Harapan akan mobilitas karier secara vertikal jadi penanda para kontestan dalam Pilkada Maluku tahun ini. Dari tiga pasang calon yang ikut kontestasi, dua pasang calon dan satu calon wakil gubernur punya rekam jejak sebagai kepala daerah ataupun wakil kepala daerah kabupaten di Maluku. Hanya satu calon gubernur yang bukan dari kalangan kepala daerah.
Hampir semua pasangan calon juga menabalkan diri sebagai pejabat yang memiliki cukup pengalaman di sejumlah institusi birokrasi lokal. Pasangan Said Assagaff-Anderias Rentanubun, misalnya. Selain sebagai gubernur petahana, Said Assagaff juga pernah menjabat Wakil Gubernur Maluku 2008-2013, Sekretaris Daerah Maluku, serta pejabat di Bappeda Maluku. Sementara Anderias Rentanubun, selain Bupati Maluku Tenggara dua periode sejak 2008, juga lama berkiprah di Dinas Pekerjaan Umum serta Pemukiman dan Prasarana Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara.
Pasangan Herman Koedoeboen-Abdullah Vanath juga tidak asing dengan birokrasi. Koedoeboen pernah menjabat Bupati Maluku Tenggara pada 2003-2008 serta menapaki karier sebagai aparat penegak hukum sebagai Wakil Kejaksaan Tinggi Maluku. Adapun Abdullah Vanath, meski awalnya dari kalangan swasta, telah menjabat sebagai Bupati Seram Bagian Timur selama dua periode.
Dari pasangan nomor urut dua, Murad Ismail dan Barnabas Orno, hanya Barnabas yang memiliki pengalaman birokrasi, yaitu sebagai Bupati Maluku Barat Daya 2011-2018 dan sebelumnya Wakil Bupati Maluku Tenggara Barat 2007-2011. Barnabas juga pernah menjadi Camat Babar Timur, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, serta menapaki karier di jajaran birokrasi Maluku Tenggara. Sementara Murad Ismail, meski bukan dari kalangan birokrasi, juga pernah bersentuhan dengan wilayah Maluku. Murad Ismail pernah menjabat Wakapolda dan Kapolda Maluku pada 2013-2015.
Gambaran ini menunjukkan basis profesional pengenalan para calon terhadap wilayah Maluku dan dinamika kerja jajaran birokrasinya. Hal ini juga menunjukkan, hampir semua calon menggenggam sumber kekuasaan di birokrasi lokal. Antropolog IAIN Ambon, Abdul Manaf Tubaka, menyebut, kondisi ini memungkinkan mereka memiliki akses ke masyarakat, memberi sentuhan pada pembangunan, dan membentuk imajinasi tentang pemimpin daerah.
Kontestasi
Perburuan jabatan Gubernur Maluku di Pilkada 2018 ini bisa dibilang merupakan kelanjutan pertarungan di Pilkada 2013. Saat itu, pilkada diikuti oleh lima pasang calon, di antaranya Said Assagaff (waktu itu menjabat Wakil Gubernur Maluku) yang berpasangan dengan Zeth Sahuburua dan didukung Partai Demokrat. Lalu, Abdullah Vanath-Martin Maspaitella yang didukung 14 partai tanpa kursi parlemen serta Herman Koedoeboen-Daud Sangadji yang didukung PDI-P.
Dari tiga pasang calon itu, Abdullah Vanath-Martin Maspaitella memenangi pertarungan awal. Posisi kedua adalah Said Assagaff-Zeth Sahuburua dan posisi ketiga dipegang Herman Koedoeboen-Daud Sangadji. Karena tidak ada pasangan calon yang mencapai 30 persen suara, pertarungan yang diwarnai gugatan ke MK itu berlanjut ke putaran kedua antara Abdullah Vanath-Martin Maspaitella dan Said Assagaff-Zeth Sahuburua.
Hasil putaran kedua dimenangi Said Assagaff-Zeth Sahuburua, yang kemudian jadi Gubernur-Wakil Gubernur Maluku 2013-2018. Namun, kemenangan pasangan ini dibayangi secara ketat oleh pasangan lawan karena proporsi suara hanya berbeda tipis, 0,79 persen.
Di Pilkada 2018 ini, Said Assagaff harus bertarung dengan koalisi Herman Koedoeboen-Abdullah Vanath yang lima tahun sebelumnya membayangi kemenangannya. Meskipun Koedoeboen-Vanath maju dari jalur perseorangan, sedangkan dua pasangan lain didukung kekuatan partai, wilayah-wilayah yang pernah jadi lumbung suara pasangan perseorangan ini bisa jadi tetap bergeming.
Perebutan pemilih yang ketat kemungkinan terjadi di wilayah-wilayah di mana setiap pasangan calon unggul saat Pilkada 2013. Koedoeboen dan Vanath pernah unggul di Kota Tual, Kabupaten Maluku Tengah, Kepulauan Aru, Seram Bagian Barat, serta Seram Bagian Timur. Sementara Assagaff memiliki pendukung kuat di Kota Ambon, Kabupaten Buru, Buru Selatan, Maluku Tenggara, dan Maluku Barat Daya.
Representasi
Terlepas dari pertarungan wilayah para kandidat, bagi masyarakat Maluku, faktor yang paling diperhitungkan untuk memilih pemimpin daerah saat ini adalah seberapa dekat para calon dapat merepresentasikan kepentingan konstituen. Bagi Asrul (48), pedagang yang telah merantau dari Ternate ke Ambon selama 15 tahun, sosok yang paling cocok memimpin Maluku adalah yang mampu menciptakan lapangan kerja.
”Sekarang masih sulit cari pekerjaan. Banyak yang nganggur,” ujar Asrul.
Ungkapan Asrul sejalan dengan data BPS terkait tingkat pengangguran di Maluku yang pada 2017 mencapai 9,29 persen dari angkatan kerja. Ini meningkat dari tahun sebelumnya yang ada di angka 7,05 persen. Angka itu menjadikan Maluku sebagai provinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia.
Tak hanya soal peluang kerja, Barry (45), pengemudi ojek dan sesekali membawa turis ke sejumlah pulau di provinsi itu, menekankan tentang stabilitas keamanan di Maluku. Penekanan ini berkaitan dengan pengalamannya saat konflik horizontal melanda Maluku tahun 1999-2002.
”Tak boleh ada lagi baku bunuh seperti dulu. Sekarang saatnya bekerja bersama. Butuh pemimpin yang bisa mengendalikan keamanan, tegas, dan mau kerja,” kata Barry.
Konflik Maluku berulang kembali pasca-Perjanjian Malino II yang ditandatangani tahun 2002. Data Violent Conflict in Indonesia Study mencatat, jumlah korban tewas hingga 2002 mencapai 2.793 orang dan 5.057 orang luka-luka.
Perimbangan
Di atas kertas, komposisi identitas agama para pasangan calon telah cukup merepresentasikan identitas konstituen. Tiap pasangan terdiri dari calon Muslim dan non-Muslim. Komposisi ini bisa jadi tak hanya untuk mendulang suara, tetapi juga memenuhi perimbangan identitas guna memperkecil potensi konflik terulang kembali.
Selain agama, faktor representasi geografik patut dilihat. Sebagai negeri seribu pulau, latar belakang wilayah yang mewakili kepulauan Seram-Lease-Maluku Tenggara dinilai paling ideal. Tiap pasangan calon hampir mewakili kategori kepulauan tersebut.
Koedoeboen-Vanath bisa dibilang berlatar kepulauan Maluku Tenggara dan Seram. Sementara Murad Ismail-Barnabas Orno berasal dari Leihitu di Pulau Ambon dan Maluku Barat Daya. Sementara Assagaff-Rentanubun berlatar Banda, Ambon, dan Maluku Tenggara.
Namun, seluruh representasi geografik dan agama itu masih perlu diwujudkan dalam kerja nyata saat kursi kepala daerah telah digenggam.