JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan kasus korupsi dalam proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik atau KTP-el yang melibatkan Setya Novanto, mantan Ketua DPR, memasuki babak baru. Selain menjerat pihak-pihak lain yang terlibat, Komisi Pemberantasan Korupsi juga tengah mendalami dugaan adanya pidana pencucian uang terkait kasus tersebut.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Rabu (2/5/2018), di Jakarta, membenarkan pengusutan pidana pencucian uang dalam kasus KTP-el.
”Sepanjang menemukan bukti yang cukup, kami akan lanjutkan,” ujar Febri
Arah penanganan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sudah terlihat saat jaksa penuntut umum membacakan tuntutan terhadap Novanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 29 Maret 2018. Saat itu, jaksa penuntut umum Irene Putri mengungkapkan, korupsi KTP-el bercita rasa TPPU.
Pengadilan Tipikor, pada 24 April 2018, menjatuhkan pidana 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Novanto juga diperintahkan membayar uang pengganti senilai 7,3 juta dollar AS dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkan kepada penyidik KPK. Selain itu, hak politik Novanto juga dicabut selama 5 tahun setelah menjalani masa pidana.
Tak banding
Atas putusan itu, jaksa tak mengajukan banding. Begitu pula dengan pihak Novanto. ”Keluarga agak lelah menghadapi perkara ini,” kata kuasa hukum Novanto, Maqdir Ismail.
Dengan tidak adanya upaya banding, Febri menyampaikan KPK bisa lebih fokus mengembangkan dan menuntaskan kasus yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu. Dalam kasus ini, KPK harus merampungkan berkas perkara milik Markus Nari, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, dan Made Oka Masagung untuk bisa diajukan ke pengadilan.
Mengacu pada putusan hakim terhadap Irman dan Sugiharto (keduanya mantan pejabat di Kementerian Dalam Negeri), Andi Agustinus (pengusaha) hingga Novanto, ada sejumlah pihak baik dari kalangan politik, swasta, dan pemerintahan yang disebut ikut diperkaya.
Mereka antara lain, mantan Mendagri Gamawan Fauzi, sejumlah politisi seperti Miryam S Haryani, Markus Nari, Ade Komaruddin, Jafar Hafsah serta sejumlah anggota DPR periode 2009-2014. Hakim juga menyebut pihak yang diduga aktif dalam pembahasan anggaran hingga ikut menagih jatah, yakni Mirwan Amir dan Chairuman Harahap.