JAKARTA, KOMPAS - Pencurian data sekitar satu juta akun Facebook asal Indonesia oleh Cambridge Analytica berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan politik, seperti Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Oleh karena itu, antisipasi perlu dilakukan dengan cara meningkatkan literasi media untuk menangkal penggiringan opini melalui berita bohong.
Pendiri Kelas Muda Digital, Afra Suci Ramadhon menuturkan, data pengguna Facebook yang dicuri lembaga konsultan politik asal London, Inggris, Cambridge Analytica, tergolong banyak dan kaya. Akibatnya, data itu berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan politik guna menggiring opini para pengguna media sosial itu. Terlebih, data di dalam media sosial, punya kelebihan yang tidak dimiliki oleh iklan atau kampanye di media arus utama, seperti cetak dan elektronik.
“Di media sosial, iklan atau konten yang disebar bisa sangat personal karena menyesuaikan preferensi pemilik akun. Hal itu dapat dilakukan karena data di media sosial bersifat profiling, sehingga dapat melihat kecenderungan pilihan politik pengguna akun,” ujar Afra, Senin (16/4/2018), di Jakarta.
Melalui kekayaan data itu, tambah Afra, para tim kampanye, terutama konsultan digital pasangan calon kepala daerah hingga calon presiden/wakil presiden, dapat menyusun strategi untuk memengaruhi pengguna media sosial. Konten-konten menarik dapat dibuat untuk memengaruhi pilihan politik pengguna akun sesuai hasil analisis profil mereka.
“Konsultan, seperti Cambridge Analytica, bisa menyodorkan konten berita bohong dan hoaks di linimasa pengguna, bisa pula melalui iklan di Facebook, atau dengan rekayasa algoritma di linimasa atau news feed,” kata Afra.
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, menambahkan, penggunaan data Cambridge Analytica untuk kepentingan politik pada Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 lebih mengarah untuk memengaruhi pemilih mengambang atau swing voters yang belum jelas menentukan pilihan politiknya.
Literasi
Guna mengantisipasi penggiringan opini politik di media sosial, Hamdi menilai, literasi media diperlukan untuk meningkatkan pemahaman publik, terutama pengguna media sosial. Dengan demikian, mereka diharapkan tidak mudah terpengaruh dengan informasi, hoaks, atau berita bohong, yang berupaya menggiring opini. Langkah itu, juga perlu dilengkapi dengan penegakan hukum yang lebih ketat kepada para produsen dan penyebar hoaks dan ujaran kebencian.
Kepolisian Negara RI juga berharap masyarakat segera melaporkan apabila menjadi korban penyalahgunaan data di Facebook. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Mohammad Iqbal mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memberikan tindakan kepada Facebook sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pencurian data itu.
“Kebocoran data itu dikhawatirkan dapat dijadikan alat untuk perbuatan tidak bertanggung jawab, seperti ujaran kebencian, hoaks, dan berita bohong yang berpotensi menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban,” kata Iqbal.
Praktisi digital forensik Ruby Alamsyah mengingatkan, pengguna akun media sosial harus sadar bahwa informasi di media sosial dapat dilihat oleh siapa pun. “Karena itu, hati-hatilah untuk membagi informasi di media sosial,” katanya.