JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap sejumlah pejabat daerah di Kabupaten Bandung Barat, Selasa (10/4/2018). Para pejabat itu ditangkap karena diduga menjadi perantara suap untuk Bupati Bandung Barat Abubakar.
KPK tengah menyelidiki kaitan suap tersebut dengan upaya untuk mencari biaya kampanye bagi istri Abubakar, yaitu Elin Suharliah yang kini ikut pilkada memperebutkan posisi kepala daerah Bandung Barat. Elin yang berpasangan dengan Maman Sulaeman diusung PDI-P, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Jakarta, Selasa (10/4/2018), membenarkan adanya penangkapan yang dilakukan KPK di Bandung Barat. Dari informasi yang diterima, enam orang ditangkap dan dilakukan pemeriksaan awal, termasuk kepala daerah dan sejumlah pegawai negeri sipil (PNS).
”Sejauh ini ada enam orang yang ditangkap. Sebagian dibawa ke KPK dan lainnya dilakukan pemeriksaan awal. Ada juga sejumlah uang yang diamankan dalam kejadian ini,” ujar Febri.
Informasi yang dihimpun Kompas, uang yang diamankan dalam penangkapan ini sekitar Rp 400 juta.
Hingga Selasa tengah malam, tim dari KPK masih berada di Bandung Barat untuk memburu sejumlah orang lain yang diduga juga terlibat dalam kasus ini.
Politik dinasti
Penangkapan sejumlah pejabat di Bandung Barat ini kembali menunjukkan bahwa politik dinasti yang terjadi di sejumlah daerah rawan dengan praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Hal ini terjadi karena politik dinasti membuat kekuasaan politik dan akhirnya juga ekonomi terpusat di kelompok tertentu. Akibatnya, pengawasan menjadi lemah.
Berdasarkan data Koalisi Pilkada Bersih, ada 12 kepala daerah yang mengikuti Pilkada 2017 berasal dari dinasti politik yang telah terbangun di daerahnya masing-masing. Dari 12 nama ini, hanya tiga nama yang gagal menduduki jabatan kepala daerah.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan berpendapat, pencalonan dari partai politik harus dilakukan secara terbuka dan diputuskan melalui rapat pengurus anggota partai dengan mekanisme yang demokratis. Kemampuan dan integritas harus menjadi kriteria utama, bukan sekadar kekuatan finansial. Dengan cara ini, politik dinasti dapat dikontrol.
Pemilih pun perlu mendapat pendidikan politik yang tepat tentang bahaya dari politik dinasti. ”Jika ada keluarga dari kelompok dinasti yang pernah atau sedang terlibat dengan kasus korupsi, sudah sepatutnya masyarakat tidak memilihnya. Hal ini tidak hanya untuk menyelamatkan demokrasi, tetapi untuk kepentingan publik yang lebih luas, yaitu agar persoalan korupsi di daerahnya tidak lagi terulang di masa depan,” kata Ade. (IAN)