Waktu Membuat Mereka Berbeda
Saat reformasi bergulir, mereka bergerak beriringan dengan satu tujuan yang sama. Cita-cita itu pula yang mendorong mereka masuk partai politik dan parlemen. Namun dalam perjalanannya, kepentingan politik memisahkan mereka dan meredam idealisme yang dulunya menggebu-gebu. Mereka pun menguburkan asa publik akan perubahan dari kehadiran mereka di panggung politik.
Mereka yang dulu harus menerobos penjagaan ketat untuk bisa ‘menduduki’ gedung Wakil Rakyat, kini punya kursi harfiah untuk diduduki di gedung beratap hijau itu.
Pasca reformasi 20 tahun silam, sejumlah figur penggerak reformasi memilih bergabung ke partai politik, maju dalam pemilihan umum, dan terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat. Mereka yang dulu harus menerobos penjagaan ketat untuk bisa ‘menduduki’ gedung Wakil Rakyat, kini punya kursi harfiah untuk diduduki di gedung beratap hijau itu.
Dari hasil Pemilu Legislatif 2014 misalnya, publik melihat para mantan aktivis 1998, Budiman Sudjatmiko, Adian Napitupulu, dan Masinton Pasaribu terpilih menjadi anggota parlemen dengan kendaraan politiknya, PDI-P. Selain itu, ada pula Desmond J Mahesa yang memilih Partai Gerindra, serta Fahri Hamzah dengan Partai Keadilan Sejahtera.
Adanya keyakinan bahwa nilai-nilai yang dicita-citakan saat reformasi tak cukup jika hanya diperjuangkan dari luar sistem, melainkan harus dari dalam, menggerakkan mereka untuk terjun di dunia politik. Mereka pun memilih partai yang memiliki visi dan misi sesuai dengan ide yang diperjuangkan dulu saat menjelang reformasi.
“Saya ingin tahu bagaimana kondisi di dalam. Apakah selamanya saya menjadi aktivis parlemen jalanan atau parlemen formal dan mencoba membuat perbedaan? Meski ternyata, setelah saya ada di dalam, saya kaget,” tutur Desmond.
Mantan aktivis 1998 yang sempat diculik oleh Tim Mawar Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat itu bahkan tidak tanggung-tanggung, memutuskan bergabung dengan Partai Gerindra yang didirikan oleh Prabowo Subianto. Desmond hanya tersenyum saat ditanyakan tentang alasannya memilih Gerindra sebagai kendaraan politik.
“Sejauh ini, partai ini masih sesuai dengan semangat idealisme saya. Untungnya, sampai detik ini, partai ini belum jadi penguasa. Kalau berkuasa, entah bagaimana, karena kita semua tahu, power tends to corrupt,” ujarnya.
Masuknya para figur penggerak reformasi dengan idealisme mereka saat reformasi tak pelak sempat memunculkan harapan di kalangan publik, bahwa mereka akan membawa warna baru di politik Tanah Air.
Hanya saja, warna baru yang diharapkan itu tak kunjung terlihat. Mereka yang saat reformasi bergulir berangkat dengan tujuan yang sama, justru kini terpecah oleh perbedaan pilihan politik. Cita-cita dan tujuan reformasi yang dulu menggelora dan diperjuangkan bersama-sama pun tak ayal dikubur kepentingan politik jangka pendek. Ketika berjalan berpisah, cita-cita reformasi yang dulu mereka gelorakan seolah ikut redam.
Desmond mengatakan, seiring berjalannya waktu, dirinya dan rekan-rekan mantan aktivis 1998 kini sudah tidak lagi bergerak dalam satu jalan perjuangan. Ia mengibaratkan perbedaan jalan politik antara para mantan aktivis itu ibarat memilih memeluk suatu agama. Agama adalah jalan untuk mencapai tujuan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Agama yang dipeluk bisa saja berbeda-beda, tetapi tujuan semua agama itu satu dan sama.
Demikian pula, ujarnya, dalam perjalanan politik para mantan aktivis itu sekarang. Sikap politik mereka bisa berbeda mengikuti garis partai masing-masing, tetapi tujuannya satu. “Kami berbeda jalan, tapi tujuannya tetap untuk menjalankan dan menegakkan konstitusi,” kata Desmond.
Masinton Pasaribu yang memutuskan bergabung dengan PDI-P, dengan garis kebijakan dari partai berlambang banteng itu, tidak jarang berbeda pendapat dengan rekan-rekan aktivis 1998 lain yang bergabung di partai lain. “Perbedaan itu hanya dalam caranya saja. Namun saya meyakini tujuan kami masih sama, yaitu merealisasikan cita-cita reformasi,” kilah Masinton Pasaribu.
Idealisme dan cita-cita reformasi yang melekat di setiap mantan aktivis, ujarnya, tidak akan luntur. Namun, ia mengakui, dalam beberapa kasus, terpaksa diredam karena ada kepentingan politik praktis sebagai konsekuensi bergabung dengan partai. Apalagi, banyak mantan aktivis yang merasa tidak bisa melakukan apa-apa karena tidak mempunyai posisi yang cukup penting di partai untuk mendorong perubahan.
Hal itulah yang membuat para eks aktivis yang sekarang menjadi politisi gagal menjadi agen perubahan atau suara penengah yang rasional (voice of reason) di panggung politik. “Sekarang, harus ada yang kami dahulukan sebagai anggota partai. Setelah jadi politisi, bukan pemilik partai, kita harus ikut apa kesepakatan partai. Bukan berarti idealisme hilang, tapi ini memang hal yang tidak mudah,” ujar Desmond.
Menjauh
Tak sebatas itu, para mantan aktivis itu pun terkadang justru terlihat bergerak menjauh dari cita-cita reformasi. Saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) getol mengusut kasus korupsi proyek KTP elektronik, misalnya, Masinton termasuk diantara anggota DPR yang menyerang KPK. Dia aktif di Panitia Angket DPR terhadap KPK yang dinilai banyak kalangan sebagai upaya untuk melemahkan KPK dan menghambat KPK dalam upaya mengusut tuntas kasus korupsi tersebut.
Sikap itu tidak hanya bertentangan dengan kehendak mayoritas publik kala itu, tetapi juga lari dari salah satu cita-cita reformasi, yaitu membersihkan korupsi, kolusi, dan nepotisme dari praktik penyelenggaraan negara.
“Apa yang saya lakukan itu bukan untuk melemahkan KPK. Itu justru bukti komitmen saya terhadap cita-cita reformasi yaitu memberantas korupsi. Melalui panitia angket itu, saya ingin agar KPK tidak semata mengandalkan penindakan. Sebab, itu saja tidak cukup, terbukti korupsi masih merajalela. KPK harusnya lebih mengedepankan pembuatan sistem pencegahannya,” ujar Masinton.
Desmond mengatakan, tantangan saat ini adalah bagaimana menyamakan agenda reformasi bersama meskipun berbeda kubu politik. Apalagi, masih banyak beban tuntutan reformasi yang sampai sekarang belum tercapai meski sudah berkali-kali berganti rezim kekuasaan.
Hal itu dianggap sulit, sebab cita-cita para eks aktivis untuk bergerak sesuai idealisme semakin pupus dengan konstelasi politik yang kini terbelah menjadi dua kutub yang sama kuat. Hal itu juga semakin sulit dilakukan karena muncul gap generasi yang ditandai dengan semakin pupusnya ingatan akan sejarah bangsa sebagai pembelajaran untuk masa depan.
“Kita tahu tujuan, cita-cita, dan idealismenya masih sama di kepala, tetapi sejujurnya, menyamakan agenda bersama sulit dilakukan karena ruangnya juga hampir tidak ada,” katanya.
Sosiolog dari Universitas Gajah Mada Arie Sujito melihat minimnya warna baru dari kehadiran aktivis di partai dan legislatif itu tak lepas dari ketiadaan mandat kolektif dari tempat aktivis itu berasal. Seandainya mereka dulu masuk ke partai dan legislatif dengan ditopang oleh organisasi tempat mereka berasal, mereka akan didukung oleh organisasi itu saat memperjuangkan cita-cita reformasi dari dalam sistem.
“Dengan kondisi tanpa mandat itu, kini saat aktivis berusaha memperjuangkan cita-cita reformasi dalam iklim yang ada di partai dan legislatif, lebih pada improvisasi pribadi, tanpa ditopang akar di mana dia dulu berasal,” tambahnya.
Dengan kondisi tanpa mandat itu, kini saat aktivis berusaha memperjuangkan cita-cita reformasi dalam iklim yang ada di partai dan legislatif, lebih pada improvisasi pribadi, tanpa ditopang akar di mana dia dulu berasal
Akibatnya, mereka berjuang sendiri, dan tak heran jika mereka kalah oleh arus besar pragmatisme di partai dan legislatif. Hal itu kemudian membuat mereka justru larut di dalamnya, dan tercerabut total dari basis aktivisme itu berasal.
“Ini bukan berarti mereka berkhianat atau melenceng dari cita-cita reformasi, tetapi lebih karena mereka tak kuat menghadapi beban yang ada di partai dan legislatif,” ujarnya.
Pramoedya Ananta Toer dalam novel Anak Semua Bangsa pernah menulis, sepandai-pandainya ahli, yang berada dalam kekuasaan bodoh, akan ikut jadi bodoh. Sudah 20 tahun berlalu sejak lembar pertama reformasi dibuka. Apakah kita akan membiarkan diri larut dalam kekuasaan bodoh itu atau bergerak menyamakan derap kaki perjuangan dan menuntaskan asa reformasi yang dulu dicita-citakan?