Briptu Wahyu Tak Bisa Rayakan Ulang Tahunnya Ke-20
Oleh
Megandika Wicaksono
·3 menit baca
Tangis Surati (53) pecah tatkala jenazah putra bungsunya, Briptu Wahyu, yang terbaring dalam peti berselubung kain Merah Putih diangkat memasuki ruang tamu, Kamis (10/5/2018) dini hari. Perempuan berjilbab ungu itu langsung memeluk peti anaknya. Air matanya mengalir deras. Telapak tangannya terus mengusap-usap peti seperti membelai lembut rambut sang putra untuk terakhir kalinya.
Brigadir Polisi Satu (Briptu) Anumerta Wahyu Catur Pamungkas gugur dalam kerusuhan di Markas Komando Brigade Mobil, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, pada Selasa (8/5/2018) malam-Rabu (9/5/2018). Selain Wahyu, empat polisi tewas dalam kericuhan itu adalah Iptu Anumerta Yudi Rospuji Siswanto, Aipda Anumerta Deni Setiadi, Brigadir Anumerta Fandi Setyo Nugroho, dan Briptu Anumerta Syukron Fadli.
Surati mengatakan, dirinya terakhir kali berkomunikasi dengan Wahyu pada 5 Mei lalu saat dia berulang tahun ke-53.
”Selamat ulang tahun Mamak gitu saja. Mengucapkannya melalui WA di pagi-pagi jam 5 pas ulang tahun saya. Dia paling gasik (awal) mengucapkan,” kata Surati.
Meski tiada firasat yang kuat bahwa anaknya akan pergi untuk selamanya, Surati justru merasakan lemas selama dua hari sejak Selasa hingga Rabu ini. Surati yakin anaknya itu sudah senang tugas menjadi polisi di Jakarta.
”Saya lemas Selasa sampai Rabu, rasanya tidak mau, tidak bisa makan,” kata Surati sambil mengusap air matanya.
Pujiono, sang ayah, menyampaikan, keluarganya sangat kehilangan, tetapi mereka berupaya pasrah kepada Yang Mahakuasa.
”Karena sudah meninggal ya saya sudah pasrah kepada Yang Mahakuasa dan sudah ikhlas. Yang penting anak saya sudah dipulangkan ke sini dan ini karena tugas,” kata Pujiono yang merupakan pensiunan TNI sejak 2010.
Keluarga besar tidak menyangka Wahyu pergi untuk selamanya, padahal pada 24 Mei mendatang Wahyu akan merayakan ulang tahun ke-20.
”Kalau ulang tahun, biasanya kami SMS mengucapkan selamat. Anaknya pendiam dan pintar. Di pendidikan selalu dapat ranking terus. Kalau di Densus seleksinya seluruh Indonesia ada 500 orang, tapi yang diambil 6 orang, termasuk anak saya itu,” kata Pujiono yang terakhir bertemu dengan Wahyu pada 2 April 2018.
Iswandi (40), paman Wahyu, menyampaikan, sejak menerima kabar meninggalnya Wahyu pada Rabu sore, Surati terus menangis. Keluarga besar menyerahkan kasus ini kepada hukum yang berlaku dan berharap pelaku pembunuhan diadili sesuai aturan yang ada.
”Dia meninggal dengan tragis. Keluarga sangat kehilangan dan terpukul sekali,” kata Iswandi yang berharap tidak ada lagi korban kericuhan seperti yang dialami Wahyu.
Keluarga besar tidak menyangka Wahyu pergi untuk selamanya, padahal pada 24 Mei mendatang Wahyu akan merayakan ulang tahun ke-20.
Wahyu adalah anak keempat dari pasangan Surati dan Pujiono. Saudara-saudarinya adalah Resti Puji Rahayu, Heri Setiono, dan Feni Puji Lestari. Sejumlah tetangga, kerabat, dan kenalan keluarga datang melayat. Wahyu dikenal sebagai pribadi yang baik, pendiam, dan suka berolahraga.
”Sebenarnya kalau sudah kenal, Wahyu itu lucu orangnya. Dia suka voli dan berenang. Kami juga sering manjat (naik) gunung bareng,” kata Meydika Chandra Aji (20), yang pernah duduk satu kelas di bangku SMAN 1 Gombong. Meydika menyampaikan, dirinya terakhir kali berkomunikasi dengan Wahyu pada Selasa pukul 19.00 melalui WA.
”Biasanya WA dia on terus sampai pagi, tapi malam itu dia aktif terakhir sampai pukul 21.00,” kata Meydika.
Kepala Kepolisian Resor Kebumen Ajun Komisaris Besar Arief Bahtiar menyampaikan dukacita kepada keluarga yang ditinggalkan. Arief sangat berduka bahkan saat memimpin upacara pemakaman secara dinas, Arief menangis.
Di Kebumen, selain Wahyu, ada pula Briptu Anumerta Syukron Fadli asal Kecamatan Bonorowo, Kebumen, yang gugur dalam kericuhan di Mako Brimob.
”Kepergian almarhum berarti kita semua kehilangan seorang putra dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan negara. Suri teladan almarhum yang sangat bermanfaat bagi kita yang masih hidup untuk terus berjuang bagi bangsa dan negara,” kata Arief.