Mempertanyakan Indonesia pada 2030
Saat Prabowo Subianto, pekan lalu, menuturkan bahwa Indonesia, oleh kajian-kajian di luar negeri disebut akan bubar pada tahun 2030, berbagai respons muncul di linimasa. Ada yang membela dengan menyebut Prabowo memberi peringatan, tetapi ada pula yang skeptis, menyebut pernyataan itu tak didukung kajian ilmiah. Pihak yang kontra beranggapan, kendati ditulis dua ahli studi strategis dari Amerika Serikat, Ghost Fleet merupakan karya fiksi ilmiah.
Bahkan, ada pula netizen yang mengaitkan pernyataan Prabowo dengan persiapan menuju Pemilu 2019, lalu merujuk pada film Hollywood Our Brand is Crisis yang dibintangi Sandra Bullock tahun 2015. Film yang berlatar belakang pemilihan presiden (pilpres) di Bolivia itu mengisahkan pertarungan strategi politik pada pilpres. Sandra Bullock yang menjadi ahli strategi salah satu calon presiden yang awalnya tak punya elektabilitas tinggi, lalu berhasil mengantar kandidatnya memenangi pemilu dengan ”menjual” branding krisis.
Setelah pernyataan itu jadi viral di linimasa dan media konvensional, beberapa wartawan sempat mewawancarai Prabowo setelah sebuah acara di Jakarta, pekan lalu. Saat itu ia menyampaikan, pernyataannya itu untuk membuat para politisi di Indonesia waspada serta jangan anggap enteng masalah yang dihadapi Indonesia. Apalagi, kata dia, sejarah menunjukkan negara asing mencoba merebut kekayaan alam Indonesia.
Prabowo juga sempat menjawab wartawan terkait rujukan soal Indonesia bubar tahun 2030 yang dianggap berasal dari novel fiksi ilmiah. ”Begini, ya. Jadi, di luar negeri, ada yang namanya scenario writing. Memang bentuknya mungkin novel, tetapi ditulis oleh ahli-ahli intelijen strategis,” katanya.
Buku Ghost Fleet bercerita soal masa mendatang, saat konstelasi geopolitik dunia sudah berubah. Dunia menghadapi tekanan ekonomi setelah harga minyak menembus 290 dollar AS. Sebagai catatan, saat ini harga minyak mentah berada di kisaran 60 dollar AS per barrel. China berubah jadi kekuatan besar dunia setelah melalui transformasi politik, meninggalkan sistem partai tunggal komunis yang digerogoti korupsi dan nepotisme. China berada di rezim ”direktorat” yang lebih kompeten, populer, dan sangat teknokratis. Sebaliknya, Amerika Serikat, yang menghadapi ”perang dingin” dengan China, menghadapi penyusutan ekonomi relatif dibandingkan ekonomi dunia.
Indonesia dalam novel itu hanya menjadi ”latar” saja karena tidak banyak disebut. Di bab ”USS Coronado, Selat Malaka”, kapal AS melalui perairan yang berada di antara ”former” Republik Indonesia dan Malaysia yang otoritarian. Indonesia disebut jatuh dalam anarki setelah perang Timor kedua. Bajak laut merajai Selat Malaka untuk mendanai ratusan milisi. Selain itu, tidak ada bagian lain dari buku ini yang menuturkan soal Indonesia secara lebih ”panjang”. Tidak juga dijelaskan apa itu perang Timor kedua dan apa yang menyebabkannya.
Sebelum jadi terlalu khawatir, perlu juga mengingat catatan penulis pada awal buku bahwa novel tersebut terinspirasi dari tren dunia, tetapi karya itu sepenuhnya fiksi, bukan prediksi.
Lebih baik
Diskursus soal negara, termasuk eksistensinya, sudah menjadi perhatian banyak pemerhati hubungan internasional. Ada banyak hal yang bisa membuat negara ”bubar”. Hal itu bisa karena disintegrasi seperti Uni Soviet yang pecah jadi beberapa negara atau Cekoslowakia yang pecah jadi Ceko dan Slowakia. Ada juga negara yang terancam lenyap karena bencana alam, termasuk perubahan iklim, seperti yang sedang mengancam negara-negara kepulauan di Pasifik.
Selain potensi negara ”bubar”, diskursus yang juga dominan ialah soal negara rentan. Negara gagal dimaknai sebagai ketidakmampuan negara menjalankan fungsinya, baik dari aspek ekonomi maupun pertahanan keamanan, kendati entitas negara masih tetap ada. Fragile States Index (FSI) 2017 yang disusun The Fund for Peace menempatkan Sudan Selatan sebagai negara paling rentan dari 178 negara yang ”diukur”, diikuti Somalia, Republik Afrika Tengah, Yaman, dan Sudan. Indeks itu mengukur 4 sektor, yakni kohesi, ekonomi, politik, dan sosial yang masing-masing punya 3 indikator.
FSI 2017 menempatkan Indonesia di peringkat ke-94 dari 178 negara dengan nilai 79,2. Dengan indeks tersebut, berarti Indonesia relatif lebih tahan menghadapi tekanan sosial, ekonomi, dan politik yang bisa membuat sebuah negara kolaps, dibandingkan 93 negara lain. Di antara 93 negara itu ada beberapa tetangga di Asia Tenggara, seperti Thailand, Filipina, Myanmar, dan Laos. Lalu juga ada Rusia, China, India, dan Pakistan.
Indeks ini menunjukkan Indonesia terus menjauhi negara rentan kendati masih masuk kategori oranye atau ”peringatan”. Dalam tren 10 tahunan, 2007-2017, Indonesia termasuk 10 negara paling baik perubahannya. Dari 12 indikator yang digunakan menyusun indeks itu, Indonesia membaik di 11 indikator, tetapi memburuk di satu indikator, yakni ketidakpuasan kelompok.
Selain FSI, beberapa kajian yang parsial per bidang, misalnya di bidang ekonomi, menunjukkan Indonesia punya potensi jadi pemain penting di dunia. PricewaterhouseCoopers (PwC) tahun 2017, seperti dikutip dari laman daring Business Insider UK (7/2/2017), mengeluarkan laporan ”The Long View: How Will the Global Economic Order Change by 2050?” memberi peringkat 32 negara berdasarkan proyeksi produk domestik bruto (PDB) dengan menggunakan paritas daya beli. Pada tahun 2030, Indonesia diproyeksikan ada di peringkat ke-5 dengan estimasi PDB 5.424 miliar dollar AS. Indonesia berada di bawah, berurutan, China (38.008 miliar), AS (23.475 miliar), India (19.511 miliar), dan Jepang (5.606 miliar).
National Intelligence Council (NIC)AS, dalam laporan ”skenario” yang disusun 5 tahunan, Global Trends: the Paradox of Progress (2017), menyebut, dalam 5 tahun mendatang Indonesia bersama India dan Vietnam akan jadi pemain yang lebih penting di kawasan Asia dibandingkan beberapa dekade lalu. Hal itu, antara lain, berkat sumbangsih capaian pembangunan negara, pertumbuhan hubungan dagang yang pesat, dan profil demografi penduduk lebih menguntungkan daripada negara lain.
Tantangan
Beberapa kajian internasional dan data indeks yang menunjukkan posisi Indonesia yang diproyeksikan lebih baik dibandingkan saat ini tidak boleh lantas sekadar dimaknai Indonesia akan baik-baik saja pada 2030. Proyeksi itu tidak boleh dipandang secara teleologis, yakni dimaknai pada akhirnya akan mencapai titik itu tanpa memikirkan cara menuju ke sana. Sebab, ada rentang waktu yang panjang dan ada variabel intervensi yang bisa merusak peta jalan bagi Indonesia untuk menjadi kekuatan Asia, bahkan dunia pada 2030.
Kajian NIC AS yang menyusun tiga ”skenario” global lima tahun, sekaligus proyeksi jangka panjang 2035 menunjukkan semua negara di dunia perlu mengantisipasi perubahan besar di berbagai bidang. Misalnya, perubahan demografi penduduk, pelemahan ekonomi global dalam jangka pendek, dampak negatif perkembangan teknologi, populisme kiri dan kanan yang meningkat, serta sulitnya memenuhi ekspektasi publik yang meningkat. Hal lain yang juga perlu diantisipasi adalah perubahan sifat konflik dan tekanan perubahan iklim serta lingkungan.
Hal lain yang juga tidak kalah penting, tren 10 tahunan FSI menunjukkan Indonesia punya persoalan pada indikator ketidakpuasan kelompok. Ini, misalnya, konflik komunal, persekusi karena perbedaan keyakinan, pembelahan masyarakat, distribusi sumber daya, serta integrasi dan rekonsiliasi pascakonflik di masyarakat. Jika dikaitkan dengan tantangan yang dihadapi hingga 2035, Indonesia tampaknya masih perlu kerja keras mengatasi hal itu. Fragmentasi di masyarakat akan berdampak buruk terhadap upaya menjaga ”narasi” atau ”imajinasi” bangsa Indonesia sebagai satu bangsa. Padahal, ini yang membuat Indonesia yang begitu beragam bisa menjadi satu negara bangsa.
Lembaga Ketahanan Nasional RI sudah menyusun empat skenario Indonesia pada 2045, yakni Skenario Mata Air, Sungai, Kepulauan, dan Air Terjun. Skenario yang sudah diserahkan ke Presiden Joko Widodo tersebut sebenarnya bisa dipandang sebagai sebuah antisipasi.
Kini, pertanyaannya, apakah skenario yang sudah susah payah disusun tersebut dan data lainnya dimanfaatkan secara optimal untuk masa depan yang lebih baik? (ANTONY LEE)