Gambaran ”ringannya” sanksi pidana bagi para pelaku tindak pidana korupsi dapat dilihat dari vonis di tingkat kasasi sebagai tahapan akhir pengadilan, mengabaikan langkah peninjauan kembali yang merupakan tindakan hukum khusus. Laporan tahunan Mahkamah Agung tahun 2016 mencatat hukuman terhadap perkara korupsi di tingkat kasasi selama tahun itu didominasi vonis penjara maksimal 5 tahun (75,3 persen) dan paling banyak 3-5 tahun. Masa hukuman lebih dari 10 tahun hanya ditemukan pada 10 perkara (2,8 persen). Bahkan, ada 16 perkara korupsi yang divonis bebas.
Lamanya hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi ternyata mencuri perhatian publik. Terbukti sebanyak 77,7 persen responden jajak pendapat Kompas mengaku tidak puas terhadap vonis hakim yang dijatuhkan kepada koruptor selama ini. Mayoritas responden menilai hukuman terhadap koruptor masih tergolong kurang berat.
Dalam persepsi publik, hukuman penjara seumur hidup dan hukuman mati ada dalam pilihan vonis yang bisa dijatuhkan kepada para pencuri uang rakyat. Tidak kurang dari 42,9 persen responden menghendaki hukuman penjara seumur hidup, sementara 27,3 persen menginginkan koruptor dihukum mati.
Jika dibandingkan dengan perkara pidana khusus lainnya, seperti narkotika/psikotropika, vonis dalam perkara korupsi terbilang ringan. Setidaknya 45 terpidana dalam perkara narkotika/psikotropika divonis hukuman seumur hidup dan beberapa lainnya hukuman mati. Hal ini berbeda dengan perkara korupsi yang pada tingkat kasasi selama tahun 2016 tidak ada yang dikenai pidana penjara seumur hidup.
Bagi publik, hukuman yang lebih berat layak ditimpakan kepada para pelayan masyarakat. Lebih dari separuh responden menilai pelaku korupsi dengan latar belakang pejabat negara, seperti gubernur dan bupati, harus dihukum paling berat. Hal ini tentu beralasan mengingat jabatan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat untuk melayani mereka. Namun, kepercayaan tersebut dirusak dengan perilaku yang berorientasi untuk menguntungkan diri sendiri.
Sebanyak 34,9 persen responden lainnya berpendapat pelaku tindak pidana korupsi yang memiliki latar belakang penegak hukum harus dihukum paling berat. Hingga Oktober 2017, terdapat 17 hakim di lingkungan pengadilan di bawah Mahkamah Agung yang diproses hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus terakhir, pada awal Oktober lalu, Ketua Pengadilan Tinggi Manado Sudiwardono ditangkap KPK karena diduga menerima suap dari anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Aditya Anugrah Moha (Kompas, 23/10).
Disparitas pemidanaan
Dalam praktiknya, perbedaan besaran hukuman yang dijatuhkan hakim terhadap perkara korupsi dengan karakteristik sama menimbulkan pertanyaan tidak hanya bagi praktisi hukum, tetapi juga di benak masyarakat. Disparitas atau rentang hukuman yang berbeda di antara perkara sejenis tanpa alasan yang jelas tentu patut dicurigai sebagai bentuk ketidakadilan.
Upaya pemberantasan korupsi harusnya sejalan sejak tahap pencegahan, penyelidikan, masuk ke persidangan, hingga pemberian putusan. Dalam hal ini, palu hakim menjadi harapan terakhir masyarakat untuk penanganan kasus korupsi yang memenuhi rasa keadilan. Akan tetapi, terkadang tahapan di pengadilan justru mematahkan optimisme publik.
Sebenarnya sejumlah lembaga penegak hukum telah memiliki pedoman untuk mencegah terjadinya disparitas pemidanaan. Tahun 2009, Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran tentang pembinaan personel hakim. Salah satu hal yang tercantum adalah memerintahkan para ketua pengadilan tingkat banding untuk menjaga terjadinya disparitas putusan.
Setahun berikutnya, Kejaksaan Agung yang menerbitkan surat edaran tentang pedoman tuntutan perkara tindak pidana korupsi. Tujuannya untuk mencegah dan meminimalkan disparitas tuntutan pidana. Hal ini menjadi penting karena penuntut umum tidak dapat semena-mena dalam membuat besaran ancaman tuntutan kepada terdakwa.
KPK bahkan memiliki sistem kerja yang lebih ajek dalam penuntutan. Setiap perkara korupsi ditangani oleh satu tim yang tiap anggota berhak mengajukan angka besaran tuntutan dan akan dilihat rata-ratanya. Mereka juga menilik balik dari kasus-kasus serupa terdahulu untuk melihat faktor pemberat dan peringan.
Tahun 2014, Indonesia Corruption Watch melakukan studi atas disparitas putusan perkara korupsi. Salah satu contohnya disparitas pemidanaan pada kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Sejumlah anggota DPR yang menerima suap mendapat hukuman yang berbeda-beda, padahal melakukan perbuatan yang sama. Jaksa penuntut umum bahkan menggunakan pasal dan tuntutan yang sama.
Penelitian yang dilakukan oleh Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia juga menemukan terjadinya disparitas pemidanaan pada sejumlah kasus korupsi. Hasil penelitian terhadap perbandingan putusan tindak pidana korupsi di Sumatera Barat yang dilakukan oleh pegawai negeri sipil dan tidak ada pengembalian uang ke kas negara menunjukkan disparitas.
Kasus pertama dengan kerugian Rp 1,5 miliar dikenai pidana penjara 6 tahun 6 bulan dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan. Uang pengganti yang harus dibayarkan sebesar Rp 1,5 miliar subsider 3 tahun penjara. Sementara kasus kedua dengan kerugian Rp 1,1 miliar dikenai pidana penjara 5 tahun 6 bulan dan pidana denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan. Uang pengganti sebesar Rp 567 juta subsider 3 tahun dan 3 bulan penjara.
Kejanggalan terlihat dari perbedaan pidana pokok (penjara) sangat menonjol dengan nilai korupsi yang tidak terlalu jauh beda. Selain itu, uang pengganti sangat berbeda, padahal kedua terdakwa sama-sama tidak mengembalikan uang ke kas negara.
Penyebab
Terdapat sejumlah penyebab timbulnya disparitas dalam pemidanaan perkara korupsi. Pertama, pidana minimum di sejumlah pasal yang berbeda sehingga hakim memiliki kebebasan untuk menggunakan pasal yang ia inginkan. Kedua, latar belakang pendidikan hakim yang memengaruhi pemahaman terhadap undang-undang. Ketiga, perbedaan pandangan masyarakat atau nilai terhadap suatu tindak pidana berbeda di setiap wilayah. Terakhir, tidak adanya suatu pedoman untuk pemberian putusan.
Hakim memang memiliki diskresi dalam pemberian putusan. Namun, hal itu harus dapat dipertanggungjawabkan. Cassia C Spohn, seorang ahli kriminologi, menyatakan hakim harus memiliki pertimbangan yang jelas ketika menentukan besaran angka hukuman sehingga apabila terjadi disparitas menjadi beralasan (warranted disparity).
Penyelesaian perkara korupsi harus dilakukan dari hulu ke hilir. Palu hakim seyogianya menjadi penentu yang menjaga hakikat keadilan. Jangan sampai penjatuhan hukuman terhadap koruptor justru memupuskan harapan publik akan pemberantasan korupsi di negeri ini.