Hari Ibu, 22 Desember lalu, diperingati dengan berbagai cara di Indonesia. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan istrinya, Nanik Istumawati, memperingatinya secara khusus dengan menghormati dan menjamu para perempuan penerbang pertama TNI di Museum Dirgantara Mandala, Yogyakarta, Jumat (29/12/2017). Dalam acara itu hadir para perempuan penerbang yang sudah purnatugas hingga yang masih dinas di lingkungan TNI Angkatan Udara.
Dalam pertemuan itu, Panglima TNI dan istri memberikan penghargaan kepada perempuan penerbang pertama yang lulus Sekolah Penerbang 1964. Perempuan penerbang yang masih hidup di antaranya Herdini dan Lulu Lugiyati. Foto kedua perempuan penerbang pertama TNI atau Wanita Angkatan Udara (Wara) angkatan pertama, yang diterima masuk TNI 1963, secara khusus dipajang di Museum Dirgantara Mandala. Subdinas Sejarah TNI AU di bawah Dinas Penerangan TNI AU berbulan-bulan sebelumnya menyiapkan acara tersebut untuk menghargai kesetaraan jender.
Pada 17 Agustus 2017, Marsekal Hadi memberikan penghargaan kepada dua penerbang pertama TNI AU di Jakarta. Saat itu disadari, di Museum Dirgantara Mandala belum ada penanda tentang keberadaan perempuan penerbang pertama TNI dan Indonesia yang seharusnya jadi penanda sejarah kedirgantaraan jauh sebelum wacana kesetaraan jender muncul saat ini.
Hadi kemudian menceritakan, TNI AU sudah melahirkan empat angkatan perempuan penerbang. Generasi pertama diawali dengan Letda (Pnb) Lulu Lugiyati dan Letda (Pnb) Herdini, generasi kedua Hermuntasih dan Sulastri Baso, generasi ketiga Veronica Tig, serta generasi keempat Fariana dan Ambar. ”TNI sebagai organisasi militer sangat menghargai dan mendukung emansipasi wanita, yaitu Wara juga bisa jadi penerbang,” kata Hadi saat menjamu dan meresmikan booth pameran foto-foto perempuan penerbang TNI AU baru-baru ini
Menurut Hadi, saat ini penting membangun kesetaraan. Ketika organisasi Wara dibentuk 1963, selang setahun, pada 1964, anggota Wara sudah bisa mengikuti seleksi Sekolah Penerbang (Sekbang) dan bahkan lulus jadi penerbang. Dalam kesempatan terpisah, Lulu dan Herdini mengatakan, ketika itu, dari sekitar 30 anggota Wara angkatan I, tiga orang lolos seleksi Sekbang. Namun, hanya mereka berdua yang lulus wisuda penerbang (Wing Day).
Terbawa angin
Herdini mengisahkan, pada 1960-an, ketika bersama Lulu akan terbang dari Curug ke Halim Perdanakusuma dengan pesawat latih, pesawat mereka terbawa angin. Karena terbawa angin, alih-alih mendarat di Halim, pesawat justru menuju ke arah Bogor. Akhirnya, mereka mendarat di Lanud Atang Sendjaja, Bogor. Sementara Lulu mengisahkan, dirinya berulang kali diajak KSAU, ketika itu Marsekal Omar Dani, dan petinggi TNI AU lain, seperti Leo Wattimena, ikut berbagai misi terbang malam ke wilayah udara Sarawak dan Sabah untuk menjatuhkan leaflet propaganda. ”Waktu itu zaman konfrontasi Dwikora menentang pembentukan Malaysia,” kata Lulu mengenang riwayatnya saat dinas. Lulu kelak menikah dengan Edi Sudrajat yang menjadi Menhankam Pangab di zaman Presiden Soeharto. Herdini belakangan juga menikah dengan penerbang TNI AU.
Mewakili para penerbang paling senior, Herdini—kelahiran Semarang, Jawa Tengah—menerima penghargaan. Mereka juga mendapat penghargaan serupa. Tak ketinggalan istri Panglima, yang Ketua Umum Dharma Pertiwi, Nanik, memeluk hangat para penerbang. Selain jamuan makan dan minum, para perempuan penerbang pertama itu disuguhui musik, ramah-tamah, dan bincang-bincang bersama Panglima TNI. Mereka juga melihat foto-foto sejarah Wara angkatan I serta dua foto besar Lulu dan Herdini berseragam dinas TNI AU 1960-an.
Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama Jemi Trisonjaya mengatakan, saat ini, para perempuan penerbang masih ada yang aktif. Terhadap yang sudah pergi, Marsekal Hadi mengingatkan, jejak sejarah kejuangan mereka harus selalu dikenang dan dihormati untuk memotivasi generasi now.