Meremajakan Diri di Tebing Candi
Memanjat tebing Candi yang menjulang di daerah Klapanunggal, Bogor, benar-benar menguji fisik dan menguras nyali.
Memanjat tebing Candi yang menjulang di daerah Klapanunggal, Bogor, Jawa Barat, benar-benar menguji fisik dan menguras nyali, apalagi setelah 25 tahun tidak memanjat tebing alam. Namun, saat bisa mencapai puncak, diri ini rasanya muda kembali.
Rabu malam di awal Februari. Pesan singkat dari kawan bertualang, Alfonso Reno, muncul di layar telepon genggam. Atlet panjat di era 1990-an itu menanyakan apakah esok hari jadi memanjat tebing di daerah Klapanunggal, Cileungsi, Bogor. Pertanyaan yang hanya perlu dijawab dengan satu kata untuk menjadi realitas. Gaskeun!
Kamis pagi, cuaca bersahabat, langit cerah, pertanda baik untuk memanjat. Kontras dengan pemanjatan pada pertengahan Januari lalu, karena hujan mengguyur dari pagi hingga petang. Untung di Klapanunggal ada tebing di dalam goa yang tetap kering saat hujan. Lokasi panjat itu disebut oleh warga setempat dengan Goa Pocong.
Kali ini, target pemanjatan di tebing Candi, yang menjulang sekitar 50 meter. Tebing karst hasil pengangkatan geologi jutaan tahun lalu itu menjulang, menebar teror. Kalau datar, tebing itu hanya setengah panjang lapangan bola.
Pemanjatan kali ini hanya dilakukan empat orang, tiga di antaranya atlet panjat tebing saat muda, yakni Alfonso Reno, Choirul Toyifan yang akrab disapa Keceng, serta Yadi Tando. Keceng mengenal panjat tebing sejak 1995 di klub IMS Malang dan masih menekuni panjat hingga sekarang.
Selepas karier atlet, Keceng menjadi pelatih, salah satunya melatih tim panjat tebing DKI Jakarta dan mengantar Aspar Jaelolo dan kawan-kawan meraih sembilan emas pada PON Jabar 2016. Keceng sudah tidak muda, tetapi kelihaiannya memanjat tebing masih memesona.
Reno, yang mengasah panjat di IMS dan Mapala Himakpa ITN Malang, setelah lulus kuliah menjadi penyelam salvage atau penyelamatan kapal. Namun, darah panjat tebing tak hilang tersapu arus lautan. Dia bahkan membuat dinding bouldering di kompleks perumahannya di daerah Bintaro, Jakarta Selatan. Sementara Yadi kini menekuni pembuatan dinding panjat berstandar internasional di lembaga Abalaba.
Baca juga: Ritme Hidup Melambat di Isahaya
Saya sendiri saat bergabung di Mapala Gegama UGM hanya menjadikan panjat sebagai hobi. Saya lebih menekuni arung jeram dan caving saat kuliah. Pemanjatan tebing alam terakhir sudah 25 tahun silam, di tebing Parangendog, kawasan pantai Parangtritis, Bantul, DI Yogyakarta.
Sekian lama tidak memanjat tebing batu benar-benar menguji nyali. Begitu melihat tebing Candi yang menjulang itu, tebersit keraguan, apakah masih bisa tembus sampai puncak? Namun, darah muda yang kembali mengalir mengalahkan bimbang. Ini saatnya mengalahkan rasa takut.
Pembuka jalur
Yadi menjadi pembuka jalur, memasang runner atau pengaman pemanjatan, sedangkan Keceng menjadi belayer. Gerakan kaki dan tangan Yadi luwes, bak menari-nari di tebing saat mencari pijakan atau pegangan. Setelah tiba di pitch pertama, kami bertiga menyusul. Keceng dan Reno yang sudah berusia di atas 50 tahun masih lihai mengikuti jalur yang dilalui Yadi.
”Balung tuwek, masih bisa manjat, Rek,” ujar Reno dengan logat Malang, diiringi tawa renyahnya.
Melihat mereka memanjat tebing sepertinya mudah. Namun, saat mencoba sendiri, ternyata menguras fisik dan mengikis nyali. Semakin tinggi pemanjatan, rasa takut mulai mengusik. Meskipun ada tali pengaman, kepercayaan pada alat belum 100 persen pulih. Apa iya tali dinamis ini aman? Mengangkat kaki untuk berpindah pijakan saja rasanya berat sekali, bukan karena lelah, tetapi ragu melangkah, takut terpeleset.
Pun, saat mencari celah atau tonjolan batu untuk pegangan tangan, perlu waktu untuk benar-benar yakin bahwa tumpuan aman. Memanjat di tebing alam sangat berbeda dengan di dinding panjat buatan dengan point besar-besar sehingga mudah dipegang. Di tebing alam, hanya bisa manfaatkan apa yang ada. Kadang pegangan tangan hanya cukup untuk satu atau dua jari. Tumpuan kaki juga sering mengandalkan daya cengkeram sol sepatu ke permukaan tebing karena tidak ada tonjolan atau cerukan untuk berpijak.
Momen itu membawa diri ke kekinian yang sejati. Setiap gerakan dipertimbangkan dengan matang, waspada tingkat tinggi, mata dan pikiran fokus memilih jalur yang akan dilalui.
Melewati stalaktit
Pitch pertama selesai, dengan susah payah. Kini saatnya pitch kedua. Jalurnya harus melewati stalaktit, batu yang terbentuk dari endapan larutan batu kapur. Stalaktit biasanya terdapat di dalam goa karst, berwarna putih, bekerlip memancarkan cahaya saat disorot cahaya lampu.
Yadi kembali menjadi leader untuk memasang runner dan anchor hanging belay di ujung tebing. Menjadi leader pemanjatan perlu kemampuan yang mumpuni karena pengaman ada di bawah tubuh. Jika lepas tumpuan, tubuh akan jatuh jauh ke bawah dan bisa berisiko cedera karena tubuh membentur tebing. Yadi dan Keceng memiliki kemampuan itu. Mereka juga memegang sertifikat pemandu wisata panjat tebing.
Saat melewati stalaktit, Yadi berteriak keras, seolah mengerahkan tenaga ekstra untuk mengangkat tubuh. Sebenarnya, Yadi tidak terlalu kesulitan. Teriakan itu dia sengaja, sebagai teror untuk pemanjat lain.
Teror itu tak mempan pada Keceng. Dia tidak mengikuti jalur Yadi dan memilih jalur memutari stalaktit, bak cicak raksasa yang berpatroli di habitatnya. Gerakan tubuhnya ringan, jari-jari tangannya bisa ngegrip di permukaan stalaktit yang mengilat, padahal dia tidak memakai bubuk magnesium. Seperti itulah keahlian yang tak pernah putus diasah selama 29 tahun, sejak pertama kali dia menekuni panjat tebing pada 1995 di IMS Malang.
Namun, rintangan stalaktit ini menjadi ujian berat bagi yang sudah lama tidak memanjat. Selain menguras tenaga karena teknik pemanjatan yang lama tak terpakai, nyali juga menciut di ketinggian sekitar 30 meter itu. Untuk melewati stalaktit, bisa menggunakan teknik chimneying di cerukan antardua stalaktit. Kedua kaki di satu sisi dan punggung di sisi lainnya, dibantu tangan untuk menggeser tubuh ke atas serta belay ketat.
Baca juga: Shenzhen dan Klakson Sepeda Motor Listrik
Di tengah-tengah stalaktit itu, rasanya ingin turun saja, membatalkan pemanjatan, bukan karena lelah, tetapi ketinggian benar-benar menguras nyali. Angan-angan meniru Jimmy Chin memotret dan memfilmkan pemanjat solo Alex Honnold pun menemui realitas, sangat sulit.
”Pelan-pelan saja. Kamu bisa. Tinggal sedikit lagi. Semangat. Tadi katanya ingin jadi Jimmy Chin,” teriak Reno menyemangati dari bawah disusul tawa mengejek.
Godaan untuk menyerah memang racun pikiran yang berbahaya. Namun, dorongan dan dukungan dan teman-teman di sekitar selalu bisa membangkitkan semangat untuk melewati kesulitan.
”Setelah batu putih itu, jalurnya enak, ayo sedikit lagi,” teriak Keceng dari puncak tebing sambil merekam video dengan ponsel.
Setelah menarik napas sejenak, semangat kembali bangkit. Yadi menarik tali belay dengan kencang, membantu tubuh untuk bergerak perlahan melewati stalaktit. Benar saja, setelah melewati batu putih itu, tebing bak jalan tol. Banyak celah dan tonjolan batu untuk pegangan dan pijakan kaki. Puncak tebing Candi pun tergapai.
Dari atas tebing, pandangan bisa menjelajah, menyapu perbukitan di daerah Jonggol, hingga ke pinggiran Jakarta dan Bogor. Pemandangan yang melengkapi kegembiraan hati karena bisa menyelesaikan pemanjatan serta mengalahkan rasa takut. Namun, kunci terpenting adalah dukungan dari teman-teman yang tak memiliki kata menyerah dalam kamus mereka.
Di atas tebing yang hanya cukup untuk sepuluh orang itu, kami tertawa, mengenang masa lalu, dan tak lupa menertawakan kekonyolan saat pemanjatan tadi.