Terkenang Pesona Jepang
Jepang menawarkan pengalaman budaya dan pengetahuan yang menyegarkan para pemuda Indonesia.
Sebanyak 20-an pemuda Indonesia mendapat kesempatan menjelajahi Jepang selama delapan hari. Tak hanya berjalan-jalan, mereka juga belajar sembari mengalami budaya Jepang bersama warga lokal.
Suhu udara di Narita, Prefektur Chiba, mencapai 2 derajat celsius pada Selasa (23/1/2024) pagi. Uap putih keluar dari mulut para pemuda Indonesia saat mengucap kata dingin sambil berjalan cepat-cepat ke bus yang hangat. Bagi sebagian pemuda, ini adalah interaksi pertama mereka dengan musim dingin. Maklum, Indonesia negara tropis tanpa musim
Walau kulit jadi kering dan bibir pecah-pecah, para pemuda tak kehilangan semangat menjelajah Jepang untuk pertama kalinya. Masing-masing orang diberi ”misi” untuk merasakan pengalaman hidup di Jepang, lantas membagikannya ke media sosial. Pengalaman ini juga bisa dibagi dengan cara lain saat kembali ke Indonesia, misalnya lewat gelaran diskusi di kampus.
Para pemuda berusia 18-30-an tahun ini ialah peserta program Japan-East Asia Network of Exchange for Students and Youth (Jenesys) 2024. Jenesys merupakan program Kementerian Luar Negeri Jepang yang dilaksanakan oleh Japan International Cooperation Center (JICE).
Peserta Jenesys 2024 terdiri dari kelompok jurnalis, pembangunan perdamaian (peace building), murid SMA, serta diplomat dan pegawai pemerintah. Masing-masing kelompok memiliki kegiatan sendiri. Setelah beberapa hari di Tokyo, setiap kelompok pergi ke prefektur berbeda, seperti Nagasaki, Aichi, dan Hokkaido.
Siswa kelas 11 Madrasah Mu’allimien Muhammadiyah, Bogor, Fatima Azzahra (17), kala itu pergi ke Nagasaki. Ia terkesan betul saat berkunjung ke Museum Bom Atom Nagasaki. Museum itu menyimpan berbagai benda yang tersisa setelah Sekutu menjatuhkan bom atom di Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Ledakan bom itu begitu dahsyat sehingga puluhan ribu orang tewas seketika dan puluhan ribu orang lain terluka.
Tiang baja yang semula berdiri kokoh pun melengkung terkena gelombang panas bom. Bangunan porak-poranda. Pakaian terbakar, begitu pula manusia yang memakainya. Museum juga memajang replika ”Fat Man”, sebutan bom atom Nagasaki yang beratnya berton-ton.
Menariknya, Fatima juga bertemu dengan penyintas bom atom Nagasaki, Ikeda Michiaki. Ingatan Ikeda saat tragedi bom atom berlangsung 79 tahun lalu masih segar. Ikeda bahkan bisa merinci kejadian yang ia alami saat itu, termasuk ketika ia pingsan dan setelahnya lari ke gunung untuk mencari perlindungan.
”Aku enggak menyangka akan bertemu orang yang benar-benar ada pas peristiwa itu terjadi,” kata Fatima, Rabu (28/1/2024), di Nagasaki. ”Aku ingin bikin acara semacam sharing session di sekolahku nanti tentang ini,” tambahnya.
Baca juga: Wawancara Khusus Dubes Jepang: RI-Jepang Berbagi Pengaruh Positif
Tinggal bersama warga
Selain berkunjung ke Museum, Fatima dan seluruh peserta program Jenesys juga berkesempatan tinggal di rumah warga lokal selama dua malam. Keluarga angkat Fatima kala itu terdiri dari ibu, ayah, dan dua anak masing-masing berusia 14 tahun dan 10 tahun. Mereka sempat terkendala saat berkomunikasi karena Fatima tak bisa bahasa Jepang, sedangkan keluarga angkatnya tak lancar berbahasa Inggris. Namun, kendala itu teratasi dengan bahasa Inggris yang terbatas.
Tinggal di rumah warga memberikan pengalaman baru lagi buat Fatima. Ia merasakan tidur di atas futon (kasur yang digelar di atas lantai), bahkan merasakan pula cara mandi yang sama sekali beda dengan di Indonesia.
”Kami diajari kalau air untuk berendam di bath tub jangan dibuang karena air itu dipakai beramai-ramai. Lalu, kalau mau mandi mesti di luar bath tub, baru berendam. Selain itu, tempat mandi dan toilet ada di tempat terpisah,” ucap Fatima, yang sempat merindukan sambal.
Siswa kelas 11 SMA Negeri 1 Biak, Papua, Theodrik Kalase (16), pun terkesan betul dengan pengalaman tinggal di rumah warga Jepang. Ia dapat berinteraksi secara intens dengan keluarga angkatnya di Aichi seharian.
Keluarga angkat Theo tak lancar berbahasa Inggris. Sementara itu, Theo hanya bisa mengucapkan salam, permintaan maaf, tolong, dan terima kasih dalam bahasa Jepang. Komunikasi sempat terhambat, tetapi lambat laun Theo langsung paham apa yang sedang dibicarakan keluarganya walau kalimatnya belum diterjemahkan ke bahasa Inggris.
”Di sini (Jepang), tata krama mereka baik sekali dan taat aturan. Mereka juga orangnya tidak enakan hati. Sedikit-sedikit minta maaf dan berterima kasih,” ucap Theo, yang baru pertama kali pergi ke Jepang. ”Pengalaman ini luar biasa sekali. Saya pasti mau ke sini lagi kalau ada kesempatan. Sebab, ini mimpi saya dari dulu.”
Pengalaman ini luar biasa sekali. Saya pasti mau ke sini lagi kalau ada kesempatan. Sebab, ini mimpi saya dari dulu.
Sementara itu, mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Sendy (22), juga punya pengalaman seru selama tinggal bersama keluarga angkat di Nagasaki. Keluarganya ramah dan menyenangkan. Ibu angkatnya bahkan membantu Sendy mencari ramen instan yang halal.
”Ibu baca semua komposisi ramen dan kami menghabiskan 30 menit untuk itu. Dari semua ramen yang ada, hanya satu merek saja yang tidak mengandung babi,” katanya. ”Orang Jepang tidak tahu banyak soal Islam, tapi mereka punya keinginan untuk tahu dan menghormatinya.”
Baca juga: Jepang Jadi Negara Kelima yang Sukses Mendarat di Bulan
Pengalaman berkesan
Bagi Sendy, perjalanan selama delapan hari di Jepang merupakan salah satu pengalaman paling berkesan baginya. Betapa tidak, ia tak pernah keluar dari pulau Jawa selama 20 tahun hidup. Sekalinya bepergian, ia langsung menyeberangi samudera ke ”Negeri Matahari Terbit”!
Ia juga menjadikan ini kesempatan untuk mencari tahu soal perkembangan ilmu sosial di Jepang. Negara itu dikenal dengan sains dan teknologi yang maju, tetapi ia jarang mendengar soal ilmu sosial di sana. Saat berkunjung ke Universitas Waseda, seorang profesor menyebut bahwa minat publik terhadap ilmu sosial tak sebesar saintek. Terjawab sudah rasa penasaran Sendy.
Adapun Theo sangat terkesan dengan ketertiban warga Jepang, khususnya untuk menjaga kebersihan. Ia ingin menerapkan ketertiban yang sama saat pulang ke Biak. Ia akan mulai dari lingkup terkecil, yakni keluarga. Sementara itu, Fatima senang bisa tahu lebih banyak soal Jepang.
Usai sudah jadwal mereka yang padat selama delapan hari. Saatnya kembali ke rumah masing-masing sambil mengenang kembali pengalaman tak terlupakan ini.