Meski kekuatan kelompok teroris, seperti NIIS, makin terbatas, mereka memanfaatkan media sosial untuk propaganda, menggalang dana, dan merekrut anggota baru. Kerja sama perlu diperkuat untuk mengantisipasi aksi teror.
JAKARTA, KOMPAS - Penanganan terorisme di dunia maya merupakan pekerjaan rumah bagi Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya. Meskipun kekuatan kelompok teroris Negara Islam di Irak dan Suriah atau NIIS sudah terbatas, mereka masih cukup aktif memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan propaganda, penggalangan dana, dan perekrutan anggota baru.
Rohan Gunaratna, Kepala Pusat Internasional Riset Kekerasan Politik dan Terorisme Nanyang Technological University, Singapura, mengatakan, kekuatan utama kelompok NIIS ialah mampu menguasai media sosial yang menjadi titik lemah pemerintahan di sejumlah negara, di antaranya kawasan Asia Tenggara. Sejak 2014, lanjut dia, NIIS telah menunjukkan bahwa mereka mampu mengeksploitasi kelemahan pemerintah sejumlah negara di ruang digital.
Selain itu, terdapat sedikitnya 10.000 situs radikal di internet yang dibuat simpatisan NIIS di seluruh dunia untuk menyebarkan propaganda. Jumlah tersebut belum termasuk ratusan ribu akun media sosial yang cukup efektif menjadi alat untuk merekrut anggota, mengumpulkan dana, dan merencanakan aksi teror.
”NIIS sangat signifikan bergerak secara daring. Untuk itu, Pemerintah Indonesia perlu mengimbangi kekuatan digital mereka, misalnya dengan menciptakan pasukan siber yang bertugas melakukan kontrapropaganda,” tutur Gunaratna dalam seminar internasional bertema ”Best Practice on Handling Terrorism” di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, Kamis (22/2).
Perubahan pergerakan kelompok teroris ke ranah digital juga berdampak pada pergeseran kegiatan operasi. Kepala Kepolisian Daerah Bali Inspektur Jenderal Petrus R Golose menyebutkan, setidaknya terdapat tujuh perubahan yang dilakukan NIIS dibandingkan gerakan yang dilakukan kelompok teroris terdahulu, misalnya Al Qaeda.
Pertama, propaganda cara lama melalui penerbitan buku, poster, dan pamflet berbiaya besar kini tidak lagi dijalankan oleh NIIS karena cukup menggunakan ruang digital dengan jangkauan lebih luas. Kedua, penyebaran propaganda di dunia maya cukup efektif meningkatkan kualitas perekrutan karena mampu menembus orang-orang berpendidikan tinggi dengan tingkat ekonomi lebih sejahtera.
Ketiga, pelaksanaan latihan paramiliter yang sebelumnya dilakukan melalui tatap muka oleh NIIS kini cukup dengan menyebarkan buku elektronik untuk menjadi panduan latihan bagi seluruh simpatisannya. Keempat, untuk pengadaan logistik juga berubah menjadi transaksi daring. Kelima, apabila Al Qaeda mengirimkan dana kepada para anggotanya, NIIS justru melakukan penggalangan dana berkedok kegiatan amal.
Keenam, dalam perencanaan aksi teror, NIIS lebih dominan menggunakan pelaku teror tunggal. Terakhir, operasi teror NIIS tidak lagi khusus menargetkan simbol-simbol negara barat, tetapi lebih mengutamakan simbol pemerintah, seperti kantor pemerintah dan markas kepolisian.
Untuk mengantisipasi perubahan strategi tersebut, kata Petrus, Polri mengolaborasikan pendekatan keras dan lunak. Pendekatan keras dilakukan melalui penegakan hukum yang berperan untuk mencegah aksi teror terjadi. Adapun pendekatan lunak dengan program humanis yang bertujuan agar para pelaku teror meninggalkan kelompok radikal.
Kerja sama
Brigadir Jenderal (Purn) Russel D Howard, pakar kontraterorisme sekaligus veteran militer Amerika Serikat, menuturkan, perpaduan pendekatan keras dan lunak juga dilakukan oleh AS untuk menekan NIIS, terutama di Timur Tengah dan Afrika. Pendekatan lunak setelah operasi militer itu, lanjut Howard, dijalankan bekerja sama dengan negara target operasi khusus terorisme.
Kegiatan itu di antaranya adalah meningkatkan pemahaman tentang terorisme dan kontra terorisme, integrasi operasi khusus, perencanaan operasi khusus, pendidikan koordinasi antarkementerian, dan koordinasi multinasional. Hal ini agar negara tersebut lebih mampu mengantisipasi terorisme. (SAN)