JAKARTA, KOMPAS — Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsyad Temenggung didakwa bekerja sama dengan mantan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti menyetujui penghapusan utang milik pemegang saham BDNI, Sjamsul Nursalim. Akibat penghapusan utang ini, negara mengalami kerugian Rp 4,58 triliun.
Keterlibatan Dorodjatun terindikasi ketika dirinya menjabat sebagai Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dan menandatangani usulan ringkasan eksekutif dari Syafruddin, yang menjabat sebagai Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sejak April 2002. Saat itu, Dorodjatun menandatangani surat keputusan sehingga Nursalim tidak perlu membayar kerugian negara akibat misrepresentasi karena kredit macet petambak tidak diungkapkannya kepada BPPN.
”Dorojatun juga telah mengetahui bahwa Nursalim melakukan misrepresentasi dan diharuskan mengembalikan atau mengganti kerugian kepada BPPN berdasarkan laporan Tim Bantuan Hukum (TBH) KKSK tanggal 29 Mei 2002,” kata jaksa Haerudin saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (14/5/2018).
Sidang perdana perkara BLBI ini dipenuhi pengunjung. Keluarga dan kolega Syafruddin turut hadir mendengarkan dakwaan.
Mengenakan baju koko berwarna biru muda, Syafruddin duduk tenang di kursi terdakwa mendengarkan jaksa membacakan berkas dakwaan.
Menurut jaksa, usulan ringkasan eksekutif Syafruddin juga janggal mengingat ia mengetahui misrepresentasi dan kredit macet aset yang diserahkan Nursalim untuk menyelesaikan persoalan penyimpangan penggunaan dana BLBI saat Syafruddin menjabat Sekretaris KKSK. Bahkan, Syafruddin turut merekomendasikan Ketua KKSK Rizal Ramli agar pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) bertanggung jawab.
Atas dasar ini, ganti rugi aset Rp 4,8 triliun yang semestinya dibayarkan kepada negara pun gugur. Pada 2007, perusahaan pengelola aset menjual hak tagih utang petambak plasma PT DCD dan PT WM kepada Konsorsium Neptune dari Group Charoen Phokpand sebesar Rp 220 miliar. Artinya, masih ada Rp 4,58 triliun yang belum kembali akibat kebijakan Syafruddin. Jaksa pun menjeratnya dengan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 jo Pasal 64 KUHP.
Penyimpangan
Perkara ini berawal dari kucuran dana BLBI kepada BDNI yang sahamnya dimiliki Nursalim pada 1997. Belakangan, BDNI melakukan penyimpangan sehingga BPPN menetapkannya sebagai bank yang melanggar hukum atau bertransaksi tidak wajar sehingga menguntungkan pemegang saham, Nursalim. Penuntasan pun wajib mengikuti penyelesaian kewajiban pemegang saham dengan pola perjanjian Master Settlement Acquisition Agreement.
”Ditentukan besar kewajiban pemegang saham Rp 28,4 triliun dengan kewajiban sebesar Rp 47,2 triliun dikurangi aktiva Rp 18,8 triliun. Perhitungan ini melalui Tim Aset Manajemen Investasi dibantu penasihat keuangan,” kata Haerudin.
Dari Rp 28,4 triliun tersebut disepakati penyelesaiannya dengan dibayar tunai Rp 1 triliun dan penyerahan aset senilai Rp 27,4 triliun. Sejumlah aset pun disampaikan, antara lain PT Dipasena Citra Darmaja (DCD), Gajah Tunggal Petrochem, Filamindo Sakti, Sentra Sentetika, Grup Gajah Tunggal, Meshindo Alloy, dan Langgeng Baja Pratama. DCD menjadi satu-satunya aset yang 100 persen diserahkan dengan alasan piutang petambak udang sebesar Rp 4,8 triliun yang bisa ditagihkan.
Kuasa hukum Syafruddin, Yusril Ihza Mahendra, mengajukan eksepsi yang sedianya digelar pekan depan, Senin (21/5). Dalam kesempatan tersebut, Yusril dan timnya telah menyiapkan bantahan terhadap dakwaan.