JAKARTA, KOMPAS – Masih bergulatnya kedaulatan ruang udara Indonesia diharapkan bisa menemukan salah satu titik cerah dengan lulusnya Kolonel (Pnb) Supri Abu dalam bidang Hukum Udara. Ia mendorong agar Indonesia segera membuat undang-undang tentang pengelolaan wilayah udara.
“Berdasarkan konvensi Chicago 1944, setiap negara memiliki kedaulatan yang komplit dan ekslusif di atas wilayah udaranya,” kata Supri Abu, Selasa (8/5) usai sidang Doktor di Program Pasca Sarjana Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti, Jakarta.
Supri Abu mengajukan disertasi dengan judul Konsep Baru Kedaulatan Wilayah Udara NKRI sebagai Negara Kepulauan. Hadir selaku promotor Prof Dr H Eriyantouw Wahid SH MH dan Dr Dra Siti Nurbaiti SH MH selaku ko-promotor. Supri Abu dinyatakan lulus dengan predikat Cum Laude. Para pengujui yaitu Prof Dr Abdullah Sulaiman, Dr Endang Pandadamdari. Dr Sugeng Supartono, Dr Gunawan Djajaputra berharap agar Supri Abu dalam mengaplikasikan ilmunya pada hukum udara di Indonesia, khususnya TNI AU. “Diharapkan disertasi ini bisa menjadi naskah akademik untuk undang-undang wilayah udara,” kata Abdullah Sulaiman.
Mantan KSAU Marsekal (purn) Chappy Hakim mengatakan, dirinya tidak saja bangga bahwa ada seorang penerbang TNI AU bisa menjadi doktor hukum udara. Namun, ia juga berharap agar keahlian Supri Abu ini menjadi “senjata” dalam rangka Indonesia memperjuangkan wilayah udaranya. Dibutuhkan penguasaan hukum udara agar bangsa Indonesia bisa mengaplikasikan kedaulatanya di ruang udara. “Apalagi ini terjadi saat Panglima TNI nya Marsekal Hadi Tjahjanto dan KSAU-nya Marsekal Yuyu Sutisna, sampai netes air mata saya tadi,” kata Chappy yang menghadiri sidang doktor tersebut duduk paling depan.
Supri mengatakan, ada tiga komponen terkait dengan prinsip komplit dan ekslusif tersebut. Tiga komponen itu yaitu kontrol udara, penggunaan ruang udara, dan penegakkan hukum ia telaah implementasinya di Indonesia. “Ternyata kita belum mampu mengontrol seluruh wilayah udara Indonesia,” katanya.
Supri juga menemukan bahwa regulasi tentang penggunaan ruang udara belum ada. Saat ini memang sudah ada UU Penerbangan. Namun menurut Supri Abu, UU tersebut baru mengatur sebagaian penggunana wilayah udara. Ia menggarisbawahi, UUD 1945 pasal 33 hanya mengatakan bumi dan air dan kekayaan alam yang ada di dalammnya. Hal ini membuat definisi wilayah udara itu bukan dilihat sebagai pengertian geografis tetapi zat. “Kalau dilihat sebagai geografis, itu berarti wilayah udara adalah kekayaan alam, bandingkan dengan laut. Air kan juga zat yang bergerak, tapi kita lihat laut sebagai geografis, bukan zat,” kata perwira kelahiran Pare-pare, 52 tahun lalu.
Terakhir, terkait dengan kedaulatan, penegakan hukum juga tidak maksimal. Apalagi hingga saat ini Air Defence Identification Zone (ADIZ) di Indonesia hanya mencakup pulau Jawa. Padahal, seharusnya seluruh wilayah Indonesia. Dalam UU Penerbangan 2009, tidak ditegaskan bagaimana penegakan hukum dilakukan. Sementara untuk penggunaan ruang udara hanya dibahas dari pasal 5 sampai 9. Sanksi Pidana untuk pelanggaran ruang udara untuk pesawat asing malah tidak ada. Pesawat asing yang masuk ke ruang udara Indonesia hanya kena sanksi adminstratif. Turunan dari UU Penerbangan itu yaitu PP 4/2018 tentang Pengamanan Wilayah Udara juga hanya berisi sanksi adminstratif. “PP itu substansinya sudah cukup bagus, semangatnya bisa diteruskan untuk jadi undang-undang,” kata Supri Abu.