JAKARTA, KOMPAS — Penyebaran berita palsu yang dikomersialisasikan menandakan masalah yang lebih besar, yaitu kebodohan kolektif. Pemerintah diminta tegas menindak pelaku penyebar hoaks dan meliterasi masyarakat.
Pegiat media sosial AS Laksana dalam diskusi bertajuk ”Bisnis dan Politik Hoax?” di Jakarta, Minggu (26/8), mengatakan, berita bohong yang dibisniskan merupakan cerminan kebodohan masyarakat. Pasalnya, rakyat yang bodoh mudah diindoktrinasi dan menyebarkan informasi yang belum jelas akurasinya.
Menurut pengamat politik Rocky Gerung, gejala kebodohan itu terjadi karena pemerintah hendak meliterasi masyarakat tetapi langkah yang ditempuh adalah dengan mengindoktrinasi. Salah satunya, kata Rocky, dilakukan dengan melarang perdebatan mengenai Pancasila di universitas. Pembentukan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila pun membuka potensi pembatasan tafsir Pancasila oleh masyarakat dan penyeragaman pemaknaan dari pemerintah.
Jika masyarakat memiliki pola pikir seragam, ujar AS Laksana, akan mudah bagi pihak tertentu untuk memobilisasi, termasuk agar mereka menyebarkan hoaks dan pesan kebencian. Untuk itu, Laksana berharap, pemerintah segera melakukan upaya literasi masyarakat misalnya dengan mengampanyekan gerakan wajib membaca buku.
”Saya membayangkan jika Presiden Joko Widodo mengatakan kepada segenap jajarannya bahwa sebelum masa jabatannya berakhir ia ingin semua masyarakat gemar membaca buku. Jika itu terjadi, seluruh jajarannya pasti sibuk membuat masyarakat mau membaca,” ujar Laksana. Baginya, masyarakat yang memiliki basis pengetahuan luas tidak akan terpengaruh hoaks yang tersebar di dunia maya.
Meski demikian, Astari Yanuarti, Ketua Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) Jakarta, menganggap materi literasi media sosial perlu untuk diberikan kepada seluruh warga negara. ”Perang terhadap hoaks perlu dilakukan bersama-sama. Masyarakat melakukan gerakan bersama, sedangkan pemerintah harusnya membuat kurikulum literasi media sosial untuk semua jenjang sekolah,” kata Astari.
Selain memasukkan literasi media sosial ke dalam kurikulum pendidikan, praktisi hukum Andi Syafrani mengatakan, masyarakat perlu membuat konsensus secara kultural terkait dengan hoaks. Andi menambahkan, penyelesaian masalah hoaks dan dampak buruknya akan sulit jika menunggu undang-undang karena proses pembuatannya membutuhkan waktu lama.
”Dalam masalah hoaks kita butuh soft law dengan membuat aturan sosial dan hukuman sosial yang berlaku di masyarakat,” ujar Andi.
Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, Ace Hasan Syadzily, mengatakan, dalam ranah regulasi, aturan mengenai penyebaran hoaks sudah ada pada Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik (ITE). Kini, yang perlu dilakukan pemerintah adalah menindak tegas produsen berita palsu serta pihak yang memanfaatkannya.
”Payung hukum sudah jelas, tinggal penindakannya. Baik dalam momen politik maupun kehidupan sehari-hari penyebaran hoaks harus ditindak, apalagi yang terkait dengan isu SARA karena dapat memecah belah masyarakat,” kata Ace. (DD01)