Perhatikan Kondisi Korban
Pemerintah perlu mempersiapkan rencana pertemuan korban dengan pelaku aksi teror secara matang agar tidak menambah trauma bagi korban dan keluarganya.
JAKARTA, KOMPAS - Rencana Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan mempertemukan pelaku tindak pidana terorisme dengan korban aksi teror beserta keluarganya perlu dipersiapkan secara matang. Pemerintah hendaknya tetap mempertimbangkan kondisi psikologis para korban aksi teror beserta keluarganya agar pertemuan itu tidak menambah trauma mereka.
Sebelum mewujudkan pertemuan tersebut, sebaiknya pemerintah memberikan perlindungan terhadap korban dan keluarganya. Perlindungan terhadap korban sekaligus penjaminan biaya pemulihan kesehatan fisik dan psikis mereka juga perlu diprioritaskan sebelum agenda pertemuan dilaksanakan.
Thiolina F Marpaung, korban Bom Bali I (2002), yang dihubungi dari Jakarta, Selasa (6/2), mengatakan, pemerintah harus berhati-hati mengundang para korban karena belum semuanya mampu melupakan peristiwa traumatik, khususnya Bom Bali I dan II.
”Pemerintah tidak boleh memaksakan untuk datang. Kalaupun pemerintah ingin mengundang mereka, para korban, jangan sampai pertemuan itu menguak kembali luka mereka. Mereka harus ditanya dulu apakah siap untuk dipertemukan atau tidak,” kata Thiolina.
Berkaca pada pengalamannya menemani para korban, kata Thiolina, tidak semua korban aksi teror mampu memberikan maaf atas tindakan para pelaku teror walau kejadian itu sudah berlalu bertahun-tahun. Thiolina menuturkan, berdasarkan pengalamannya mendampingi korban bertemu pelaku, yang terjadi adalah psikologis korban malah terguncang hebat.
”Artinya pemerintah harus melihat trauma psikologis mereka belum pulih dan harus mendapat perhatian. Belum siap dipertemukan dengan pelaku,” kata dia.
Rencana pertemuan korban dengan para pelaku tindak pidana terorisme diungkapkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Senin lalu. Sesudah program deradikalisasi dengan pendekatan lunak (soft approach), pemerintah akan melakukan langkah berikutnya, yaitu mempertemukan korban dan keluarganya dengan pelaku.
”Kita kembangkan lagi antara pelaku terorisme dan korban. Kami sudah rapatkan dan akan dilakukan akhir bulan ini,” kata Wiranto.
Dalam pertemuan itu, Wiranto berharap pelaku terorisme yang sudah insaf bisa menjelaskan di hadapan para korban kenapa melakukan aksi itu. Mereka juga akan diminta menjelaskan tentang aktivitas jaringan dan pola perekrutannya. Diharapkan setelah itu, kedua pihak akan saling memaafkan.
Pelaku terorisme yang sudah insaf bisa menjelaskan di hadapan para korban kenapa melakukan aksi itu.
Pemerintah kini tengah memetakan narapidana terorisme dan keluarga korban yang dinilai siap untuk bertemu. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Suhardi Alius, di sela-sela rapat koordinasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Jakarta, Rabu (7/2), mengakui, tidak semua korban bisa menerima tindakan narapidana terorisme di masa lalu.
”Hal itu diperlukan karena tidak semua orang menerima dan memaafkan. Namun, kehidupan kita harus terus berlanjut,” ujarnya.
Suhardi mengatakan, seperti halnya korban yang masih belum bisa memaafkan dan menerima peristiwa tersebut, pelaku juga masih ada yang belum bisa dan siap bertemu dengan para korban. BNPT telah mengumpulkan sekitar 120 mantan teroris untuk diajak dalam kegiatan yang juga bertujuan membendung radikalisme tersebut.
”Pelaku teror sudah sadar bahwa korban adalah saudara sendiri. Pesannya adalah agar menjadi contoh bagi yang lain sehingga jangan sampai ada korban kembali. Mudah-mudahan ini bisa memberikan format ke depan,” tuturnya.
Pesannya adalah agar menjadi contoh bagi yang lain sehingga jangan sampai ada korban kembali.
Belum ditangani
Secara terpisah, Lili Pintauli Siregar, Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), meminta pemerintah tidak terburu-buru dengan rencana pertemuan tersebut. Seperti masukan yang diberikan Thiolina, Lili mengatakan, pemerintah perlu mempelajari terlebih dulu kondisi para korban tindak pidana terorisme serta keluarganya.
”Tidak hanya yang dilindungi oleh LPSK. Masih banyak korban aksi teroris di luar sistem kami yang belum tertangani karena keterbatasan sumber daya,” kata Lili.
Menurut Lili, masih banyak korban aksi teroris yang belum ditangani secara semestinya. Artinya, masih banyak korban aksi teror yang belum mendapatkan kompensasi atas peristiwa teror yang membuatnya menderita luka fisik dan psikis.
Pertemuan yang digagas oleh pemerintah ini, menurut Lili, bisa kontraproduktif apabila pemerintah sendiri belum mampu memberikan perlindungan atau jaminan, baik fisik maupun psikis, kepada para korban.
”Saya tidak terbayang jika pemerintah mempertemukan korban dan para pelaku teror itu. Tujuannya apa? Saling memaafkan? Sementara urusan sakit hati, trauma, dan sebagainya belum pulih,” kata Lili. (MHD)