JAKARTA, KOMPAS - Dukungan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dalam penanganan perkara dugaan korupsi pengadaan Helikopter Agusta Westland 101 di TNI Angkatan Udara diperlukan. Penanganan perkara tersebut kian mengkhawatirkan, mengingat belum ada kemajuan meski sudah hampir setahun kasus ini bergulir.
Sejumlah kendala dihadapi dalam penanganan perkara yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama POM TNI. Kendala itu antara lain pihak TNI AU tidak bersedia memberikan keterangan hingga gugatan perdata dari tersangka dari masyarakat sipil yang kini tengah bergulir.
Dosen hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, di Jakarta, Sabtu (12/5/2018), menyampaikan pentingnya ketegasan dari Panglima TNI dan pimpinan KPK terkait dengan kelanjutan kasus tersebut. Tanpa hal itu, akan muncul hal-hal yang dapat berdampak negatif pada penanganan perkara.
”Sikap Panglima terhadap kasus dugaan korupsi di militer akan menentukan berlanjut atau tidaknya perkara ini. Apabila tidak segera diambil sikap dengan komitmen yang tinggi terhadap pemberantasan korupsi, penanganan kasusnya pun makin berlarut-larut dan mengkhawatirkan. KPK saat ini hanya menangani sipil, padahal korupsi tetap korupsi, baik sipil maupun di militer,” ujar Fickar.
Kasus ini mencuat ketika tahun lalu Panglima TNI saat itu, Jenderal Gatot Nurmantyo, dan Kepala Staf TNI Angkatan Udara saat itu, Hadi Tjahjanto, membuka kemungkinan dugaan korupsi. Terkait hal ini, KPK telah menetapkan tersangka Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh selaku pemenang tender dalam pengadaan helikopter AW-101. Sementara Komandan Pusat Polisi Militer Mayor Jenderal Dodik Wijanarko, dalam konferensi pers bersama dengan KPK pada 16 Juni 2017, menyatakan telah menetapkan tersangka seorang kolonel, Stf, yang bertugas di bagian unit pelayanan pengadaan TNI AU (Kompas, 17/6/2017).
Secara terpisah, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan, mantan KSAU Agus Supriatna yang semestinya diperiksa Jumat (11/5) kembali tidak memenuhi panggilan. Alasannya, yang bersangkutan tidak menerima surat panggilan yang dilayangkan KPK untuk memberikan keterangan terhadap tersangka Irfan.
”Padahal, KPK sudah mengirimkan surat ke rumah di kawasan Halim dan ada catatan surat sudah diterima,” kata Febri.
Pada pemeriksaan sebelumnya, Agus datang, tapi tidak bersedia memberikan keterangan. Sementara delapan saksi dari pihak TNI AU yang terdiri dari perwira dan petugas lain tidak hadir dalam panggilan penyidik KPK di Cilangkap, Jakarta Timur.
Sementara itu, poses gugatan perdata yang diajukan Irfan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga masih berjalan. Dalam gugatan tersebut, TNI AU dan Kementerian Keuangan diminta untuk melunasi pembayaran.