Rumah Kopi, Titik Balik Segregasi
Rumah kopi di Ambon, Maluku, menjadi tempat perjumpaan berbagai komunitas. Melalui rumah kopi, warga Ambon merajut kembali persaudaraan yang sempat tercabik saat konflik terjadi di daerah itu.
Secangkir kopi rarobang memutarbalikkan kenyataan di Ambon, Maluku, pascakonflik 1999-2002. Serbuk kopi, sari jahe, cengkeh, sedikit gula aren, dan biji kenari yang mengapung dalam gelas adalah identitas rarobang. Itu menjadi petunjuk bahwa segregasi antarkomunitas tak lagi berlaku di Ambon.
Sebagaimana rarobang, persatuan kini tumbuh di Ambon. Kota itu dalam kebangkitan akibat konflik yang dimulai pada 1999. Warganya perlahan melawan batas identitas, menghapus prasangka, dan merajut persaudaraan di rumah-rumah kopi. Di sana, rarobang, yang harga satu cangkirnya Rp 16.000, hadir menemani.
Racikan rarobang memang dibuat untuk membangkitkan Maluku dari keterpurukan. Ide ini muncul dari pasangan June Tahitu (50) dan Victor Manuhutu (almarhum) sebelum membuka Rumah Kopi Sibu-Sibu pada 2006. Hampir semua bahan racikan minuman itu berasal dari kekayaan alam yang ada di Maluku. ”Kami ingin memotivasi orang Maluku dengan semua kekuatan budaya yang kami miliki,” kata June, akhir Januari lalu.
Berada di kedai itu serasa berada di Maluku yang satu, merdu dengan suara lagu-lagu. Terpajang juga kisah sukses anak negeri yang umumnya menjadi musisi, model, dan pemain sepak bola.
Di kedai yang ada di Jalan Said Perintah itu, pengunjung yang warga negara asing duduk bersebelahan dengan pengunjung berwajah Ambon. Di sisinya, seorang pengunjung perempuan berkerudung bercengkerama dengan rekan-rekannya.
Meleburnya berbagai komunitas juga terlihat di Rumah Kopi Joas yang berada di Jalan Yos Sudarso. Sore itu, sejumlah orang berseragam aparatur sipil negara, anak-anak muda, polisi, dan penjaja koran tampak membaur di kedai yang didirikan Geby Rumphius (54). Kopi joas yang disajikan di kedai yang dibuka sejak November 2017 itu agak pekat, bijinya berasal dari biji kopi pilihan Pulau Seram.
Kebangkitan
Rumah Kopi Sibu-Sibu dan Rumah Kopi Joas ada di kawasan bisnis di Ambon. Di daerah itu juga ada rumah kopi lainnya, seperti Rumah Kopi Palangkaraya dan Rumah Kopi Trikora yang cukup legendaris.
Rumah-rumah kopi ini menjadi saksi rekonsiliasi komunitas yang terlibat konflik pada 1999. Saat inisiatif damai muncul, kedai-kedai kopi itu bahkan menjadi tempat aksi kemanusiaan. Saat warga Kristen membutuhkan sembako, misalnya, mereka membelinya dari komunitas Muslim di kedai itu. Begitu pun sebaliknya, ketika warga Muslim membutuhkan sesuatu yang melewati perkampungan Kristen, mereka menyelesaikan di kedai itu. Semangat rekonsiliasi itu lantas menjalar ke tempat lain yang membara karena konflik.
Sejumlah rumah kopi sebenarnya sudah ada di Ambon jauh sebelum konflik meletus. Akan tetapi, menurut Guru Besar Antropologi Universitas Pattimura Mus J Huliselan, ada transformasi di kedai-kedai kopi di Ambon.
Setelah konflik, makin banyak kedai kopi yang berdiri dan fungsinya bukan sekadar tempat menikmati minuman. Tempat itu juga menjadi alternatif ruang publik yang saat konflik tersekat oleh blok-blok. ”Fenomena ini menarik karena Maluku bukan penghasil kopi dalam jumlah besar,” kata Huliselan.
Pekerjaan rumah
Saat ini, di luar kedai kopi, segregasi belum sepenuhnya hilang di Ambon. Masih ada keraguan seseorang hidup di komunitas lain yang berbeda dengannya. Sekolah negeri masih menjadi ”milik” komunitas tempat sekolah itu berada. Dalam percakapan sesama warga, masih sering terdengar penggunaan istilah tertentu yang sengaja diutarakan untuk memberi batas identitas komunitas seseorang.
Hal ini sejalan dengan penelitian Hatib Abdul Kadir, pengajar Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Dalam bukunya, Bergaya di Kota Konflik; Mencari Akar Konflik Ambon Melalui Gaya Hidup Anak Muda (2009), disebutkan bahwa Kota Ambon telah cukup memenuhi syarat untuk dinilai sebagai kota yang terbelah.
Temuan Hatib, ada istilah ”Jalur Gaza” untuk menandai batas wilayah komunitas yang berbeda. Hal ini yang membuat ruang interaksi di ruang publik menjadi terbatas meski tak berarti perjumpaan warga berbeda komunitas tidak bisa dilakukan.
Dua tahun setelah konflik berakhir, seperti yang diulas Hatib, muncul ruang-ruang konsumsi di sepanjang Jalan AY Patty, Jalan Abdulalie, Jalan Pattimura, hingga Jalan Antony Reebok. Kini, hal serupa tumbuh di Jalan Yos Sudarso, Jalan Diponegoro, dan Jalan Said Perintah. Selain rumah makan, kedai-kedai kopi meramaikan kawasan niaga tersebut. Di kawasan ini, situasi mencair, Ambon perlahan mulai kembali ke identitas awal. Harapan banyak orang, di tempat-tempat tersebut orang Ambon dapat mengatakan, yang katong tahu ini, katong anak Ambon sa. Artinya, yang kami tahu ini, kami anak Ambon saja.
Pemulihan situasi di Ambon memang masih panjang. Interaksi di kedai-kedai kopi bukan satu-satunya jalan menuju rekonsiliasi. Langkah untuk mengikis segregasi, baik dari pemerintah, pegiat kemanusiaan, maupun inisiatif dari akar rumput, perlu mendapat dukungan.
Generasi baru
Josep Matheus Rudolf Fofid, mantan Koordinator Maluku Media Centre, mengatakan, munculnya generasi yang kini berusia belasan tahun hingga 25 tahun menjadi harapan baru. Saat konflik, mereka masih berusia balita, bahkan sebagian belum lahir ke dunia. Pada mereka, harapan terwujudnya Maluku yang damai disematkan.
Sebagian dari mereka kini aktif terlibat dalam penguatan rekonsiliasi. Mereka antara lain adalah Dalenz Utrak, bersama Richaido, Jonah Cello Queson, dan Ians yang kini tidak lelah menyuarakan kampanye damai melalui musik dan lagu. Suatu malam di pekan ketiga Januari, Dalenz dan teman-remannya tampil di Maples Cafe di Jalan Diponegoro. Tempat ini tidak hanya menyajikan kopi, tetapi juga minuman dan makanan.
Malam itu, Dalenz dan teman-temannya antara lain menyanyikan lagu berjudul ”Indahnya Amboina” yang diciptakan tahun 2011. ”Damailah..., negeri beta. ...indahnya, negeri beta...”.
Dalenz berharap siapa pun yang mendengarkan lagu-lagunya akan semakin menyadari keindahan perdamaian dan Maluku. Menurut dia, generasi Ambon pascakonflik adalah generasi yang hancur hingga perlu dikembalikan dengan semangat persaudaraan seperti yang terjadi sebelum konflik.
Menikmati kopi dan lagu memang bukan satu-satunya jalan menuju Maluku yang damai. Namun, inisiatif yang lahir di tempat itu tidak bisa diabaikan.