Di Shangri-La Seolah Saya Bersepeda di Langit
Nah, saat merayap perlahan hingga mencapai Kota Shangri-La, hati saya pun gembira luar biasa. Seakan saya telah berada di puncak gunung-gunung di Indonesia.
Tantangan terberat mengayuh sepeda ke Eropa adalah menghadapi suhu udara yang dingin. Bahkan, tidak sedikit kota yang dituju berada pada ketinggian lebih dari 2.000 meter. Tantangan itu kini mulai dialami di China. Salah satunya di Kota Shangri-La dengan ketinggian sekitar 3.400 meter di atas permukaan laut dengan suhu udara 12 derajat celcius.
Saya tiba di Shangri-La pada Kamis, 31 Agustus 2023 sekitar pukul 17.00 waktu setempat. Hari itu saya bersepeda dari Lijiang yang berada pada ketinggian sekitar 2.300 mdpl. Jarak kedua kota tersebut sejauh kurang lebih 170 kilometer.
Bersepeda pada ketinggian di atas 3.000 mdpl, rasanya sangat senang dan takjub. Jujur saja, selama ini saya belum pernah gowes hingga pada ketinggian melebihi 2.000 mdpl, seperti di Bromo, Dieng, dan Comoro Semu.
Nah, saat merayap perlahan hingga mencapai Kota Shangri-La, hati saya pun gembira luar biasa. Seakan saya telah berada di puncak gunung-gunung di Indonesia, seperti Gunung Sumbing, Gunung Lawu, Gunung Ceremai, Gunung Bawakaraeng.
Sejak pukul 06.30 saya mulai gowes dengan suhu udara sekitar 14 derajat celcius. Suhu yang dingin ini menjadi tantangan bagi saya yang terbiasa hidup di wilayah tropis. Pagi itu saya melengkapi diri dengan jas hujan dan jaket tipis untuk penahan dingin.
Mula-mula jalan yang saya lewati tidak terlalu dipadati kendaraan. Suasana ini bertambah menarik sebab di sepanjang perjalanan disuguhi pemandangan wilayah pegunungan yang menawan dan indah. Mengobati segala yang kelelahan yang dihadapi.
Akan tetapi, semakin ke depan arus lalu lintas dari arah yang berlawanan bertambah banyak dan padat. Badan jalan terus menyempit sehingga nyaris tidak ada ruang bagi pengguna sepeda. Beberapa kali saya terdesak ke pinggir.
Melihat kondisi ini, saya akhirnya memutuskan di kilometer 88 loading ke mobil pengiring. Menjelang Kota Shangri-La, situasi di jalan raya mulai nyaman untuk gowes, saya akhirnya kembali bersepeda. Rute ini saya hanya bersepeda sejauh 100 kilometer.
Shangri-La atau Xianggelia ini terletak di barat laut Provinsi Yunnan. Sesuai ketinggiannya, kota yang dulu bernama Zhongdian ini berada di wilayah pegunungan. Dalam bahasa Tibet, Shangri-La berarti tanah kesucian dan kedamaian.
Tradisi budaya, pakaian adat, kuliner dan tradisi-tradisi lainnya yang berkembang di Shangri-La sepenuhnya berasal dari Tibet. Tidak mengherankan, Shangri-La disebut sebagai wajah Tibet atau copy paste Tibet. Sharingri-La juga termasuk wilayah yang menawan, sebab dihiasi pegunungan salju Meili yang merupakan tanah suci umat Budha Tibet.
Shangri-La menjadi titik sentral dimana saya wajib melakukan aklimatisasi. Di sini, saya akan beristirahat selama kurang lebih tiga hari untuk penyesuaian tubuh terhadap ketinggian suatu wilayah, suhu, tekanan udara dan cuaca setempat.
Saya tidak akan melakukan aktivitas berat, sebab harus disiplin dalam proses aklimatisasi demi kesiapan fisik yang prima. Maklum, rute selanjutnya setelah China adalah menuju Nepal yang merupakan salah satu rute yang berat sehingga persiapan fisik harus benar-benar matang dan penuh perhitungan. Berat bukan semata-mata akan melewati pegunungan yang lebih tinggi lagi, tetapi juga suhu udara yang bertambah dingin. Kadang bisa di bawah nol derajat.
Lewati pegunungan
Sebetulnya “bercumbu” dengan tanjakan telah menjadi aktivitas rutin yang tiap hari dihadapi saat melakukan perjalanan di China. Pada Rabu, 23 Agustus 2023, misalnya, saat saya melanjutkan bersepeda dari kota Meng La menuju kota Jinghong sejauh 162 kilometer juga mulai melewati sejumlah gunung.
Mengingat jarak yang cukup jauh, saya memutuskan mengayuh sepeda pada hari itu mulai pukul 06.30. Meski demikian, hari masih gelap. Di China, saat ini hari terang baru terjadi setelah pukul 07.00.
Malam sebelumnya Kota Meng La diguyur hujan sangat deras dalam waktu relatif lama sehingga pagi itu udara terasa segar dan adem. Rute dari Meng La menuju Jinghong, saya melewati jalan yang beraspal mulus dan bersih. Jalan arteri nasional yang dilewati posisinya selalu bersebelahan dengan jalan tol. Kami juga sempat melewati dua jembatan dan dua terowongan yang bersambungan dengan total panjang sekitar 3 kilometer.
Dalam rute ini juga, saya melewati empat gunung sebelum masuk finis dimana ada sejumlah tanjakan yang kemudian disusul turunan panjang. Gunung pertama, puncaknya berada pada ketinggian 1.120 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Dua gunung berikutnya juga memiliki ketinggian rata-rata 1.300 mpdl. Gunung yang keempat agak pendek, dengan ketinggian tidak lebih dari 1.000 mdpl. Perjalanan tiap gunung berkisar 10-15 kilometer. Tetapi kemiringannya tidak lebih dari 11 derajat. Tidak ada jalan tanjakan di China yang kemiringannya melebihi 11 derajat.
Model jalan tanjakan seperti ini tergolong berkeselamatan. Model seperti ini mirip berlaku di Eropa. Ini yang berbeda dengan di Indonesia yang mana di wilayah tertentu kemiringan jalan berkisar 20-26 derajat.
Setelah itu, melewati jalan turunan yang cukup panjang, diselingibeberapa tanjakan dan turunan (rolling) pendek. Lokasi di finish berada pada ketinggian 630 mdpl.Total ketinggian (elevation gain) mencapai 1.980 meter.
Sekitar 30 kilometer menjelang masuk kota Jinghong sempat terjadi hujan lebat. Kami masuk finis pukul 19.30, tetapi hari masih sangat terang. Jinghong merupakan kota wisata. Indah sekali. Kota baru juga, mirip Singapura. Kehidupan berlangsung hingga larut malam. Jalan bagus sama sekali tidak berlubang.
Kami juga mencoba kuliner setempat. Uniknya, restoran di China bagian selatan, saat memesan makanan, para pengunjung yang langsung memilih bahan mentah dari makanan yang diinginkan. Setelah itu baru pengelola restoran memasak dan menyajikan kepada para pemesan.
Kebiasaan ini sama dengan yang terjadi di Laos bagian utara. Mungkin karena sama-sama berada di perbatasan sehingga sejumlah tradisi masyarakat setempat cenderung sama atau mirip sekalipun berbeda negara.
Perjalanan saya menuju wilayah tengah China ternyata merupakan masuk area pegunungan. Itu sebabnya pada Kamis, 24 Agustus 2023, rute Jinghong ke Puer sejauh 145 kilometer juga melewati sejumlah bukit dan gunung. Bayangkan, total ketinggian mencapai 2.110 meter.
Saya mengayuh sepeda mulai dari ketinggian 630 meter. Dua kali melewati gunung dengan jarak rata-rata setiap gunung kurang lebih 20 kilometer. Menanjak, lalu menurun, kemudian menanjak lagi, disusul turunan, setelah itu menanjak yang panjang.
Bahkan, jelang finis pun masih melewati jalan menanjak. Sungguh berat sekali. Saya tiba sekitar pukul 18.30, tetapi suasana masih terang benderang. Hari gelap umumnya mulai pukul 20.00.
Kota Puer berada pada ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut (mdpl). Indah sekali kota ini. Udaranya bersih, sejuk dan dingin.
Keesokan harinya dari Puer menuju kota Meizi juga lagi-lagi melewati tiga gunung juga. Satu gunung agak tinggi, sedangkan dua gunung lainnya relatif pendek dengan total ketinggian mencapai 1.572 meter. Kota Meizi berada pada ketinggian 1.050 mdpl.
Dalam jarak sejauh 118 kilometer itu, saya melewati jalan raya arteri yang mulus dan lebar. Setiap lajur mampu dilewati 4 kendaraan sekaligus yang searah. Meski demikian, yang belum tersedia jalur khusus sepeda. Ini tidak hanya terjadi pada rute ini, melainkan hampir di semua tempat, terutama yang saya lewati. Andaikata, satu jalur bisa dikhususkan untuk sepeda, maka akan membuat perjalanan di China pasti lebih menarik lagi
Meski melewati beberapa gunung dan bukit, tetapi kemiringan dibuat tidak lebih dari 11 derajat. Hal ini dilakukan demi mencegah kecelakaan lalu lintas. Apabila kemiringan jalan terlalu tinggi, maka berpotensi menimbulkan ganggungan mesin kendaraan yang memicu terjadi kecelakaan.
Ini yang berbeda dengan di Indonesia. Masih banyak titik yang memiliki kemiringan badan jalan hingga mencapai 26 derajat. Truk-truk besar yang mengangkut barang berat sering mengalami kecelakaan yang menelan korban jiwa, tetapi yang disalahkan hanya para pengemudi.
Dingin mulai menusuk
Dari Meizi, saya mengayuh menuju Jingdong. Kota ini lima kali lebih besar dari Meizi. Kota Jingdong berada pada ketinggian kurang lebih 1.200 mdpl. Jarak kedua kota mencapai 134 kilometer.
Rute ini tidak ada gunung yang dilewati, melainkan hanya bukit dengan kemiringan tanjakan rata-rata 4 persen. Perjalanan hari ini juga cukup nyaman, sebab tidak ada hujan.Cuaca pun cenderung mendung dengan diselingi gerimis.
Jalan yang ada berapal mulus, tetapi menjelang kota Jingdong badan jalan cenderung menyempit. Di kiri dan kanan jalan juga berdiri banyak permukiman. Bahkan, di titik tertentu rumah-rumah warga mendekat ke badan jalan.
Sama seperti di Indonesia, sampah masih menumpuk di sejumlah lokasi. Bahkan, sampah plastik, seperti botol selalu berserakan di tepi jalan. Saya sempat menyaksikan ada warga yang membuang sampah dalam kantong plastik di tepi jalan dari mobilnya. Fakta ini tentu bertolak belakang dengan kemewahan gedung-gedung yang ada di kota ini, seperti apartemen dan perumahan.
Dalam perjalanan di rute ini juga saya masih kesulitan mendapatkan kamar kecil di tempat umum. Kalau pun ada, kondisinya sangat memprihatinkan, sebab sepertinya tidak terurus dengan baik.
Hari berikutnya, saya bersepeda dari Jingdong menuju Nanjian. Jaraknya relatif pendek, hanya 109 kilometer. Akan tetapi, tantangan yang dihadapi cukup berat. Nanjian berada pada ketinggian sekitar 2.000 mdpl.
Saya memulai perjalanan pada pukul 06.30. Hari masih gelap. Cuacanya mendung dan berawan. Yang menarik adalah jalan yang saya lewati berada persis di sisi kanan Sungai Jinsha. Sedangkan di sisi kiri adalah deretan tebing-tebing terjal yang memanjang yang nyaris tidak ada permukiman.
Saat pertama kali merancang touring ini di Jakarta, saya sudah melihat rute Jingdong ke Nanjian dari google maps. Bayangan awal adalah kengerian, sebab melewati tebing-tebing terjang. Bersepeda di celah-celah bukit dan gunung. Tidak ada permukiman. Pasti sepi. Apakah saya cukup punya nyali untuk melewati rute ini?
Akan tetapi, saya tetap memutuskan untuk melewati rute ini. Ada rasa takut, tetapi timbul juga rasa penasaran. Malah semakin hari rasa penasaran itu jauh lebih kuat.
Setelah saya melewati rute ini, ternyata faktanya bertolak belakang. Rute ini sungguh menarik dan indah. Panoramanya luar biasa. Banyak sekali burung yang terbang dan terus-menerus berkicau dengan aneka warna suara. Pohonnya tebal dan tinggi sehingga terasa sangat sejuk.
Yang menarik lagi, pohon-pohon yang ada dirawat dengan sangat baik. Pemangkasan dilakukan dengan teratur dan terukur. Pohon-pohon selalu dirawat. Hutan ini benar-benar dijaga. Bahkan, di tengah hutan itu ada kawasan Botanical Garden. Singkat kata, rute ini sangat menarik. Membuat perjalanan naik turun gunung dan bukit tidak melelahkan.
Tidak jauh dari badan sungai dibangun jalan tol. Beberapa titik dibangun terowongan dalam gunung atau bukit untuk keperluan jalan bebas hambatan tersebut. Di China, banyak sekali terowongan yang dibangun. Pilihan ini dilakukan agar struktur tanah dari gunung atau bukit tetap terjaga. Tidak merusak ekosistem dan habitat pohon serta hewan.
Perjalanan ini hingga mencapai di ketinggian 2.100 mdpl. Setelah itu turun hingga di Kota Nanjian. Kota ini tertata bagus, rapi dan bersih. Badan jalannya lebar. Banyak trotoar dan pohon ditanam dimana-mana. Akan tetapi, belum semua masyarakatnya disiplin. Masih banyak yang menerobos di jalan. Saya tiba pukul 16.00 waktu setempat.
Pada 28 Agustus 2023, saya melanjutkan bersepeda dari Najian menuju Dali sejauh 110 kilometer dengan elevation gain mencapai 1.315 meter. Saat memulai gowes, cuaca mulai mendung, dan pada kilometer 10 mulai turun hujan. Cukup deras dan lama.
Saya tetap maju dan mengayuh sepeda. Hujan baru berhenti saat saya memasuki kilometer 50. Perjalanan tetap menanjak dengan suhu yang dingin. Udaranya terasa bersih. Kiri dan kanan jalan dihiasai aneka pohon yang tumbuh subur dan hijau.
Kayuhan hingga mencapai pada ketinggian 2.400 mdpl. Ini termasuk yang tertinggi selama perjalanan saya dari Jakarta. Beberapa kali angin bertiup cukup kencang. Tetapi begitu kecepatan angin berkurang, langsung terasa suhu dingin, sekitar 19 derajat celcius.
Dalam perjalanan ini, saya masih melewati sejumlah tebing tinggi yang berada di sisi kanan jalan. Tebing-tebing yang ada rawan longsor. Di kilometer 18 hingga kilometer 25, misalnya, ada beberapa titik badan jalan tertimbun longsor tipis yang mengganggu arus lalu lintas.
Menjelang sore, saya pun tiba di Dali. Kota ini berada pada ketinggian 2.000 mdpl dengan suhu udara sekitar 20 derajat celcius. Hampir setiap hari selalu terjadi gerimis. Hal ini lumrah terjadi di wilayah dataran tinggi. Di kota ini juga memiliki sebuah danau, yakni Danau Erhai yang memiliki panorama yang indah. Setiap tahun sekitar 40an juta wisatawan mengunjungi danau tersebut.
Yang unik dari masyarakat kota Dali adalah suka memelihara anjing. Hewan ini selalu ada di setiap rumah. Anjing yang ada selalu diikat agar tidak mengganggu warga lainnya.
Saya pun saat bersepeda di tengah kota Dali sempat beberapa kali digonggong anjing. Akan tetapi, karena anjing-anjing itu diikat sehingga sekalipun menggongong gowes tetap berlalu.
Saya mengayuh sepeda di wilayah China hingga 23 September 2023 mendatang. Setelah itu, melanjutkan perjalanan menuju Nepal. Di sana, tantangan yang dihadapi bakal lebih berat lagi. Ada tanjakan hingga di atas 4000 mdpl dengan suhu udara yang lebih dingin lagi.