Pidana Alternatif Kian Mendesak
JAKARTA, KOMPAS — Penghuni lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara semakin hari semakin membeludak atau overcrowded. Secara nasional, tingkat kelebihan penghuni mencapai 84 persen. Lembaga pemasyarakatan dan rutan yang idealnya dihuni 123.000 narapidana/tahanan kini harus menampung 230.000 penghuni. Melihat kondisi itu, pembentuk undang-undang didesak untuk segera memikirkan alternatif pemidanaan selain penjara. Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Ma\'mun di sela-sela Rapat Teknis Pemasyarakatan di Jakarta, Rabu (22/11), mengatakan, kini sulit mencari lembaga pemasyarakatan atau rutan yang tidak membludak. "Bahkan, ada LP atau rutan yang kelebihan sampai 700 persen, seperti di Bagansiapi-api, Riau. Di Banjarmasin 600 persen," ujarnya.Dari total penghuni lembaga pemasyarakatan dan rutan, kata Ma\'mun, sebanyak 40 persen adalah narapidana/tahanan kasus narkoba. Meskipun dimungkinkan pengguna narkoba direhabilitasi, 99 persen putusan hakim memerintahkan para terdakwa kasus narkoba dihukum penjara. "Ini di luar kendali kami. Seharusnya hukuman kurungan, adalah ultimum remedium, alternatif terakhir dalam opsi hukuman. Jadi, yang masuk ke penjara itu yang benar-benar mengganggu masyarakat," katanya. Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Indonesia Topo Santoso secara terpisah mengatakan, pembuat undang-undang perlu mengkaji kembali aturan pemidanaan. Tak semua jenis tindak pidana perlu dikenai sanksi berupa hukuman penjara."Sanksi dengan merampas kemerdekaan (kurungan) otomatis akan berimbas kepada kapasitas LP. Padahal, banyak negara sudah meninggalkan dan menggantinya dengan opsi lain," ujarnya. Topo menyebut, 30 persen kasus pidana di Belanda dan Jepang diselesaikan di luar pengadilan lewat keadilan restoratif atau proses perdamaian lewat mediasi untuk mencapai keadilan yang diharapkan para pihak yang terlibat, yaitu pelaku dan korban (keluarganya) dengan mencari solusi terbaik yang disepakati para pihak. (DD12)