JAKARTA, KOMPAS — Solusi atas potensi hilangnya hak konstitusional calon pemilih pada Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 akibat belum tuntasnya perekaman data dan penerbitan kartu tanda penduduk elektronik akan dibahas tripartit. Badan Pengawas Pemilu, pekan depan, akan mengundang Komisi Pemilihan Umum juga Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri untuk mencari solusi atas persoalan itu.
Pada pilkada serentak 2018 di 171 daerah, KPU mencatat ada 6,7 juta pemilih yang sudah dimasukkan dalam daftar pemilih sementara, tetapi mereka diduga belum punya KTP-el ataupun surat keterangan pengganti KTP-el. Jika hingga waktu penetapan daftar pemilih tetap (DPT) pada 13-19 April mereka belum punya KTP-el atau surat keterangan, nama pemilih itu akan dikeluarkan dari DPT Pilkada sehingga tidak bisa menggunakan hak pilih.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), M Afifuddin, di Jakarta, Selasa (3/4/2018), menuturkan, dari rekapitulasi ulang yang dilakukan tim Bawaslu, jumlah pemilih sementara yang terindikasi belum punya KTP-el atau surat keterangan lebih dari 6,7 juta orang. Data dari Bawaslu menunjukkan, ada 7,4 juta pemilih belum punya KTP-el.
Menurut dia, data 6,7 juta itu berasal dari semua daerah yang menggelar pemilihan gubernur di 17 provinsi. Namun, setelah ditambah pemilih dari kabupaten dan kota yang menggelar pemilihan bupati dan wali kota tetapi tidak ada pemilihan gubernur, jumlah pemilih yang diduga tak punya KTP-el dan surat keterangan bertambah sekitar 500.000. Tim Bawaslu masih menyempurnakan rekapitulasi data itu serta akan ditambah dengan hasil laporan dari posko pengaduan yang dibentuk di daerah-daerah.
Setelah itu, dia mengatakan, Bawaslu pekan depan akan mengajak KPU dan Ditjen Dukcapil Kemendagri untuk duduk bersama mencari solusi agar jutaan pemilih itu tetap bisa menggunakan hak pilihnya. Bawaslu juga sudah meminta jajaran pengawas di provinsi atau kabupaten dan kota untuk mencari informasi tentang persoalan perekaman data itu, apakah memang disebabkan keengganan warga mengurus KTP-el atau karena ada alat perekaman yang rusak.
Selain membahas nasib 7,4 juta warga yang belum punya KTP-el atau surat keterangan, dia juga menuturkan, perlu pula dibicarakan nasib ”konversi” surat keterangan menuju KTP-el dalam penyusunan daftar pemilih Pemilu 2019. Ini karena surat keterangan sudah tidak lagi bisa digunakan setelah akhir Desember 2018. Warga yang saat ini sudah punya surat keterangan juga berpotensi tidak bisa menggunakan hak pilih di Pemilu 2019 jika belum mendapat KTP-el.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto mengingatkan, upaya menjamin hak warga yang belum punya KTP-el ataupun surat keterangan harus diikuti kewaspadaan atas potensi penggelembungan suara melalui penerbitan surat keterangan kolektif. ”Harus diantisipasi jangan sampai terjadi penggelembungan pemilih di situ. Harus dipastikan benar datanya dan divalidasi,” katanya.
Sementara itu, anggota KPU, Ilham Saputra, juga mengatakan, saat ini KPU terus menyosialisasikan perubahan cara menggunakan hak pilih pada pilkada serentak 2018 yang berbeda dari Pilkada 2017. Pada Pilkada 2018, warga yang sudah masuk dalam DPT juga harus membawa KTP-el atau surat keterangan saat mendatangi tempat pemungutan suara. Sebelumnya, hal ini tidak diwajibkan. (GAL)