Pemerintah Dorong Segera Diselesaikan
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mendorong percepatan pembahasan revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sejumlah hal yang selama ini menghambat pembahasan akan segera diselesaikan. Pemerintah mulai membuka pembicaraan lagi dengan Dewan Perwakilan Rakyat agar revisi segera diselesaikan. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengatakan, percepatan pembahasan revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mendesak dilakukan. "Besok (Selasa 14/2) atau lusa (Rabu, 15/2), saya ke sana (DPR). Seharusnya revisi dibahas minggu lalu sesuai keputusan rapat terbatas agar dipercepat. Namun, pembahasannya terhenti, saya harus laporan. Di mana hambatannya," kata Yasonna Laoly seusai menghadap Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Kompleks Istana, Jakarta, Senin (13/2).Sejumlah aspirasi mengemuka sepanjang pembahasan. Beberapa di antaranya mengenai perluasan definisi sejumlah masalah terorisme. Di sisi lain, ada usulan untuk menekankan program deradikalisasi lebih dini hingga mengenai bagaimana penanganan korban aksi teror. Sebagian meminta agar revisi mengakomodasi persoalan yang kemungkinan terjadi pada masa mendatang sesuai dinamika masyarakat. "Pembahasannya harus dipercepat. Kami melihat gejolak-gejolak setelah pelantikan Presiden AS Donald Trump. Persoalan ini yang harus kami antisipasi," kata Yasonna.Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (Kompas, 26/1/2016). Pengaruh radikalismeSeiring semakin nyata ancaman radikalisme di kalangan anak-anak, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerja sama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Kedua lembaga sepakat meningkatkan pencegahan sekaligus langkah pemulihan bagi anak yang terpapar radikalisme.Kepala BNPT Komisaris Jenderal Suhardi Alius menyebutkan, dua hal eksternal yang melatarbelakangi anak-anak terpengaruh radikalisme, yaitu terpengaruh keluarga, terutama ayah, dan belajar sendiri melalui internet. Selain itu, tambah Suhardi, pengaruh psikologis anak-anak yang masih labil, mudah meniru, dan mudah terdoktrinasi juga menjadi pengaruh internal sehingga mereka mudah dipengaruhi paham radikal."Pengawasan anak-anak menjadi perhatian. Bagi anak-anak pelaku aksi teror, kami akan sesuaikan hukuman sesuai status mereka. Kami juga berupaya agar program pencegahan menjangkau anak-anak dari SD hingga SMA," ujar Suhardi. Berdasarkan data BNPT, ada 80 anak dari 500 WNI yang berangkat ke Suriah karena mengikuti orangtuanya. Ketua KPAI Asrorun Ni\'am Sholeh menambahkan, selama 2016 terdapat 256 kasus terkait keterlibatan anak dalam peristiwa terkait budaya dan agama, termasuk terorisme. Jumlah ini meningkat 42 persen dari tahun 2015 yang berjumlah 180 kasus. "Kita harus utamakan keadilan restoratif guna memberi perlindungan dengan pendekatan pemulihan. Sebab, menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan tak efektif meredam radikalisme pada anak," kata Asrorun. (NDY/SAN)