JAKARTA, KOMPAS — Menteri Dalam Negeri berencana menunjuk perwira tinggi Polri aktif sebagai pelaksana tugas gubernur untuk Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara. Penunjukan ini bertujuan untuk mengisi kekosongan posisi gubernur, baik karena masa jabatannya yang akan habis maupun karena diharuskan untuk cuti karena mengikuti pilkada.
”Mendagri memang mempunyai kewenangan untuk menunjuk plt gubernur atau bupati/wali kota agar roda pemerintahan di daerah, khususnya di daerah-daerah yang menyelenggarakan pilkada, tetap terjaga. Namun, rencana Mendagri untuk menempatkan perwira Polri aktif sebagai plt gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara (atau di daerah lain) perlu untuk dikaji kembali. Pemilihan perwira Polri aktif oleh Mendagri tersebut kental dugaan dimensi politisnya,” kata Direktur Imparsial Al Araf dalm keterangan resminya Minggu (28/1) di Jakarta.
Menurut Araf, kondisi ini tentu tidak hanya akan rawan politisasi, tetapi juga menimbulkan kecurigaan publik adanya kepentingan politik di balik penunjukan itu.
Araf mengatakan, dalih penempatan perwira Polri aktif itu dalam rangka menjamin keamanan di daerah rentan konflik merupakan alasan yang tidak berdasar. Dalam upaya memastikan keamanan pelaksanaan pilkada, langkah yang penting dan perlu dilakukan adalah mendukung dan memperkuat peran dan tugas yang dijalankan oleh kepolisian itu sendiri.
Sementara itu, penempatan perwira polisi aktif sebagai plt gubernur di beberapa daerah bukannya memperkuat, melainkan justru akan melemahkan peran-peran kepolisian di tengah proses pelaksanaan pilkada.
Langkah itu memunculkan polemik yang membuat kondisi politik menjadi kisruh karena menempatkan institusi kepolisian akan disorot, bahkan dicurigai sebagai instrumen pemenangan kandidat tertentu. Dinamika ini akan mendorong kondisi keamanan selama gelaran pilkada 2018 berjalan tidak kondusif.
Bahkan, dalam beberapa kasus di pilkada yang lalu, yakni Pilkada Jakarta yang penuh dengan dinamika politik yang cukup panas, plt gubernur berasal dari kalangan sipil dan bukan dari perwira Polri dan kondisi pilkada berjalan damai pada akhirnya.
Dalam konteks itu, yang menentukan jaminan keamanan bukannya plt gubernur, melainkan langkah kepolisian yang antisipatif dalam mengamankan pilkada dibantu oleh masyarakat. Dengan demikian, dalih demi menjaga keamanan sehingga ditunjuk plt gubernur oleh Mendagri dari perwira Polri tidak berdasar dan beralasan.
Menurut Araf, Mendagri sebaiknya menghindari langkah-langkah kebijakan yang justru hanya akan memicu polemik politis di publik dan mengancam dinamika pelaksanaan pilkada yang demokratis, damai, dan aman.
Dalam konteks kebutuhan untuk mengisi kekosongan kepala daerah, Mendagri sebaiknya menunjuk dan menempatkan pelaksana tugas kepala daerah di daerah tersebut berasal dari unsur pejabat pimpinan di Kementerian Dalam Negeri atau pemerintah provinsi.
Selain untuk memastikan bahwa plt itu mengerti dan memahami betul tata kelola pemerintahan daerah sehingga pelayanan publik dan roda pemerintahan daerah tetap berjalan baik, langkah itu juga untuk memastikan netralitas pemerintah daerah selama berlangsungnya pilkada tersebut.
”Imparsial mendesak semua pihak untuk memastikan terjaganya netralitas TNI dan Polri dalam pilkada. Hal ini merupakan suatu keharusan dan sekaligus menjadi salah satu elemen dan kunci penting berlangsungnya politik elektoral kita agar demokratis, aman, dan damai. Semua pihak, khususnya pemerintah dan elite politik, jangan sekali-kali memberikan ruang bagi terjadinya politisasi institusi keamanan (TNI/Polri) untuk kepentingan pemenangan elektoral,” katanya.
Politisasi dan penggunaan instrumen kelembagaan dan sumber daya TNI/Polri tidak hanya akan merusak profesionalisme aktor keamanan, tetapi juga mengancam pilkada itu sendiri. ”Kita secara bersama-sama perlu dan penting untuk memastikan TNI-Polri tetap netral dan tidak terlibat dalam kegiatan politik. Karena itu, Imparsial mendesak Presiden Jokowi untuk memerintahkan Mendagri mengevaluasi ulang usulan plt gubernur dari kalangan Polri aktif,” kata Araf. (FAJ/*)