Anggota Panitia Kerja (Panja) RKUHP DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, saat dihubungi, Minggu (4/2), mengatakan, selama pembahasan, panja dan tim pemerintah sebenarnya sudah berhati-hati dalam merumuskan setiap pasal agar tidak multitafsir.
Namun, menyusul masukan dari masyarakat bahwa masih ada pasal-pasal yang berpotensi multitafsir, lebih baik ahli-ahli hukum pidana dan mantan penegak hukum meneliti kembali setiap pasal di RKUHP setelah panja dan pemerintah menyelesaikan tugasnya. Mereka yang meneliti ini adalah ahli yang tidak masuk dalam tim ahli pemerintah dan tidak terlibat pembahasan RKUHP.
”Jadi, demi kehati-hatian, sebelum hasil panja dan pemerintah dibawa ke Rapat Pleno Komisi III DPR untuk diputuskan dan selanjutnya dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk disahkan, para ahli ini meneliti semua rumusan di RKUHP,” katanya.
Para ahli itu nantinya sebatas mengecek redaksional kalimat di setiap pasal. Jika ada kalimat yang berpotensi memberi ruang interpretasi terlalu luas bagi penegak hukum, redaksional kalimat bisa diubah. Opsi lainnya, bisa saja dengan menambahkan penjelasan untuk pasal yang multitafsir tersebut.
”Namun, penelitian kembali oleh ahli ini tidak mempersoalkan substansi pasal, apalagi mengusulkan substansi baru. Sebab, kalau menyangkut substansi, itu sudah bagian dari politik hukum yang diputuskan DPR bersama pemerintah,” tuturnya.
Anggota Panja RKUHP dari Fraksi Partai Nasdem DPR Taufiqulhadi mendukung usulan tersebut.
Terkait pasal tentang makar di RKUHP yang disebut berpotensi multitafsir karena bisa menjerat pihak yang mengkritik penguasa atau pemerintah, misalnya, dia mengatakan, tujuan panja dan pemerintah membuat pasal ini semata melindungi negara dari upaya makar karena bisa memicu instabilitas.
”Namun, apabila interpretasi pasal bisa meluas sehingga dapat menjerat pihak yang mengkritik penguasa, ya, tidak masalah untuk dikaji kembali bunyi pasalnya,” katanya.
Adapun terkait pasal lain di RKUHP yang dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, Taufiqulhadi memastikan pembahasan pasal-pasal oleh panja dan pemerintah sudah memperhatikan putusan MK. Jadi, dia yakin tidak ada pasal yang bertentangan dengan putusan MK.
Sebagai contoh, pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden atau penghinaan terhadap pemerintah yang disebut bertentangan dengan putusan MK. Menurut dia, ketentuan itu di RKUHP tidak lagi seperti ketentuan yang pernah dibatalkan MK. Ketentuan tersebut sudah diubah dari yang semula delik umum menjadi delik aduan.
Selain itu, panja dan pemerintah telah membuat pasal lain di RKUHP guna mencegah pasal itu digunakan untuk menjerat pihak yang mengkritik Presiden/Wakil Presiden atau pemerintah.
”Pasal itu intinya menjelaskan, selama yang disampaikan seseorang kepada Presiden/Wakil Presiden atau pemerintah tersebut menyangkut kepentingan umum dan untuk kepentingan demokrasi, dia tidak bisa dijerat dengan pasal penghinaan. Penghinaan berbeda dengan kritik kinerja,” ujar Taufiqulhadi.
Namun, panja dan pemerintah sepakat menolak pasal itu dihilangkan hanya karena putusan MK. Sebab, tidak tepat jika kepala/wakil kepala negara yang merupakan simbol negara dihina. ”Penghinaan terhadap kepala/wakil kepala negara lain saat datang ke negara kita saja kena pidana, masak penghinaan terhadap kepala/wakil kepala negara sendiri dibiarkan,” ujarnya menambahkan.
Kajian mendalam
Subkomisi Pengkajian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam meminta pembentuk undang-undang untuk melakukan kajian mendalam terkait politik pemidanaan yang akan diterapkan. Hal ini penting terlebih karena saat ini negeri ini dihadapkan pada persoalan kelebihan penghuni lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan. Apabila RKUHP ini disahkan, potensi orang yang bisa dipidanakan naik hingga dua kali lipat.
Oleh karena itu, kata Anam, dibutuhkan uji dampak dan politik pemidanaan Indonesia 100 tahun ke depan itu seperti apa. ”Selain melakukan kajian mendalam, DPR dan pemerintah perlu bertindak aktif dengan menjaring aspirasi dari masyarakat seluas-luasnya, terkait pasal-pasal pidana yang akan diakomodasi dalam RKUHP,” katanya menjelaskan.
Selain itu, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengusulkan agar Panja RKUHP DPR dan pemerintah membuka diri dengan mengundang sejumlah lembaga terkait yang selama ini menggunakan undang-undang tertentu dalam menjalankan tugasnya dalam penegakan hukum. Lembaga-lembaga tersebut perlu untuk didengar pendapatnya. (APA/MDN)