Mengenang Paris Sekali Lagi
Saat itu masuk musim panas, kota Paris yang dipayungi langit biru cerah sedang ramai oleh kunjungan ribuan wisatawan. Wajar saja, karena di kota ini banyak bangunan monumental dan bersejarah untuk dinikmati pesonanya.
Perancis dengan keagungan bangunan arsitektural bersejarah, kuliner, karya seni, hingga warganya selalu menarik untuk dikisahkan. Siapa saja yang mengunjungi negara ini akan beromantisisme menikmati pengalaman yang selalu dikenang.
Romantisisme itu seperti ingin ditawarkan oleh Citroën. Melalui PT Indomobil Wahana Trada sebagai distributor Citroën serta Stellantis sebagai perusahaan yang menaungi Citroën, saat membawa Kompas dan rombongan jurnalis dari Indonesia ke Perancis untuk mencoba kendaraan terbaru mereka menjelajahi kota Paris dan menyusuri kota serta desa lain pada 17-20 Juli 2023 lalu. Citroën seperti ingin membangun kembali romantisismenya dengan Indonesia setelah terakhir kali perakitan Citroën di Indonesia terhenti pada 1994.
Saat itu masuk musim panas. Kota Paris yang dipayungi langit biru cerah sedang ramai oleh kunjungan ribuan wisatawan. Wajar saja, karena di Paris banyak bangunan monumental dan bersejarah untuk dinikmati pesonanya.
Tak ingin menghabiskan waktu di kota Paris saja bersama ribuan wisatawan, Stellantis dan PT Indomobil mengajak kami keluar sejenak dari hiruk-pikuk pusat kota menuju kota Évreux dengan jarak tempuh 118,2 kilometer. Rute perjalanan menuju kota Évreux tidak melalui jalan tol, melainkan melintasi kota-kota kecil dan perdesaan.
Sepanjang perjalanan melewati beberapa kota dan desa, seperti Évecquemont, Le Pecq, Saint Germain-en-Laye, Vaux-sur-Seine, Hardricourt, Vienne-en-Arthies, dan Chérence, Gasny, dan Giverny, kami disuguhi pemandangan bangunan dan rumah-rumah tua serta hamparan ladang gandum dan bunga matahari. Rasa kantuk di awal perjalanan pun hilang. Mata puas memandang panorama itu tanpa terhalang ribuan orang.
Jika punya waktu sejenak, silakan mampir di salah kota atau desa tersebut, misalnya Giverny. Di Giverny, tempat yang bisa dikunjungi adalah Taman Monet. Nama Monet merujuk pada seorang pelukis beraliran impresionisme bernama Oscar-Claude Monet.
Ia merupakan salah satu yang mengembangkan teknik baru dalam seni rupa dengan melukis berdasarkan efek-efek pantulan cahaya yang ditangkap mata, atau yang dikenal sekarang sebagai aliran impresionisme. Sebuah taman di Giverny itu kemudian menjadi inspirasi Monet untuk dilukis. Karya lukisan itu berjudul ”Le bassin aux Nymphéas” pada 1899.
Selain itu, di Giverny ada restoran Le Jardin de Plûmes yang bisa dikunjungi. Tidak sekadar menikmati sajian makanan, pengunjung bisa menikmati taman yang ditumbuhi berbagai bunga dan sayuran serta karya pematung metal bernama Jean Alexandre Delattre. Patung-patung yang berada di setiap sudut taman itu seperti menyatu dengan lingkungan sekitar sehingga tampak hidup.
Menyusuri Sungai Seine
Kembali ke hiruk-pikuk Paris. Setelah dua hari menginjak Perancis, akhirnya rasa penasaran terbayar saat bisa melihat Menara Eiffel dari dekat. Bahkan, kami berkesempatan naik ke atas menikmati senja kota Paris sembari menyantap hidangan di restoran Madame Brasserie.
Untuk naik ke atas menara rancangan Gustave Eiffel itu, pengunjung berbaris rapi karena ada pemeriksaan oleh petugas. Setelah diperiksa, pengunjung harus kembali antre masuk ke lift berdinding kaca sehingga bisa melihat konstruksi Menara Eiffel.
Di atas menara, pengunjung juga bisa menyaksikan pemutaran video dokumenter mengenai pembangunan menara yang selesai pada 1898 itu. Satu hal yang unik, Citroën pernah menggunakan menara ini sebagai papan iklan pada dekade 1925-1934 dan tercatat sebagai papan iklan tertinggi di dunia saat itu.
Jika ingin merasakan pengalaman lebih menyaksikan struktur Menara Eiffel dan pemandangan malam kota Paris, pengunjung bisa turun melalui 699 anak tangga.
Menikmati Paris dari Menara Eiffel semakin lengkap saat kami bisa melihat juga keindahan Paris melalui Sungai Seine dari perahu wisata. Sungai Seine membentang sepanjang 777 kilometer dari hulu di Dijon, Perancis bagian selatan, membelah Paris, menuju Kanal Inggris di Le Havre.
Perjalanan menyusuri Sungai Seine menggunakan perahu bernama Bateau Parisien seperti museum berjalan dengan menampilkan keindahan dan kemegahan mahakarya yang tercipta sejak berabad-abad silam.
Perhatian pun terbagi dua, antara menyantap hidangan di atas meja dan menyaksikan karya yang terpajang di pinggir Sungai Seine. Keduanya sama-sama tak boleh diabaikan karena sama-sama nikmat.
Sembari menikmati segelas anggur, terdengar suara alunan musik. Ada seorang perempuan bernyanyi.
Je m’baladais sur l’avenue, Le Coeur ouvert à l’inconnu…
Aux Champs-Elysees, aux Champs-Elysees, Au solei, sous la pluie,
à midi ou à minuit, Il y a tout ce que vous voulez aux Champs-Elysées...
Ternyata lagu itu dinyanyikan saat perahu melintasi Grand Palais des Champs-Elysées. Bangunan Grand Palais itu dibangun tahun 1897 sebagai persiapan penyelenggaraan Universal Exposition tahun 1900.
Begitu pula saat melewati Notre Dame de Paris, sang penyanyi melantunkan tembang ”Ave Maria”. Notre Dame, katedral bergaya gotik yang berada di Île de la Cité itu, didirikan pada 1163-1345. Gereja Notre Dame yang berarti ’Ibu Kita’ merujuk kepada Bunda Maria.
Sejak berdiri hingga saat ini, Gereja Notre Dame telah beberapa kali direstorasi karena berbagai peristiwa. Terakhir, gereja yang dibangun para era Raja Louis VII dan Paus Aleksander III itu terbakar pada 15 April 2019 silam. Saat ini perbaikan masih berlangsung.
Suara merdu sang penyanyi terus menemani pengunjung yang asyik menyaksikan deretan bangunan bersejarah nan megah, seperti Museum Orsay, Museum Louvre, Asemblée Nationale, dan jembatan bersejarah yang melintang di atas Sungai Seine.
Di tepi Sungai Seine tidak hanya berdiri bangunan megah, tetapi juga ada ruang terbuka. Di beberapa titik berjejer pepohonan, taman kecil, dan instalasi ruang. Di situ banyak warga duduk menghadap Sungai Seine. Ada pula seorang ayah berdansa bersama putri kecilnya dan sepasang kakek-nenek bergandengan.
Tak terasa, kami sudah menghabiskan waktu selama tiga jam di atas perahu. Saat langit kota Paris mulai gelap, sejumlah mata langsung tertuju pada Menara Eiffel yang memantulkan cahaya kuning terang. Pertunjukan belum selesai. Seorang pramusaji memberi saran untuk menuju dek belakang agar bisa melihat Menara Eiffel secara jelas.
Menara Eiffel tampak anggun. Mereka yang berada di dek perahu pun mengabadikan kemilau Menara Eiffel melalui kamera telepon seluler sebelum perahu berlabuh. Setelah puas, kami kembali ke dalam bersiap meninggalkan kapal.
Sebelum meninggalkan kapal, Kompas menghampiri seorang pramusaji untuk mengucapkan terima kasih dan keramahannya. Pramusaji bernama Cissé itu membalas ucapan terima kasih dengan senyum dan meminta kami untuk datang kembali.
Percakapan kecil berlanjut, ia bertanya asal kami. ”Mon amie... s’il vous plait (teman saya, silakan),” katanya.
Hidangan penutup
Keramahan serupa juga kami terima saat mampir ke restoran kecil bernama Le Pergolèse di Rue Pergolèse (Jalan Pergolèse). Saat masuk ke dalam, tiga pramusaji dan seorang chef menyambut kami dengan hangat.
Sembari menunggu sang chef menyiapkan tujuh course hidangan fine dining, kami berbincang ringan di teras kecil samping restoran dengan segelas sampanye dan aneka camilan manis serta kue selamat datang.
Tak lama, kami diminta masuk karena hidangan pertama segera hadir di atas meja. Tiga pramusaji lalu menghidangkan makanan itu dan mempersilakan kami menyantapnya.
Satu suapan sup berwarna hijau berisi kacang polong dan kaviar masuk ke mulut begitu lembut dan creamy. Makan perlahan, suapan kedua hingga kelima, hanya bisa menganggukkan kepala menikmati sup itu. Spontan sebuah kata terucap, lezat. Seorang pramusaji tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
Hidangan utama kedua berupa ikan dan hidangan ketiga berupa daging domba tersaji bergantian di atas meja. Dua hidangan itu pun menggoyang lidah. Terutama hidangan ketiga, meski yang dimasak medium rare atau setengah matang, daging domba itu sama sekali tidak bau prengus. Setiap potongan daging yang dipadukan dengan campuran saus jahe dan lemon itu begitu empuk, flavorful, dan juicy di mulut.
Menu itu adalah velouté de petits pois glacé mousse à l'oignon blanc, quenelle de caviar; aiguillette de Saint-Pierre meunière; dan cylindre d'agneau parfumé.
Pramusajikemudian menuju dapur dan tak lama keluar kembali bersama pramusaji lain membawa sajian keenam, déclinasion de fruits rouge, dan hidangan ketujuh, café ou infusion-mignardises. Di belakang mereka, sang chef menyusul dan menghampiri meja kami. Ia memperkenalkan diri, lalu meminta komentar terkait masakannya. Semua sepakat bahwa sajiannya lezat dan kami menikmatinya.
Nama chef itu Stéphane Gaborieau, yang merupakan chef bintang di Perancis.Stéphane mengenakan pakaian dengankerah yangmelingkar bendera Perancis berwarna biru, putih, dan merah. Kerah dengan bendera Perancis itu hanya bisa didapat jika seorang chef mendapatkan gelar bergengsi Meilleur Ouvrier de France (MOF) atau chef terbaik di Perancis. Stéphane mendapatkan gelar MOF itu pada 2004. Chef yang dinobatkan MOF akan mendapatkan medali penghargaan MOF Honoris Causa oleh Presiden Perancis di Sorbonne. Lalu, pada 2007 Stéphane membuka restoran Le Pergolèse dan mendapat bintang Michelin.
Baca juga : Di Ujung Dingin Paris
Sebuah kejutan kecil untuk Kompas karena mendapatkan semacam kartu pos yang ditulis langsung oleh Stéphane disertai cap stempel bertulis ”Meilleur Ouvrier de France 2004, Stéphane Gaborieau Cuisiner”. Stéphane memegang dadanya dan sedikit membungkuk membalas ungkapan terima kasih dari Kompas.
Tujuh course hidangan fine dining di restoran Le Pergolèse menjadi menu penutup perjalanan kami di Perancis. Banyak cara untuk menikmati pengalaman di Paris. Tidak hanya melalui bangunan dan kulinernya, namun juga interaksi dengan warganya, seperti Cissé dan Stéphane. Pengalaman itu menjadi kisah romantis yang akan terus dikenang.
Merci beaucoup et a bientôt, France....