JAKARTA, KOMPAS — Wacana pengawasan terhadap instansi-instansi yang akan menanggulangi terorisme oleh DPR dengan melibatkan publik menjadi opsi. Menguatnya wacana tersebut kemungkinan besar dapat menggugurkan opsi pembentukan lembaga baru yang mengawasi instansi-instansi tersebut.
Anggota Panitia Khusus RUU Antiterorisme DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/1), mengatakan, wacana pengawasan oleh DPR dan publik dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menguat. Pasalnya, hal itu jauh lebih efisien daripada membentuk lembaga baru.
”Lembaga baru akan butuh kantor baru, pegawai baru, sehingga menyedot anggaran negara. DPR juga ingin menepis anggapan, setiap pembahasan RUU, DPR menciptakan lapangan pekerjaan baru dengan membentuk badan baru,” kata Arsul.
Pengawasan oleh DPR direncanakan tim pengawas DPR, yang terdiri dari komisi bidang pertahanan, intelijen, dan luar negeri serta komisi bidang hukum, hak asasi manusia, dan keamanan. Pembentukan tim pengawas ini seperti pembentukan Tim Pengawas Intelijen Negara di DPR yang mengawasi penyelenggara intelijen negara dan pembentukannya diamanatkan UU No 17/2011 tentang Intelijen Negara.
Bedanya, terkait pengawasan instansi-instansi yang menanggulangi terorisme, masyarakat dilibatkan. Publik bisa diwakili Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, elemen masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi masyarakat bidang keagamaan. ”Untuk mendefinisikan siapa yang bisa mewakili masyarakat, akan diuraikan peraturan DPR,” kata Arsul.
Ruang lingkup pengawasan oleh tim DPR tak hanya terpusat pada aparat keamanan, tetapi juga semua instansi yang bertugas menanggulangi terorisme. Selain Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, juga ada 36 kementerian/lembaga yang terlibat serta pemerintah daerah. Ini berarti, yang diawasi tak sebatas tugas penindakan aparat keamanan, tetapi semua yang terkait penanggulangan terorisme, termasuk program deradikalisasi dan kontraradikalisasi.
Pupus ketidakpercayaan
Lebih jauh, Arsul menyatakan, pengawasan DPR dan publik ini penting sebagai cara mengatasi ketidakpercayaan jika pengawasan diserahkan kepada pengawas internal di instansi.
Hal senada diungkapkan anggota Pansus RUU Antiterorisme DPR dari Fraksi Partai Golkar, Saiful Bahri Ruray. ”Saya lihat semua fraksi setuju pembentukan tim pengawas DPR dan publik,” ujar Saiful.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform, Anggara, menambahkan, di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, pengawasan penanggulangan terorisme dilakukan parlemen. Adanya pengawasan eksternal selain pengawasan internal oleh setiap lembaga penting untuk memastikan program tepat sasaran dan tak terjadi penyalahgunaan wewenang. (APA)