feny Avisha dan Letda Cpn (K) Puspita Ladiba. Ketiga alumni Akademi Milliter (Akmil) 2017 itu sekaligus menjadi pencetak sejarah baru sejak Pusat Pendidikan Penerbang Angkatan Darat (Pusdik Penerbad) berdiri akhir tahun 1965.
Bagi Rani, kesempatan menjadi calon penerbang perdana di TNI AD adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Ia mengaku terpilih ikut dalam pendidikan penerbangan setelah melihat tes psikologi saat di Akmil.
"Nah, dari tes psikologi itulah hasilnya keluar kita masuk di Korps Penerbang Angkatan Darat. Kaget juga kenapa bisa ke sana," kata Rani yang kini kita melampaui empat puluh jam terbang.
Menjadi segelintir pilot wanita awalnya bukanlah hal mudah bagi dara asal Lahat, Sumatra Utara, itu. Kesulitan yang paling dialami adalah perubahan proses pendidikan dari pendidikan infanteri di Akmil ke penerbangan.
"Jadi, masih harus adaptasi. Biasa ngomongin senjata, sekarang nerbangin pesawat. Tapi, lama-kelamaan bisa menikmati, karena memang itu sudah bagian dari pada kita dan pilihan yang dipilihkan ke kita," ujarnya.
Pengalaman serupa juga dialami Puspita Ladiba. Awalnya, Diba mengaku kesulitan dan merasa takut untuk menerbangkan pesawat. Apalagi karakteristik pesawat yang harus diterbangkan juga berbeda antara heli dengan pesawat komersial.
"Kesulitan kita di sini, kita tidak punya referensi senior kita wanita jadi kita referensi ke yang laki-laki. Menerbangkan heli beneran juga tidak sama dengan simulator jadi sempat kagok," ujar wanita yang mengaku bukan berasal dari keluarga tentara, juga bukan dari kalangan penerbang.
Bahkan, saat waktu istirahat malam karena seharian penuh berlatih, Diba justru selalu terngiang untuk berlatih. Dia mengaku suara sang instruktur atau pelatih selalu terngiang di telinganya saat hendak tidur.
"Saya semenjak disini susah tidur, karena setiap tidur ingatnya bagaimana cara menebangkan helikopter dengan baik," kata Diba. "Latihan, latihan, latihan, itu yang selalu terngiang di telinga saya saat ingin tidur dan menyemangati saya."
Takut ketinggian
Feny pun juga hampir punya ketakutan yang sama. Sejak di akmil, ia agak punya rasa takut akan ketinggian. Ketakutan itu semakin kentara ketika dia harus menunggangi helikopter latih jenis Hughes 300 yang tidak ada pintu itu untuk kali pertama.
"Tadi tinggi banget, takut, pas kekiri kayak mau jatuh. Ketakutan banget apalagi gak ada pintunya kan. Sama instruktur dibilangin, kalau saya melawan malah bisa mual," kisahnya.
Namun, seiring berjalannya waktu, di waktu terbang juga 40 jam, Feny sedikit demi sedikit mulai bisa mengendalikan ketakutannnya. "Harus ikutin arah, badan kita harus ikut. Besok dicoba dan bisa," ujarnya.
Komandan Satuan Latihan Terbang Pendidikan, Letnan Kolonel (Cpn) Dwi Cahyono Budiarto, mengatakan, keberadaan tiga Kowad dalam pendidikan pilot menjadi yang pertama dalam sejarah Pusdik Penerbad.
"Sesuai kebijakan pimpinan bahwa wanita diberikan kesempatan untuk bisa bekerja di masing-masing bagian, termasuk pilot," ujar Cahyono.
Ketiga Kowad itu, kata Dwi, merupakan taruni Akmil yang dinilai memiliki kemampuan dalam bidang penerbangan.
"Kalau wanita itu memiliki kemampuan militan dan taktisnya bagus kenapa tidak. Kita butuhkan itu. Taruni lebih teliti, lebih detail, dan lebih bersabar dalam latihan," katanya.
Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) Letjen TNI Tatang Sulaiman berharap ke depan makin banyak kaum perempuan menjadi taruni dan bisa menjadi penerbang TNI AD.
"Taruni diutamakan karena ke depan mereka harus diberi kesempatan. Kita harus memberikan kesempatan yang sama pada perempuan kalau mau sama-sama punya andil untuk jadi tentara," katanya.