JAKARTA, KOMPAS — Pendampingan berjenjang menjadi langkah utama yang perlu dilakukan untuk menjamin efektivitas upaya deradikalisasi mantan narapidana kasus terorisme. Untuk itu, diperlukan kolaborasi antara pemerintah dan seluruh unsur masyarakat dalam menjauhkan para eks teroris dari pengaruh kelompok radikal.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Timur Tengah dan Perdamaian Global UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Badrus Sholeh mengatakan, langkah pencegahan dan penanganan kasus terorisme tak bisa hanya diserahkan pada penegakan hukum yang dilakukan Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian Negara RI maupun pendekatan humanis Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Peran organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, akademisi, dan pemerintah daerah perlu dilibatkan untuk menyempurnakan kerja dua lembaga pemerintah tersebut.
”Pencegahan dan penanggulangan terorisme tak cukup dengan program jangka pendek, seperti memberi bantuan ekonomi kepada eks teroris. Tetapi, perlu juga program jangka panjang yang bertujuan memberi pendampingan bagi mantan napi teroris agar mereka kembali percaya diri berbaur di lingkungan sosial,” ujar Badrus, Rabu (20/12), saat memaparkan hasil riset berjudul ”Asesmen Program Pemberdayaan Ekonomi Kaum Muda dalam Menangkal Terorisme” di Jakarta.
Pencegahan dan penanggulangan terorisme tak cukup dengan program jangka pendek, seperti memberi bantuan ekonomi kepada eks teroris.
Riset berlangsung pada Agustus-September 2017 di lima kota, yaitu Nunukan (Kalimantan Utara), Poso (Sulawesi Tengah), Solo (Jawa Tengah), Lamongan (Jawa Timur), dan Medan (Sumatera Utara). Dari riset itu, program ekonomi yang menyasar eks teroris dan pemuda yang rentan paham radikal memiliki dampak signifikan untuk menangkal mereka dari pengaruh kelompok teroris, terutama jaringan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Namun, Badrus mengingatkan, program bantuan ekonomi yang dilakukan BNPT kepada eks teroris masih bersifat jangka pendek. Artinya, program hanya memberikan bantuan modal untuk memulai usaha, tetapi belum ada pendampingan lanjutan untuk menjaga dan mengembangkan keberlangsungan usaha itu.
Ia berharap peran nyata pemerintah daerah untuk menindaklanjuti program awal yang dilakukan BNPT. Badrus mencontohkan, program bantuan wirausaha yang diberikan kepada mantan teroris Khairul Ghozali di Pesantren Al-Hidayah, Medan, tak berjalan baik karena ketiadaan bantuan bimbingan dan akses usaha yang seharusnya diberikan pemda.
”Kami merekomendasikan perlu ada inovasi dan bimbingan berjenjang dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sebab, kalau tidak dibantu, mereka (mantan teroris) berpotensi direkrut kembali oleh NIIS yang menjanjikan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan proteksi,” tutur Badrus.
Tak bisa bekerja sendiri
Direktur Pencegahan BNPT Brigadir Jenderal (Pol) Hamli menambahkan, tanggapan dari pemda belum cukup baik terkait program pembinaan mantan terpidana teroris dan simpatisan NIIS yang dideportasi dari Turki. Padahal, BNPT telah menghubungi pemda setempat untuk memberi tahu keberadaan mereka sehingga ada bimbingan berkelanjutan pascaprogram deradikalisasi.
”Selama ini ada lempar tanggung jawab antara gubernur dan bupati atau wali kota. Kami berharap masyarakat sipil terus mengingatkan pemda membantu langkah deradikalisasi yang telah kami lakukan,” kata Hamli.
Lebih jauh Hamli menyatakan, BNPT dan Densus 88 Antiteror tidak bisa bekerja sendiri untuk menangani sekitar 1.400 terpidana teroris yang secara bertahap akan kembali ke masyarakat setelah menjalani hukuman penjara.
Secara terpisah, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul mengungkapkan, tim satuan tugas pejuang teroris asing Densus 88 Antiteror masih melakukan pemeriksaan intensif terhadap delapan warga Indonesia yang dideportasi dari Turki, Minggu lalu.
Kedelapan orang itu adalah DAS (22), AZ (21), MAM (23), SSS (40), JAJ (11), AMJ (7), YAR (19), dan MIR (21). ”Mereka menjalani pemeriksaan di Mako Brigade Mobil Polri, Depok,” kata Martinus. (SAN)