Kementerian Dalam Negeri mencabut 51 Peraturan Menteri Dalam Negeri yang dianggap memperpanjang rantai birokrasi, seperti perizinan. Pencabutan itu diharapkan menjadi momentum bagi daerah untuk bergerak lebih maju.
JAKARTA, KOMPAS Kementerian Dalam Negeri mencabut 51 peraturan Menteri Dalam Negeri yang selama ini dinilai menghambat birokrasi dan memperpanjang rantai birokrasi untuk mengatasi ketertinggalan proyek infrastruktur di daerah.
”Hari ini saya umumkan mencabut 51 permendagri yang menghambat birokrasi dan rantai birokrasi menjadi panjang. (Langkah) Ini baru tahap awal,” kata Mendagri Tjahjo Kumolo saat membuka rapat koordinasi pemerintah pusat dan daerah untuk menghadapi pilkada, di Jakarta, Rabu (7/2).
Tjahjo mengatakan, pencabutan permendagri ini hanya langkah awal dari rencana jangka panjang pemerintah pusat untuk mempermudah dan merampingkan perizinan yang selama ini dinilai sangat berbelit-belit dan birokratis. Apalagi, kewenangan pemerintah pusat untuk mencabut peraturan daerah telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tahun lalu melalui dua keputusan, yaitu putusan pada 5 April 2017 atas perkara PUU Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan keputusan pada 14 Juni 2017 atas perkara PUU Nomor 56/PUU-XIV/2016.
Menurut Tjahjo, pencabutan 51 permendagri didasari keinginan Presiden Joko Widodo untuk terus menggenjot proyek pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia. Kendala perizinan dengan rantai birokrasi yang sangat panjang dan rumit inilah yang coba akan dihilangkan dengan pencabutan 51 permendagri tersebut.
Dari hasil audit Kemendagri, kata Tjahjo, untuk saat ini ada sekitar 52 aturan birokrasi di kementeriannya yang dinilai berbelit-belit. Tjahjo tak merinci 51 permendagri yang dicabut. Namun, bidangnya mencakup bermacam-macam, mulai dari perizinan, pemerintahan, kepegawaian, kepamongprajaan, hingga masalah pengadaan barang dan jasa sampai izin penelitian, kesehatan, penanggulangan bencana, perpajakan, komunikasi dan telekomunikasi, serta pelatihan dan pendidikan.
”Tahun kemarin, ada 1.600-an permendagri yang kami pangkas. Karena sekarang kami tidak memiliki kewenangan eksternal untuk membatalkan peraturan daerah sehingga kami sisir yang internal,” ujarnya.
Pencabutan 51 permendagri sebelumnya dituangkan dalam Permendagri Nomor 6 Tahun 2018 pada 7 Februari 2018. Beberapa permendagri yang dicabut adalah Permendagri Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Belanja Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan Permendagri Nomor 44 Tahun 2009 tentang Kebijakan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Tahun 2009.
Permendagri lainnya adalah Nomor 13 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pengajuan Cuti bagi Kepala Daerah Melaksanakan Kampanye Pemilihan Umum dan Permohonan Izin bagi Kepala Daerah yang Dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden.
Mengenai Permendagri Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penerbitan Rekomendasi Penelitian, Tjahjo menyatakan, Kemendagri untuk sementara membatalkan pelaksanaan peraturan perundangan tersebut.
Pelaksanaan di lapangan, tambah Tjahjo, akan kembali ke peraturan yang lama, yaitu Permendagri Nomor 7 Tahun 2014 dengan substansi yang sama. ”Saya mencabut permendagri tersebut dengan pertimbangan akan menyerap aspirasi banyak pihak, khususnya akademisi dan lembaga penelitian secara mendalam,” tuturnya.
Memberi dampak
Wahyudi Djafar, Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), mengatakan, pencabutan permendagri tentang penelitian itu harus menjadi momentum reformasi rezim penelitian di Indonesia. Tata kelola penelitian yang berbelit-belit selama ini di Indonesia telah berdampak pada minimnya produktivitas riset para peneliti di negara ini.
”Perlu koordinasi yang baik dan simultan dari para pihak untuk mendorong reformasi regulasi penelitian yang akhirnya mampu menumbuhkan inovasi dalam penelitian,” ujarnya.