Royke Lumowa Kayuh Sepeda hingga Ketinggian 5.013 Meter
Menyinggahi puncak Gunung Mila, dengan ketinggian 5.013 meter di atas permukaan laut, adalah bagian dari rangkaian perjalanan saya mengayuh sepeda dari Gongbo Gyamda menuju Lhasa, ibu kota Tibet.
Salah satu titik puncak Gunung Mila di Tibet memiliki ketinggian 5.013 meter di atas permukaan laut. Di lokasi itu terhubung jalan raya beraspal mulus dari sejumlah daerah di kaki gunung. Saya mendatangi puncak Gunung Mila pada Selasa (12/9/2023) dengan bersepeda. Sebuah pencapaian yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Menyinggahi puncak Gunung Mila adalah bagian dari rangkaian perjalanan saya mengayuh sepeda dari Gongbo Gyamda menuju Lhasa, ibu kota Tibet. Jarak kedua kota itu mencapai lebih kurang 275 kilometer.
Gongbo Gyamda berada pada ketinggian 3.400 meter di atas permukaan laut (mdpl), sedangkan kota Lhasa pada ketinggian 3.600 mdpl. Namun, saya harus melewati Gunung Mila yang menjulang tinggi.
Mengingat perjalanan hari itu cukup jauh, saya memutuskan berangkat dari Gongbo Gyamda lebih pagi, yakni pukul 06.10. Suasana masih gelap. Di badan jalan pun tidak banyak terpasang lampu sehingga saya menyalakan lampu sepeda. Gerimis hujan mengguyur bumi dan hal ini menambah suhu dingin.
Baca juga: Di Tibet, Saya Alami Suhu 48 Derajat Celsius
Sarapan pagi itu, saya mengandalkan makanan yang sudah kami siapkan pada malam sebelumnya. Hal ini dilakukan karena sarapan di penginapan baru dibuka pada pukul 07.00. Jika mengikuti jadwal tersebut, otomatis saya memulai gowes agak siang. Ini tidak ideal untuk perjalanan saya hari itu yang melewati rute yang panjang dan berat.
Keluar dari Gongbo Gyamda, langsung dihadapkan pada tanjakan. Mula-mula kemiringan berkisar 3-4 derajat, tetapi beberapa kilometer selanjutnya bertambah menjadi 7-8 derajat. Setelah itu, berkurang lagi walau kemudian meningkat lagi.
Kemiringan jalan tanjakan tersebut bervariasi. Akan tetapi, tidak lebih dari 10 derajat. Kondisi jalan tanjakan seperti ini seolah telah menjadi ketentuan yang berlaku di China. Pada rute-rute sebelumnya pun selalu demikian. Inilah model jalan yang berkeselamatan. Sangat bertolak belakang dengan kemiringan jalan-jalan di Indonesia yang terkadang ekstrem.
Perjalanan menuju puncak Gunung Mila sebagian besar menyusuri Sungai Nyang Qu. Terkadang di sisi kiri, terkadang pula di sisi kanan. Sungainya terawat. Airnya bening dan jernih, tetapi cukup deras. Panorama alam pegunungan yang ada pun begitu indah.
Melewati daerah aliran sungai ini sangat terasa adem, didukung udara yang bersih. Hal ini membuat kayuhan sepeda saya terasa sangat menyenangkan. Tidak ada rasa lelah.
Baca juga: Di Shangri-La Seolah Saya Bersepeda di Langit
Di sejumlah lokasi, tampak yak, sapi khas Tibet yang dipelihara warga. Jumlahnya cukup banyak. Postur tubuhnya bahkan jauh lebih besar dan tinggi dibandingkan dengan hewan sejenis yang pernah saya lihat di wilayah seperti Shangri-La ataupun Markam.
Perjalanan menyusuri Sungai Nyang Qu ini cukup panjang. Kontur tanjakan juga tak berkesudahan. Bahkan, semakin mendekat ke kawasan puncak Gunung Mila, kemiringannya terus bertambah, berkisar 7-10 derajat.
Di jalan raya pun tidak banyak kendaraan bermotor yang lalu lalang. Truk dan mobil-mobil pribadi lebih memilih melewati jalan tol. Hal ini juga membuat kayuhan saya terasa sangat nyaman. Rute ini memang sangat cocok untuk bersepeda.
Tidak mengherankan, selama melewati rute ini, saya berjumpa dengan cukup banyak pesepeda asal China yang melakukan touring. Ada yang sendiri, ada pula yang berkelompok. Mereka umumnya ingin menuju ke Lhasa, ibu kota Tibet.
Lakukan aklimatisasi
Memasuki ketinggian 4.000 mdpl, saya memutuskan untuk menjaga diri. Setiap kali ada penambahan 100 mdpl, saya harus berhenti sejenak untuk aklimatisasi agar tubuh bisa menyesuaikan dengan kondisi oksigen sehingga tidak pusing dan mual akibat berada ketinggian. Karena kalau terabaikan dan terkena pusing atau mual maka agak susah untuk pemulihannya. Jadi, lebih baik mencegah agar perjalanan tetap lancar sesuai rencana.
Menjelang tengah hari, kami pun memutuskan makan siang di tepi sungai. Suasananya menyenangkan. Mungkin juga menjadi pengalaman yang unik selama perjalanan ini.
Selepas makan siang, saya tetap bersepeda. Tanjakan yang memanjang di depan mata tidak menghalangi niat saya untuk mencapai puncak Gunung Mila. Sekitar pukul 18.10, saya akhirnya tiba di puncak. Total jarak dari Gongbo Gyamda hingga di puncak Gunung Mila sejauh 124 kilometer.
Luar biasanya perjalanan menuju puncak Gunung Mila, yang terhubung dengan jalan raya yang lebar dan beraspal mulus. Di puncak, ditempatkan sebuah batu besar bertuliskan angka 5.013. Artinya, ketinggian lokasi tersebut adalah 5.013 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Saya sungguh berbahagia bisa mendatangi puncak Gunung Mila dengan bersepeda. Sebuah pencapaian pribadi yang tiada duanya. Seolah saya telah melewati Gunung Semeru (3.676 meter), Rinjani (3.762 meter), Kerinci (3.805 meter), dan Puncak Jaya (4.884 meter).
Di ketinggian 5.013 mdpl, suhunya sangat dingin. Meski lupa mengecek temperatur udara pada garmin, saya rasa di bawah nol derajat celsius. Gerimis pun turun disertai salju tipis. Tidak ada angin sehingga membuat suhu begitu dingin. Begitu dinginnya, tidak terasa ingus meleleh dari hidung.
Meski demikian, saya tidak merasakan sesak napas atau gangguan lain di daerah ketinggian. Malah saat berada di puncak pun badan saya terasa hangat karena baru selesai gowes menanjak. Apalagi sejak beberapa hari sebelumnya saat bersepeda pada daerah yang memiliki ketinggian di atas 2.000 mdpl, saya selalu disiplin dalam melakukan aklimatisasi.
Saya tidak lama di puncak Gunung Mila karena perjalanan masih jauh. Masih harus menempuh 155 kilometer perjalanan lagi menuju Lhasa. Dari puncak, selanjutnya saya melewati jalan turunan yang panjang.
Untuk menjaga konsentrasi dari terpaan suhu dingin, saya memutuskan menambah dua lapis pakaian. Sarung tangan pun dilapisi penghangat.
Sekitar pukul 19.00, saya melanjutkan bersepeda. Sekitar 5 kilometer dari puncak terjadi hujan cukup lebat disertai angin. Saya tetap melaju melewati turunan. Jalan turunan ini selalu disertai kelokan dengan kemiringan yang kadang hanya 1 persen sehingga tidak terlalu membahayakan.
Menjelang pukul 20.00, hari mulai gelap, tetapi saya tetap mengayuh sepeda. Beberapa kali terasa lelah, lapar, dan mengantuk, saya mengatasinya dengan beristirahat sejenak di sejumlah lokasi walau tetap gowes lagi.
Memang sangat berat perjalanan pada rute ini, tetapi saya sudah bertekad untuk bersepeda hingga finis sehingga dijalankan dengan penuh kegembiraan. Saya tiba di Lhasa sekitar pukul 03.00 dini hari pada Rabu, 13 September 2023. Di kota ini, saya beristirahat selama dua hari.
Jalur G318
Sebagai catatan, sebelum mendaki Gunung Mila, saya terlebih dahulu mengayuh sepeda dari Pasho pada Jumat (8/9/2023) menuju Pome dengan jarak 200,3 kilometer. Lumayah jauh. Kota Pasho berada pada ketinggian 3.500 mdpl.
Perjalanan dimulai pukul 09.00 karena pagi itu sarapan baru disiapkan pihak hotel mulai pukul 07.30 waktu setempat. Selain itu, saya pun baru tiba di Posho dari Zogan pada hari yang sama pukul 01.00 sehingga cukup melelahkan dan perlu istirahat.
Saya memulai perjalanan dengan jalan menanjak halus, setelah itu kemiringan mulai meningkat berkisar 5-6 derajat. Semakin ke depan, kemiringan bertambah mencapai 10 derajat. Tanjakan itu cukup panjang melewati bukit-bukit tandus hingga di Kilometer 60. Di situ, ketinggian mencapai 4.100 mdpl. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.30, tetapi suasana masih terang.
Mulai dari ketinggian 4.000 mdpl, saya disiplin melakukan aklimatisasi. Setiap ada penambahan 100 mdpl, saya berhenti sejenak. Sore itu saya mengayuh sepeda hingga di ketinggian 4.460 mdpl dengan jarak 70 kilometer dari Pasho. Saat itu sudah pukul 18.30, tetapi suasana masih terang benderang.
Dalam perjalanan siang itu, saya melewati perbaikan jalan dan tebing akibat rawan longsor di banyak tempat. Jalan yang ada sering diberlakukan buka tutup jalur. Banyak juga kendaraan yang lalu lalang karena pada rute ini belum ada jalan bebas hambatan.
Khusus kendaraan pribadi, umumnya bergerak menuju Lhasa. Mobil-mobil itu selalu konvoi melibatkan beberapa unit. Modelnya pun bagus dan semuanya buatan China. Mobil ini bergerak dari arah timur, seperti Shanghai, Beijing, dan Wuhan, menuju Lhasa melewati jalur legenda G318.
Jalur G318 terbentang dari Shanghai hingga jembatan persahabatan Tibet di Lasha sejauh 5.479 kilometer. Jalan ini menyusuri garis 30 derajat Lintang Utara dengan panorama yang sangat indah, baik di sepanjang jalan maupun daerah-daerah dalam radius 200 kilometer di sekitarnya. Karena itu, jalan nasional G318 juga dikenal sebagai jalan raya pemandangan China. Masyarakat China ataupun wisatawan bangga melewati jalur itu sehingga setiap mobil ditempeli stiker 318.
Jalan raya dari Pasho menuju Pome tidak semuanya mulus. Di beberapa titik, badan jalan malah menyempit menjadi dua jalur, dan masing-masing hanya bisa dilewati satu unit kendaraan. Jika ada dua truk besar yang berpapasan, tidak ada ruang lagi bagi pengguna jalan lain.
Saya beberapa kali menghadapi situasi seperti ini. Kalau ada pengemudi yang mau mengerti pesepeda, saya diberi ruang untuk melaju. Namun, tak sedikit pengemudi yang tidak memedulikan pengguna lainnya. Saya pun ekstrahati-hati karena rawan tersenggol.
Mengapa begitu banyak kendaraan yang melewati rute ini? Ternyata, jalur ini adalah satu-satunya jalan nasional yang ada. Selain itu, rute ini juga belum memiliki jalan tol sejak dari Deqin.
Dari ketinggian 4.460 mdpl di Kilometer 70 pada pukul 18.30, saya menyusuri jalan turunan yang panjang, melewati tebing-tebing terjal berliku dan gelap. Di sepanjang jalan juga ada cukup banyak lampu jalan sehingga gowes malam tetap lancar meski menghadapi suhu dingin.
Meski tantangan yang dihadapi begitu berat, saya bisa menyelesaikan jarak Pascho ke Pome sejauh 200,3 kilometer dengan bersepeda. Saya tiba di Pome, Sabtu (9/9/2023) pukul 03.30. Sepanjang hari itu, saya gunakan untuk istirahat penuh.
Tidak kenal Indonesia
Hari Minggu (10/9/2023), saya kemudian bergerak dari Pome menuju Baiyi sejauh 230 kilometer. Sebelum berangkat, saya memutuskan bahwa gowes hari itu hanya sampai gelap. Setelah itu, loading ke mobil menuju finis, berapa pun kilometer yang dikayuh.
Pertimbangan utama adalah pada hari-hari selanjutnya akan banyak melakukan gowes malam hari. Itu sebabnya, perlu diseleksi rute mana saja yang perlu dikayuh malam hari hingga finis, tidak peduli jam berapa tiba di penginapan yang dituju.
Saya mulai bersepeda pada pukul 08.30 setelah sarapan pagi. Sejak berangkat jalan yang dilewati umumnya mendatar. Selepas kilometer 100 barulah jalan mulai menanjak, tapi relatif bersahabat seperti umumnya tanjakan di China.
Siang itu, saya dan kru makan siang di tepi jalan karena tidak ada warung. Makanan sudah dibeli pada sebuah warung yang terletak belasan kilometer sebelumnya. Setelah itu, melanjutkan bersepeda lagi.
Sepanjang perjalanan hari itu, saya melewati beberapa terowongan dalam gunung dengan panjang bervariasi. Ada yang memiliki panjang 500 meter, 1.000 meter, dan ada juga yang hingga 3 kilometer. Bahkan, pada terowongan yang panjang di bagian tengah tersedia rest area. Tidak luas, tetapi cukup nyaman untuk istirahat. Saya berhenti sejenak menikmati suasana rest area di dalam perut bumi.
Pada rute ini juga mulai tampak pepohonan yang tumbuh. Lumayan banyak pohon yang ditanam. Adanya pohon-pohon itu menambah keindahan perbukitan tersebut.
Saya juga masih menjumpai warga China yang sedang touring sepeda. Kami sempat saling menyapa. Saya memperkenalkan diri asal Indonesia dan bersepeda dari Jakarta. Mereka mengaku tidak mengenal Indonesia. Namun, satu orang di antara mereka mengaku sedang merencanakan berwisata ke Bali dan Bromo. Sepertinya dia tidak tahu bahwa Bali dan Bromo berada di wilayah Indonesia.
Menjelang pukul 19.00, hari mulai gelap. Totak jarak yang dikayuh hari itu mencapai 123 kilometer. Saya pun memutuskan loading ke mobil pengiring hingga di Baiyi. Tiba di penginapan pukul 21.00.
Mengayuh sepeda di wilayah Tibet memang tidak mudah. Tantangan terberat bukan hanya dingin, melainkan setiap hari pasti ”bercumbu” dengan tanjakan. Di tengah perjalanan. selalu menghadapi terpaan angin kencang.
Saat bersepeda dari Baiyi menuju Gongbho Gyamda pada Senin (11/9/2023) juga demikian. Dari jarak 132 kilometer, saya hanya bisa gowes sejauh 108 kilometer. Setelah itu, menghadapi terpaan angin yang sangat kencang disertai hujan sangat lebat.
Beberapa kali sepeda goyang. Saya pun nyaris jatuh gara-gara sepeda bergoyang itu. Demi keselamatan, saya memutuskan mulai dari kilometer 108 hingga finis menaiki mobil.
Rute Baiyi-Gongbho Gyamda tergolong menarik dan bagus. Jalan beraspal mulus dan jarang dilalui kendaraan besar. Sekitar 98 persen kendaraan memilih melewati jalan tol dibandingkan dengan jalan arteri nasional.
Pemandangan di kiri dan kanan jalan juga indah. Ada nuansa pegunungan batu yang bersalju. Banyak tanjakan, tetapi tidak berat. Di jalur ini pun, saya menyusuri aliran Sungai Nyang Qu yang berwarna hijau tosca dan sejuk.
Yang jarang dijumpai selama perjalanan di China adalah warung. Di negeri ”Tirai Bambu” ini ternyata warga dilarang membuka warung, termasuk di pinggir jalan. Pembukaan warung memiliki syarat yang ketat.
Kadang ada warung yang dijumpai pada pagi atau menjelang siang. Saya pun menyiasati dengan membeli makanan pada warung tersebut, kemudian dimakan saat makan siang. Lokasinya kadang di tepi jalan atau tempat mana saja yang dinilai nyaman.
Pagi itu, saya dan kru sempat menikmati sarapan pagi di penginapan. Makanan yang disajikan cukup lengkap. Menurut agen perjalanan kami, kota Baiyi sudah mendekati Lhasa sehingga termasuk daerah wisata yang dikunjungi wisatawan asing. Kondisi ini memaksa pengelola hotel dan penginapan menyediakan sarapan yang bagus dan lengkap.
Saya juga berjumpa dengan beberapa pesepeda dari Wuhan dan kota-kota di wilayah tengah China yang hendak touring menuju Lhasa. Kesan saya, minat masyarakat China terhadap perjalanan bersepeda jarak jauh lumayan tinggi.
Beberapa kali sepeda mengalami guncangan yang cukup keras sehingga saya pun nyaris jatuh.
Selepas makan siang, hujan deras dan angin kencang datang sekaligus. Mula-mula, saya bersepeda di depan mobil pengiring, tapi beberapa kali sepeda mengalami guncangan yang cukup keras sehingga saya pun nyaris jatuh.
Setelah itu, saya mencoba bersepeda dengan berlindung di belakang mobil, tetapi terpaan angin dari samping ternyata cukup kencang. Akhirnya, saat di Kilometer 108, saya memutuskan loading hingga di kota Gongbho Gyamda. Keselamatan adalah tetap pertimbangan yang utama.