JAKARTA, KOMPAS — Vonis terhadap Basuki Tjahaja Purnama di luar kelaziman karena hakim memutus melampaui apa yang menjadi tuntutan jaksa penuntut umum. Karena gagal membuktikan dakwaan primer Pasal 156a, jaksa penuntut umum hanya menuntut Basuki dengan Pasal 156 KUHP.
”Meskipun tidak lazim, secara prinsip memang hakim independen dan merdeka dalam memutus perkara, sepanjang tidak keluar dari delik dan dakwaan yang termaktub dalam undang-undang,” kata Ketua Setara Institute Hendardi dalam siaran persnya, Selasa (9/5).
”Meski demikian, kemerdekaan hakim semestinya haruslah sejalan dan bertolak dari fakta-fakta persidangan. Kualitas peristiwa hukum yang menimpa Basuki dan pembuktian yang lemah sepanjang masa sidang semestinya mampu meyakinkan hakim untuk membebaskan Basuki atau setidaknya memvonis dengan hukuman yang tidak melampaui tuntutan JPU,” lanjut Hendardi.
Menyimak konsideran putusan atas Basuki, ujar Hendardi, tampak bahwa hakim menerapkan standar ganda dalam mempertimbangkan konteks peristiwa hukum itu.
”Di satu sisi, hakim mempertimbangkan situasi ketertiban sosial yang diakibatkan oleh ucapan Basuki. Tetapi, di sisi lain, hakim ahistoris dengan peristiwa yang melatarbelakangi pernyataan Basuki dan pelaporannya oleh kelompok masyarakat. Betapa politisasi identitas dan peristiwa hukum itu dijadikan alat penundukan yang efektif untuk memenangi sebuah kontestasi,” tutur Hendardi.
”Ketidakseimbangan dalam memperlakukan aspek-aspek nonhukum inilah yang membuat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara mempertegas adanya trial by mob. Kerumunan massa menjadi sumber legitimasi tindakan aparat penegak hukum. Majelis hakim memilih jalan pengutamaan koeksistensi sosial yang absurd dibanding melimpahkan jalan keadilan bagi warga negara, seperti Basuki,” ungkap Hendardi.
Menurut dia, trial by mob sudah dipastikan bertentangan dengan rule of law dan membahayakan demokrasi dan negara hukum kita. Ini karena sumber legitimasi telah bergeser dari kedaulatan rakyat yang dijalankan berdasarkan UUD menjadi kedaulatan kerumunan meski harus mengingkari prinsip-prinsip negara hukum.
”Due process of law dalam penegakan Pasal 156a tidak pernah dilakukan. Padahal, genus Pasal 156a adalah UU No 1/PNPS/1965 yang menuntut adanya peringatan dan proses-proses nonyudisial sebelum seseorang diproses secara hukum,” kata Hendardi.
”Trial by mob telah mengikis kepercayaan diri hakim untuk menghayati asas in dubio pro reo dalam memutuskan kasus Basuki. Asas ini memandu hakim, jika ada keragu-raguan mengenai suatu hal, haruslah diputuskan berdasarkan pertimbangan yang paling menguntungkan terdakwa. Lebih baik membebaskan 1.000 orang yang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah,” paparnya.
Hendardi mengungkapkan, vonis 2 tahun penjara untuk Basuki Tjahaja Purnama merupakan kasus penodaan agama ke-97 yang terjadi sepanjang 1965-2017. Sebagai sebuah mekanisme demokrasi, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara haruslah dihormati.
”Akan tetapi, harus pula diakui bahwa majelis hakim bekerja di bawah tekanan gelombang massa yang sejak awal memberikan tekanan dan mendesak pemenjaraan Basuki. Vonis itu mempertegas bahwa delik penodaan agama rentan digunakan sebagai alat penundukan bagi siapa pun dan untuk kepentingan apa pun. Bahkan, dari 97 kasus yang pernah terjadi, 89 kasus terjadi setelah 1998. Di sinilah bahaya dari ketentuan yang bias dan multitafsir dari Pasal 156a KUHP,” tutur Hendardi. (*/KSP)