Di Tibet, Saya Alami Suhu 48 Derajat Celsius
Begitu memasuki Tibet, satu hal yang mencengangkan saya adalah kondisi infrastruktur. Jalan raya yang ada mengalami kerusakan di mana-mana. Banyak jalan keriting.
Berada di wilayah Provinsi Tibet, China, saya seolah berada di kolong langit. Di sini, hampir setiap hari saya mengayuh sepeda pada ketinggian 3.500-5.000 meter di atas permukaan laut. Di daerah tertentu mengalami kedinginan hingga 6 derajat celsius. Namun, di wilayah tertentu malah merasakan suhu udara panas mencapai 48 derajat celsius.
Kondisi ini cukup mengagetkan saya juga. Bayangkan, berada di deretan pegunungan yang menjulang tinggi, tetapi masih terjadi suhu yang sangat panas.
Padahal, pengalaman di banyak tempat, termasuk di Indonesia berada di ketinggian 1.500 mdpl saja suhu udaranya cenderung dingin. Namun, sejumlah tempat di Tibet malah mengalami kondisi yang bertolak belakang. Inilah salah satu dampak dari perubahan iklim yang terjadi di wilayah Tibet.
Saya memasuki Tibet pada Selasa, 5 September 2023, sore. Daerah pertama yang disinggahi adalah Markam, kota terselatan dari wilayah Tibet. Letaknya pada ketinggian 4.200 mdpl.
Hari itu saya mengayuh dari kota Deqin, wilayah paling utara Provinsi Yunnan, ke Markam. Di batas wilayah Provinsi Yunnan dan Tibet ada pintu perbatasan, mirip seperti pintu lintas batas negara. Ada pemeriksaan paspor dan surat-surat kendaraan yang dilakukan petugas.
Persyaratan yang dibutuhkan adalah memiliki visa masuk China dan surat izin masuk wilayah Tibet yang wajib diurus paling lambat dua pekan sebelum tiba di perbatasan. Surat izin untuk saya dan kru serta kendaraan telah diurus oleh agen perjalanan, Navo, sehingga proses memasuki Tibet berjalan lancar dan aman.
Tibet merupakan daerah otonomi khusus di China yang berada di kawasan Pegunungan Himalaya. Tibet berbatasan dengan Nepal, Bhutan, India, dan Xinjiang, Qinghai dan Siuchuan (China). Ibu kota Tibet adalah Lhasa.
Pada ratusan tahun silam, Tibet merupakan sebuah kerajaan. Raja Tibet diberi gelar Dalai Lama, dimana Daila Lama sekarang adalah Tenzin Gyatso adalah Daila Lama ke-14. Dalai Lama merupakan pemimpin negara sekaligus pemimpinan keagamaan. Masyarakat Tibet penganut agama Buddha.
Baca juga: Di Shangri-La Seolah Saya Bersepeda di Langit
Begitu memasuki Tibet, satu hal yang mencengangkan saya adalah kondisi infrastruktur. Jalan raya yang ada mengalami kerusakan di mana-mana. Banyak jalan keriting. Kondisi ini jauh berbeda dengan di Yunnan, di mana jalannya beraspal mulus.
Sempat pula berjumpa dengan sapi yak, hewan yang mirip bison dengan bulu rumbai putih tebal, moncong hitam, berbadan besar, dan memiliki tanduk hitam melengkung. Sapi jenis ini banyak berkembang biak di Tibet dan wilayah Himalaya di Asia Tengah. Yak adalah sebutan untuk jantan, sedangkan betina disebut dri atau nak.
Yang aneh dari sapi yak adalah warnanya serba putih, tetapi bukan albino, bulu rumbai putihnya menjadikannya masuk jenis sapi unik. Ada yang hidup liar, ada pula yang diternakan oleh masyarakat setempat dengan warna yang lebih cerah. Tubuh hewan ini ditutupi bulu lebat yang sekaligus menjadi pelindung dari cuaca dingin.
Rute Deqin ke Markam sejauh 250 kilometer. Saya bersepeda hanya sebagian saja sebab memulainya sudah agak siang, yakni pukul 11.00. Hal ini terjadi karena pada sehari sebelumnya saat gowes dari Shangri-La hingga Deqin sejauh 174 kilometer menghabiskan waktu yang sangat lama. Saya gowes penuh dan baru tiba di Deqin pada 5 September 2023 pukul 01.30.
Selain itu, ada dua anggota kru yang menderita flu berat dan gangguan pernapasan akibat menghadapi suhu udara yang dingin di daerah ketinggian. Kondisi ini memaksa kami harus tiba di Markam masih siang sehingga membawa mereka berobat ke dokter setempat.
Cahaya salju di Meili
Di Deqin, penginapan kami berada pada ketinggian 3.500 mdpl. Kami disuguhi pemandangan panorama deretan Pegunungan Meili yang ketinggiannya mencapai lebih kurang 6.000 meter. Dari kejauhan kita dapat menyaksikan gletser di ketinggian yang ditutupi salju dan kabut tebal yang bercahaya menyerupai ular putih besar yang menggeliat di antara pegunungan hijau. Itu sebabnya, pegunungan ini diklaim memiliki pemandangan termegah dan paling indah di dunia.
Yang tertinggi adalah Gunung Kawagebo dengan ketinggian sekitar 6.740 mdpl. Konon, katanya, pegunungan ini masih merupakan puncak perawan karena belum satu pendaki pun yang mendaki hingga di puncak. Ada 13 puncak dengan ketinggian rata-rata 6.000 mdpl di barisan pegunungan itu, berbaris ke utara ke selatan disebut 13 pangeran puncak. Puncak utama dalah Kawagebo yang diklaim sebagai puncak gunung tersuci tertinggi Yunnan.
Begitu memulai perjalanan, langsung menghadapi turunan yang panjang hingga di ketinggian 2.000 mdpl sejauh lebih kurang 44 kilometer. Sepanjang perjalanan disuguhi pemandangan yang sangat indah. Saya berhenti berkali-kali untuk mengabadikan keagungan alam ini.
Saya tidak mau melewati momentum ini hanya fokus mengayuh sepeda. Saya ingin mengabaikan keindahan tersebut sebagai kenangan abadi. Lagi pula kesempatan seperti ini tidak mungkin bisa terulangi lagi.
Selesai turunan panjang, saya melewati jalan datar. Namun, beberapa kilometer berikutnya, menghadapi tanjakan hingga pada ketinggian 4.200 mdpl. Saya memilih loading agar secepatnya tiba di Markam guna mengobati kru yang sakit.
Dari Markam, saya melanjutkan perjalanan menuju Zogan pada Rabu, 6 September 2023. Jaraknya mencapai 158 kilometer. Tekad saya ingin gowes hingga finis di kota Zogan yang berada pada ketinggian 3.800 mdpl, tetapi sebelumnya akan melewati suatu daerah dengan ketinggian 5.100 mdpl.
Saya berangkat dari Markam sekitar pukul 07.30 dengan suhu 6 derajat celsius. Sangat dingin. Kota Markam berada di ketinggian 3.800 mdpl. Saya melengkapi diri pakaian dingin. Begitu start langsung menghadapi tanjakan melingkar hingga pada ketinggian 4.000 mdpl.
Kondisi ini membuat ayunan sepeda terasa agak berat. Diperparah lagi dengan tekanan udara yang menipis. Menyiasati keadaan itu, saya memutuskan untuk berhenti sejenak pada penambahan setiap 100 mdpl sebagai upaya aklimatisasi. Saya juga mulai membatasi bersuara. Hal ini biasanya terjadi saat mendaki gunung. Semakin mendekati puncak, pendaki dilarang banyak bicara, sebab oksigen semakin menipis.
Yang menarik juga pagi itu sesaat hendak meninggalkan penginapan, kami diberi kain selendang putih, lambing Tibet, pertanda daerah salju. Wilayah Tibet pada bulan November hingga Februari selalu ditutupi salju. Banyak aktivitas dihentikan sementara.
Pada rute ini juga saya melewati tiga gunung. Pada gunung pertama, jalurnya agak ringan. Saya menjumpai banyak petani yang beternak sapi yak, hewan khas Tibet. Saya melewati banyak desa dengan pemandangan yang indah.
Pada gunung kedua, saya melewati tanjakan hingga mencapai ketinggian 4.200 mdpl lalu turun kembali hingga pasa ketinggian 2.600 mdpl. Lumayan panjang. Jalannya banyak rusak dan berdebu.
Saya pun kembali menghadapi cuaca panas. Kali ini lebih panas lagi yakni 48 derajat celsius. Namun, air yang mengalir pada sungai yang ada malah dingin dan sejuk. Untung saja, siang itu angin cukup kencang sehingga udara yang panas tidak terlalu menyengat.
Hari itu, saya juga banyak berjumpa dengan para pengelana sepeda. Ada pengelana solo. Ada pula yang berkelompok. Mereka menggunakan sepeda gunung dan sepeda touring sekaligus mengangkut barang-barang. Semuanya adalah warga China. Beberapa di antara mereka ingin melakukan perjalanan jarak jauh hingga 2.000-an kilometer. Kami saling menyapa dan saling memberikan semangat.
Ada juga satu keluarga yang sedang bermobil, lalu tiba-tiba menghentikan mobilnya hanya ingin menyapa saya. Mereka menanyakan tujuan perjalanan saya dan lainnya. Mereka menaruh hormat dan memberikan apresiasi yang tinggi. Tak lupa memberikan makanan dan minuman. Luar biasa. Terima kasih untuk perhatian mereka.
Mengayuh sepeda hari itu sungguh menguras tenaga. Tanjakan dan turunan yang silih berganti memaksa saya tidak bisa melaju dengan kencang. Saat makan malam pukul 18.00, saya baru menyelesaikan 86 kilometer.
Saat makan malam di sebuah restoran yang ada di desa kecil, saya melihat cukup banyak wisatawan yang memilih bermalam di daerah itu. Saya kemudian bertanya, mengapa mereka tidak melanjutkan perjalanan menuju Zogan malam itu juga?
Jawaban mereka bahwa jalur yang akan dilalui itu pada malam hari biasanya dilalui binatang buas, terutama beruang. Banyak beruang keluar dari sarang dan ”beristirahat” di tengah badan jalan. Hewan buas tersebut langsung menerkam mangsa yang melewati jalur tersebut. Sudah banyak pelintas yang menjadi korban. Informasi yang sama disampaikan petugas keamanan di desa tersebut.
Setelah makan, saya mencoba bersepeda beberapa kilometer. Saat hari semakin gelap, saya memutuskan loading dan selanjutkan menuju Zogan dengan bermobil. Kami tiba di penginapan pukul 23.00 waktu setempat.
Kamis, 7 September 2023, saya bersepeda dari Zogan menuju Pasho sejauh 200 kilometer. Saya memulai memulai pada pukul 09.30, agak siang karena sehari sebelumnya baru tiba di penginapan pada pukul 23.00. Cukup melelahkan sehingga baru bisa tidur pada pukul 01.00 pada hari Kamis.
Suhu kota Zogan pagi itu 6 derajat celsius. Kota ini berada di puncak gunung yang dikelilingi tebing-tebing terjal. Seperti mangkok di puncak gunung. Kondisi fisik saya pagi juga juga agak kurang fit. Ini kejadian yang baru pertama kali saya alami sejak gowes dari Jakarta pada 8 Juli 2023.
Mungkin karena kelelahan. Maklum beberapa hari sebelumnya gowes hingga larut malam, menghadapi cuaca yang dingin dan panas sekali. Dampaknya pada kekuatan fisik merosot.
Meski demikian, saya mencoba tetap bersepeda. Perlahan-lahan. Setelah melewati 40 kilometer, kondisi fisik menurun lagi. Suhu badan agak naik. Saya memutuskan makan siang. Setelah itu, memilih loading ke mobil pengiring. Selama perjalanan, saya pun tertidur dengan pulas. Begitu tiba di penginapan pada pukul 22.00 waktu setempat, fisik saya terasa jauh lebih baik.
Gowes melewati pegunungan dengan rute menanjak dan menurun yang panjang seolah menjadi ”santapan” rutin saya selama mengayuh sepeda di China. Saat gowes dari Shangri-La pada Senin, 4 September 2023, juga demikian.
Velg meledak
Pagi itu suhu udara kota Shangri-La cukup dingin, yakni 11 derajat celsius. Saya pun langsung mengenakan pakaian penahan dingin yang berlapis. Sepatu sepeda pun saya baluti dengan plastik anti basah. Udara cukup cerah dengan langit yang biru. Shangri-La berada pada ketinggian 3.300 mdpl.
Saya memulai bersepeda tepat pukul 07.30 waktu setempat. Saya sempat melewati sebuah sekolah dasar.Arus lalu lintas cukup padat sebab pagi hari banyak orangtua yang mengantarkan anaknya ke sekolah. Perjalanan sejauh 20 kilometer masih berupa jalan datar dan beraspal mulus.
Setelah itu, perlahan-lahan mulai menanjak. Semakin ke depan, tanjakannya terus meningkatkan hingga mencapai ketinggian 3.500 mdpl. Berada pada ketinggian ini, saya merasa sangat berbahagia. Itulah pertama kalinya saya berada pada ketinggian 3.500 mdpl dengan bersepeda.
Dari ketinggian 3.500 mdpl, perjalanan selanjutnya melewati jalan menurun yang cukup tajam sejauh 36 kilometer hingga pada ketinggian 2.000 mdpl. Berlanjut melewati jalan datar sejauh 25 kilometer. Pada ketinggian 2.000 mdpl ini, saya menghadapi suhu udara yang sangat panas, yakni 46 derajat celsius. Inilah suhu terpanas yang saya rasakan selama hidup.
Kondisi ini sedikit tertolong oleh adanya embusan angin yang cukup kencang di wilayah pegunungan tersebut sehingga bisa mengelabui kita dari sengatan sinar matahari. Suhu panas pun tidak terlalu terasa. Namun, data yang tercatat pada Garmin tidak bisa dibohongi. Suhu udara yang ada dilaporkan mencapai 46 derajat celsius.
Siang itu, saya juga disuguhi pemandangan pegunungan batu yang indah sekali yang terbentang dari Shangri-La. Di lokasi itu juga ada sebuah monument berupa patung beberapa orang. Mereka adalah tokoh yang berjasa dalam pembangunan jalan di kawasan tersebut. Di awal pembangunannya pada puluhan tahun silam, banyak warga menjadi korban dari proyek tersebut sebab harus membelah pegunungan batu tersebut.
Saya pun menghentikan sepeda lalu melakukan swafoto tidak jauh dari monumen tersebut. Tidak lama kemudian, velg sepeda (bagian belakang) yang saya gunakan meledak, sedangkan bannya tetap utuh. Saya duga hal ini terkait cuaca, yakni menghadapi suhu yang dalam sehari yang selalu bertolak belakang. Dingin sekali, lalu panas sekali. Saya kemudian melaporkan kejadian ini ke pihak produsennya. Mereka bersedia mengganti velg yang sama.
Semula, saya merencanakan hari itu bersepeda hanya 100 kilometer. Namun, karena pemandangannya sangat bagus, saya memutuskan tetap mengayuh hingga tuntas sejauh 174 kilometer di kota Deqin yang berada pada ketinggian 4.200 mdpl. Saya tiba di penginapan pukul 01.30 pada 5 September 2023.
Saat berada pada ketinggian 4.000 mdpl, saya harus melewati tiga terowongan yang cukup panjang. Ada yang sejauh 3 kilometer, ada pula 4 kilometer. Luar biasa. Wakttu itu sudah tengah malam. Anehnya, saya sama sekali tidak mengantuk. Setelah itu, saya melewati turunan tajam. Sebelum turun, saya mengenakan pakaian penahan dingin yang berlapis.
Kami tidak menginap di tengah kota Deqin. Pihak agen perjalanan memilihkan penginapan pada 6 kilometer setelah kota. Alasannya, pada pagi hari kami dapat melihat keindahan gunung es Meili. KataMeili dalam bahasa Mandarin artinya cantik.
Deretan Pegunungan Meili jarang memperlihatkan cahayanya untuk seluruh barisan pegunungan itu. Makanya, sering disebut sebagai gunung pemalu. Pagi itu kami sempat menyaksikan keindahan pegunungan itu melalui pancaran cahaya yang indah di puncaknya yang diselimuti salju.
Mendengar kata ”menanjak” pasti memberi kesan yang menyeramkan. Apalagi, bergerak dari ketinggian 2.000 mdpl menuju ke 4.200 mdpl. Namun, perjalanan tersebut tidak seseram yang dibayangkan. Kemiringan jalan tanjakan di China umumnya tidak lebih dari 11 persen. Itu sebabnya, meski jalan menanjak cukup panjang, saya mampu mengayuh dengan nyaman.