Serba Salah Sangka di Doha
Apa pun yang dijalani penuh tawa sejatinya menjadi ringan, termasuk saat singgah ke negeri orang, seperti di Qatar.
Perjalanan ke negeri orang pasti menawarkan pengalaman. Tak semuanya perlu serius, terkadang ada hal-hal yang layak untuk ditertawakan dan menjadi memori manis. Sebab, hal itu tak akan terulang lagi.
Penerbangan selama 9 jam dari Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, usai setelah roda pesawat menyentuh landasan pacu Bandar Udara Hamad Internasional, Doha, Qatar, pada pukul 23.00 waktu setempat. Bayangan udara panas nan gerah khas daratan Arab seketika runtuh saat berdiri di depan pintu pesawat menunggu antrean bus menuju ke terminal bandar udara.
Angin kencang yang dingin langsung menyergap menembus jaket berbahan kaos katun. Badan menggigil dalam sekejap. Rupanya suhu pada Kamis (29/2/2024) malam itu berada di angka 15 derajat celsius dengan informasi berangin jika merujuk pada aplikasi cuaca di telepon pintar.
Dalam hati, langsung meringis mengingat pakaian dalam koper hanya berupa kemeja dan kaos berbahan katun. Jaket lain yang dibawa juga berbahan jins yang jelas kalah menolak kuatnya angin yang tidak banyak perubahan selama beberapa hari ke depan.
”Nanti di bulan Juni sampai Agustus, panasnya baru membakar kulit dan orang lebih memilih di dalam rumah. Kalau Desember sampai Maret, cukup dingin di sini,” ujar Youssef, sopir yang mengantar dari bandar udara sampai ke hotel.
Untung saja, hotel tempat menginap di kawasan prestise, yaitu Msheireb Downtown Doha, menawarkan kamar yang cukup hangat dibandingkan cuaca luar sehingga istirahat malam itu cukup nyenyak setelah perjalanan panjang dan kejutan di luar perkiraan.
Hari-hari berikutnya, selain fokus mengikuti sesi kelas, agenda wawancara, dan pemutaran film, ada satu kegiatan yang menjadi rutinitas, yakni mengejar matahari untuk menghangatkan diri. Meski upaya itu terkadang mentah juga, karena serbuan angin lebih gencar dibandingkan terik matahari. Terlebih di kawasan sekitar hotel yang didominasi gedung-gedung tinggi, layaknya tengah berada di kawasan Sudirman-Thamrin, Jakarta, angin berembus lebih kencang.
Baca juga: Terkenang Pesona Jepang
Walakin, mari dinikmati saja. Toh, ada banyak undangan yang mengikuti program inkubasi film Qumra 2024 ini yang juga terjebak dalam situasi kedinginan. ”Aku juga mengira yang sama. Ternyata, ini rasanya seperti musim dingin,” ungkap ahli pemasaran film dari Polandia, Joanna Solecka, sembari tertawa renyah ketika berjumpa saat makan siang di hari pertama.
Berdamai dengan cuaca dingin, berbagai pengalaman lain ternyata telah menanti. Acara Qumra 2024 diselenggarakan di Museum of Islamic Arts yang berdampingan dengan Doha Port dan Teluk Persia. Melihat kondisi tersebut, bisa dipastikan angin juga berhamburan menerpa jika berada di salah satu balkon museum.
Di museum tersebut terdapat dua balkon. Balkon sisi kanan menghadap sebagian Doha Skyline dengan pemandangan beragam bentuk gedung pencakar langit. Balkon sisi kiri juga menampilkan sebagian Doha Skyline, tapi ditambah sebagian wajah Doha Port dengan taman museum yang kerap dimanfaatkan warga Doha untuk berpiknik pada akhir pekan.
Di balkon sisi kiri ini, kegiatan lokakarya bersama para pelaku industri film dan jurnalis digelar selama dua hari sembari menyantap sarapan berupa pastri dari kroisan, cinnamon roll, hingga danish raisin dipadu teh atau kopi hangat.
Dengan pemandangan biru air Teluk Persia dan latar belakang Doha Skyline, tentu sulit menghindar dari hasrat ingin berfoto sebagai kenangan. Sayangnya, beberapa rekan jurnalis yang dikenal sudah menghilang menuju sesi kelas dengan sutradara perempuan Perancis, Claire Denis, yang dimulai 15 menit kemudian.
Sambil menoleh ke kanan kiri, tampak seorang bapak petugas kebersihan museum yang tengah berjalan menuju balkon. Tanpa ragu, saya pun meminta tolong. ”Would you mind taking my picture here?” ujarku yang dibalasnya sembari menunjuk Doha Skyline dan mengacungkan jempol, ”Yeah, go photo, go photo. Beautiful. Beautiful.”
Lalu, ia berlalu pergi. Pilihan akhirnya jatuh untuk berswafoto dengan berbagai cara yang membuatku terkikik geli sendiri dengan kejadian baru saja. Akan tetapi, selesai berswafoto, tetiba ada seorang perempuan berambut panjang keriting mengenakan kalung tanda pengenal Qumra menawarkan diri untuk mengambil foto sebelum bersama terburu-buru menuju sesi kelas. Akibatnya, kami tak sempat berkenalan atau berbincang. Hanya ucapan terima kasih karena telah membantu.
Beberapa hari kemudian, cukup mengagetkan, perempuan baik hati yang tadinya disangka adalah panitia ternyata merupakan salah satu sutradara dari Palestina, Mayar Hamdan, yang tengah merampungkan proyeknya.
Salah sangka
Dalam rangka mencari udara hangat dan memanfaatkan jeda waktu, sejumlah kunjungan mandiri pun dilakukan mengitari Doha. Dari Souq Waqif, pasar tertua di Qatar, yang berjarak 650 meter dari hotel melewati underpass untuk pejalan kaki, berlanjut hingga ke Katara Cultural Village yang sekitar 9 kilometer dari Msheireb.
Namun, fasilitas Doha Metro kereta metro bawah tanah yang beroperasi sejak 2019 cukup membantu. Meski perlu telaten membaca peta metro untuk pertama kali karena ada tujuan yang mengharuskan pindah jalur. Ada tiga jalur Doha Metro, yakni jalur merah dari Lusail ke Al-Wakra, jalur kuning dari Al-Aziziyah ke Ras Bu Abboud, dan jalur hijau dari Mall of Qatar ke Al-Mansoura. Untuk jalur merah ini, ada pecahan yang mengarah ke Bandara Hamad Internasional.
Menuju Katara Cultural Village yang didirikan Hamad bin Khalifa al-Thani, ayah raja Qatar saat ini, pada 2010, hanya butuh 2 qatari riyal atau setara dengan Rp 8.600 dari Stasiun Msheireb ke Stasiun Katara. Begitu pula sebaliknya.
Menariknya, arahan peta dari aplikasi di ponsel pintar yang selama ini akurat rupanya meleset sedikit kali ini. Mengacu pada peta digital, jarak dari Stasiun Katara menuju ke Katara Cultural Village membutuhkan waktu 30 menit berjalan kaki.
Nyatanya, cukup enam menit saja untuk bisa berada di kawasan budaya itu dengan jalan kaki. Sebab, Stasiun Katara ternyata langsung terintegrasi dengan beranda dari pusat perbelanjaan Galerie Lafayette yang terletak di areal Katara Cultural Village.
Baca juga: Ritme Hidup Melambat di Isahaya
Di lokasi ini dapat dijumpai amfiteater, galeri pameran di bawah kementerian kebudayaan Qatar, museum prangko, gedung untuk pertunjukan teater, Golden Masjid, Masjid Katara, hingga kantor Doha Film Institute yang mengadakan Qumra.
Berbagai restoran dan kafe juga tersedia di sana. Ada yang berada di pinggir Pantai Katara. Ada juga yang berada di puncak bukit, seperti restoran Bayt El Talleh, yang menawarkan gemerlap lampu kota Doha pada waktu malam dan pernah dikunjungi pesepak bola David Beckham.
Di restoran ini pula, sejumlah wartawan ngobrol ngalor ngidul sambil berkenalan lebih dekat. Dari obrolan terkait Berlusconi, Palestina, dan industri film sembari mengudap makanan khas Lebanon, tetiba sebagai satu-satunya orang Indonesia mendapat satu pertanyaan sulit mengenai film The Act of Killing besutan Joshua Oppenheimer. Secuplik tentang peristiwa 1965 dan rentetan kejadian setelahnya menjadi bahasan saat itu.
Selanjutnya, lagi-lagi ada momen di Katara Cultural Village yang cukup menggelitik keesokan harinya. Salah satunya saat petugas di tempat tersebut mendadak berhenti dan tanpa basa-basi bertanya, ”Hi, are you from South Korea? I like watching Korean Drama.”
Saat dijawab asli dari Indonesia, ia malah terkejut dan bingung karena baginya kenapa orang Indonesia mirip dengan orang Korea Selatan. Ada-ada saja.
Tak berhenti di situ, kunjungan ke Masjid Katara mendadak membuat profesi sebagai jurnalis saat itu bersalin menjadi guru sekolah dasar cabutan. Ketika itu, memang ada rombongan dari sebuah sekolah dasar yang datang ke Masjid Katara untuk mempelajari sejarah sekaligus mengenai Palestina menjelang Ramadhan.
Entah bagaimana, ada seorang perempuan mengenakan abaya dan jilbab serba hitam menyerahkan segepok kertas berisi gambar merek-merek produk yang dianjurkan untuk tidak digunakan lagi karena diduga terafiliasi dengan Israel. ”Give it one by one to all of the students,” ujarnya sembari menyuruh anak-anak untuk lekas berkumpul di halaman samping masjid sambil mengarahkan agar tidak lupa mengambil selebaran yang tadi diserahkan kepadaku.
Dengan santai, satu per satu lembaran itu berpindah tangan ke anak-anak. Walau tak lama kemudian, ada seorang anak yang menyadari dan bertanya, ”Who are you?” Baru tersadar bahwa aku juga sesama pengunjung dan perempuan yang tadi mengira aku adalah guru pun tergelak dan meminta maaf.
Ramah anak
Masjid dan museum di sana, baik Museum of Islamic Arts maupun National Museum of Qatar, rutin menerima kedatangan anak-anak dari taman kanak-kanak hingga sekolah dasar. Alih-alih diminta menulis kembali tentang museum, sebagian anak diminta membuat gambar atau cerita bergambar dengan tema museum. Ini dilakukan oleh Fatima, Tsaniaa, dan Khawla, siswi kelas 4 SEK International School of Qatar, ketika berkeliling di Museum of Islamic Arts.
Sementara itu, National Museum of Qatar yang terhubung langsung dengan Doha Metro lewat jalur kuning dan berisi sejarah Qatar ini juga menjadi idola anak-anak. Tak hanya menikmati tiap diorama dan permainan yang disediakan di dalam museum, mereka juga bisa bermain di taman bermain buatan TotalEnergies yang didesain memperkenalkan anak-anak terhadap upaya Qatar menjaga lingkungan secara berkelanjutan.
Ada 15 zona di taman bermain ini yang membebaskan anak memilih permainan dan bereksplorasi. Di sini, anak-anak tak hanya bermain, tapi sekaligus belajar tentang sains dan teknologi di balik energi. Mulai dari penemuan awal minyak bumi dan penyulingan minyak hingga produksi gas alam hingga fokus pada energi terbarukan. Seperti diketahui, Qatar berlimpah minyak buminya. Di taman ini, anak-anak bisa main secara gratis kapan pun.
Aneka momen ini harus terhenti ketika malam tiba. Seusai pemutaran film atau agenda perjalanan, biasanya mampir ke Souq Waqif seperti obat lelah. Para Qatari, warga asli Qatar, para pendatang, dan turis seolah tumpah ruah di sana. Mereka bercengkerama di resto atau kafe-kafe yang berjajar. Makan, minum, mengobrol, sampai mengisap shisha menjadi favorit.
Anak-anak juga bebas berlarian di pasar ini. Mereka bahkan berlalu lalang dengan sepeda kecilnya atau skuter otomatis sambil berkejaran di lorong-lorong pasar yang bak labirin menghubungkan tiap blok pasar berbangunan mirip kubus pada malam hari.
Orangtuanya tetap mengawasi sembari makan atau sambil berjalan cuci mata di kios-kios yang menjajakan aneka rupa, dari pakaian, perkakas rumah tangga, karpet, hingga wewangian. Ya, di sana aroma wangi seperti tidak berkesudahan dari para Qatari yang berseliweran.
”Semakin malam, semakin ramai. Karena biasanya saat siang, mereka bekerja. Kalau akhir pekan, mereka juga memilih baru keluar pada malam hari, untuk berpiknik di taman atau jalan-jalan, dan nongkrong. Bagi mereka, siang selalu identik dengan panas walau berangin,” jelas Julie, salah seorang dari tim media Qumra yang rutin menemani kelompok jurnalis.
Selain situasi yang lebih hidup di waktu malam, ada satu incaran yang cukup ampuh menghalau dingin dan menjadi teman memutar ulang kejadian kocak di setiap harinya, yaitu segelas minuman, karak chai atau teh karak. Minuman seharga 2 qatari riyal untuk segelas kecil ini mengandung sejumput rempah, seperti kayu manis dan jahe, yang kemudian diseduh bersama teh dengan paduan susu evaporasi. Hangatnya….