Demokratisasi di Antara Tuntutan Kesejahteraan...
Selama 20 tahun reformasi, demokratisasi di Indonesia menemui pertanyaan paling mendasar, yakni tentang manfaat langsung yang bisa dirasakan oleh masyarakat, terutama rakyat kecil dari proses tersebut. Keyakinan bahwa demokrasi bisa secara cepat mengantarkan rakyat kepada kesejahteraan kerap membuat warga bertanya-tanya ketika hal itu ternyata belum bisa dicapai.
Harian ini sebelumnya menurunkan laporan, rasio gini indonesia makin lebar. Rasio gini Indonesia yang pada 1999 di 0,311 pernah menembus 0,413 pada 2012, dan kemudian 0,414 pada 2014. Angka itu lalu sedikit turun dalam tiga tahun terakhir menjadi 0,391 pada September 2017. Rasio gini atara 0-1, semakin mendekati 0, distribusi kesejahteraan semakin merata (Kompas, 21 Mei 2018).
Ketimpangan yang makin tajam itu dikhawatirkan akan memicu sejumlah persoalan sebab sejarah panjang bangsa ini mencatat adanya perubahan politik dan pemerintahan yang dipicu gejolak ekonomi. Reformasi yang terjadi 20 tahun lalu, misalnya, dipicu oleh gejolak ekonomi dan terus turunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Saat itu rupiah terus melemah dari Rp 2.000 per dollar AS menjadi Rp 15.000 per dollar AS.
Keraguan dan kekhawatiran bahwa demokratisasi akan gagal di tengah kian dalamnya ketimpangan atau jurang ekonomi itu menjadi catatan serius Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj. Said menyoroti praktik penguasaan lahan yang ternyata tidak berimbang, antara pengusaha besar dan petani kecil. Seorang pengusaha besar bisa menguasai lahan sampai 5,5 juta hektar (ha), sedangkan seorang petani kecil yang sehari-harinya mengolah lahan dan bertahan hidup dengan menggantungkan hasil bumi nyatanya tak punya secuil tanah pun. Ketimpangan itu menganga di depan mata.
Kemiskinan ekstrem pun masih ditemui di sejumlah daerah. Pasangan kakek-nenek di Bondowoso, Jawa Timur, misalnya, memecahkan batu dari sungai dan memasukkannya ke keranjang untuk dijual Rp 600 setiap keranjang. Jika mereka ingin memeroleh Rp 60.000, berarti mereka harus menghancurkan batu kali sampai terkumpul 100 keranjang.
Rakyat kecil pada praktiknya belum merasakan kesejahteraan sebagai buah dari demokratisasi. Hal itu pun berpotensi menggerus kepercayaan rakyat kepada demokratisasi.
Islam dan demokrasi
Sebagai sebuah respons publik, keraguan pada demokratisasi itu adalah hal yang wajar. Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra yang juga anggota dewan penasihat International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) mengatakan, keraguan itu tidak hanya muncul di masyarakat Indonesia. Lembaga-lembaga lain di dunia yang bergerak di bidang penguatan demokrasi pun menghabiskan banyak waktu mendiskusikan tentang bentuk lain demokrasi yang segera menghadirkan kesejahteraan.
”Banyak kecemasan dari lembaga-lembaga yang bergerak dalam penguatan demokrasi. Mereka tergoda untuk berpikir bahwa kita memerlukan bentuk lain dari demokrasi, misalnya one single party democracy seperti di Singapura atau totalitarian democracy yang memang lebih efektif dan efisien dalam mewujudkan janji-janjinya,” kata Azyumardi.
Namun, bagi Indonesia tidak ada lagi pilihan politik untuk kembali pada masa-masa totaliter itu di mana partai-partai politik dipaksa berfusi dan parlemen hanya menjadi stempel. Sistem multipartai yang berkembang di Indonesia menjadi salah satu keberhasilan reformasi kendati fungsi dan peran parpol dalam pendidikan dan rekrutmen politik masih harus dibenahi.
Demokrasi Indonesia sudah pada titik point of no return atau tidak ada jalan kembali ke sistem lama. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan ke depan ialah penguatan konsolidasi demokrasi.
Pendidikan kewargaan sebagai bagian dari pendidikan politik demokrasi digalakkan untuk meningkatkan kesadaran warga. Pendidikan kewargaan berbicara tidak hanya soal demokrasi, tetapi juga, misalnya, identitas nasional, Pancasila, jender, HAM, yang kesemuanya itu adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam wacana ataupun praksis demokrasi.
Belum meratanya kesejahteraan pun bukan satu-satunya faktor guna menilai demokratisasi Indonesia. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, demokratisasi di Indonesia bahkan menjadi contoh kesesuaian antara Islam dan demokrasi. Kompatibilitas ini kerap gagal dilakukan di banyak negara, seperti di Timur Tengah pasca-Arab Spring. Negara-negara, seperti Yaman, Suriah, Libya, Tunisia, dan Mesir, masih bergolak dalam perjuangannya menuju demokrasi.
Dalam konteks ini, Indonesia masih merupakan satu-satunya negara yang menunjukkan bahwa Islam dan demokrasi kompatibel. ”Inilah yang penting kita apresiasi dan syukuri dalam 20 tahun pertumbuhan demokrasi di Indonesia karena memang prosesnya tidak mudah. Di kala pihak lainnya pesimistis terhadap demokratisasi, Indonesia beruntung karena memiliki civil society yang vibrant, baik dalam bentuk ormas besar dan moderat seperti NU dan Muhammadiyah maupun civil society yang juga memainkan peran balancing force (kekuatan penyeimbang) di antara state (negara) and society (masyarakat), ditambah dengan NGO atau LSM yang juga sangat aktif. Nah, ini yang tidak tumbuh atau berkembang di negara lain,” papar Azyumardi.
Keberadaan ormas moderat diyakini bisa mengantisipasi potensi populisme yang menggunakan agama tertentu sebagai politik identitas. Sejarah menunjukkan, parpol-parpol berbasis agama tidak pernah memenangi Pemilu dari 1955 hingga 2014. Tidak hanya di bidang politik, ulama di dalam ormas-ormas moderat itu juga berjuang melawan paham-paham radikal dan intoleran yang mengganggu ketenteraman.
Kewirausahaan sosial
Di sisi lain, problem kesejahteraan harus diatasi untuk mendukung demokratisasi. Ketimpangan bukan berarti tak bisa diatasi bila pemerintah terbuka pada perkembangan di bidang teknologi yang ternyata memberi cakrawala baru pada bagaimana dunia usaha berjalan.
Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya A Prasetyantoko mencontohkan entrepreneurship (kewirausahaan) dengan basis teknologi yang mulai banyak berkembang di Tanah Air sebagai suatu alternatif. Geliat bisnis ojek online, misalnya, memberikan terobosan dalam penyerapan tenaga kerja. Jalan yang dipilih ojek online itu pun merupakan prototipe bisnis baru di mana mereka tidak hanya berorientasi pada keuntungan, tetapi juga nilai sosial.
Lembaga demografi UI dalam studinya menyebutkan, ojek online menyumbang Rp 8,2 triliun per tahun untuk Indonesia. Aktivitas bisnis itu juga menghasilkan Rp 1,7 triliun per tahun untuk penghasilan mitra UMKM. ”Pengusaha-pengusaha martabak di pojokan yang mulanya tidak dikenal itu omzetnya bisa naik karena ada Go-Jek,” kata Prasetyantoko.
Di masa depan, jika demokrasi tetap dijaga dan dijalankan dengan komitemen semua pihak, bukan tidak mungkin jalan kesejahteraan itu akan terbuka....