Di Ujung Dingin Paris...
Walau sudah ribuan, bahkan mungkin jutaan kali dikisahkan, cerita tentang Paris seolah tak pernah habis dan membosankan. Seseorang tak akan cukup mengunjungi kota ini sekali untuk mencecap semua keindahan dan ceritanya.
Akhir Februari lalu, musim dingin telah mencapai ujungnya di Paris. Walau hawa dingin masih cukup menusuk kulit, kehangatan romantisme ”Kota Cahaya” itu masih memeluk erat tamu-tamunya. Daya pikat Paris memang tak pernah padam….
Walau sudah ribuan, bahkan mungkin jutaan kali dikisahkan, cerita tentang Paris seolah tak pernah habis dan membosankan. Seseorang tak akan cukup mengunjungi kota ini sekali untuk mencecap semua keindahan dan ceritanya.
Lima belas tahun lalu, dalam kunjungan pertama ke Paris, bagaikan perkenalan awal saja. Ibaratnya, sekadar kulit terluarnya pun belum dikupas tuntas.
Kini, pada kunjungan kedua, Kompas mendapat kesempatan mengenal lebih jauh berbagai sudut kota ini. Terima kasih kepada Christophe Deverly, teman baru yang menemani kami bertiga rombongan undangan Lexus Indonesia, dari sejak mendarat di Bandara Charles de Gaulle, hingga tiba saatnya bagi kami meninggalkan Paris.
Sambil berkeliling kota di dalam Lexus NX-nya, Christophe menjelaskan secara gamblang tentang Paris yang belum kami ketahui sebelumnya. ”Ini terowongan tempat Lady Diana tewas karena kecelakaan mobil pada 1997. Lihat, itu pilar yang ditabrak mobilnya,” ucap Christophe saat kami memasuki terowongan Pont de l’Alma dalam perjalanan menuju pusat kota Paris, Rabu (22/2/2023) siang. Ada gambar wajah Putri Diana tergores di salah satu pilar, mengingatkan pada peristiwa tragis yang sepertinya akan dikenang selamanya itu.
Walau tragis, ada kenangan romantis dalam peristiwa itu. Diana tewas bersama kekasihnya, Dodi Al Fayed, setelah pulang menghabiskan malam dari sebuah acara. Ya, romantisme memang sangat kental membalut Paris.
Seperti saat kami tiba di kawasan Montmartre, Selasa sore itu. Halaman gereja Sacre Coeur tampak dipenuhi orang. Walau hawa dingin menusuk dan hujan rintik-rintik turun, aliran panjang mengular untuk masuk ke gereja yang halamannya menjadi lokasi duel pamungkas John Wick dalam John Wick Chapter 4 itu.
Gembok cinta
Namun bukan memori soal John Wick yang mengusik, melainkan pagar halaman gereja yang dipenuhi ”gembok cinta”. Para pasangan romantis membeli atau membawa gembok, lalu menuliskan nama mereka di gembok itu, sebelum menguncinya di pagar halaman gereja dan membuang anak kuncinya. Simbol harapan akan cinta mereka selamanya terkunci dalam ikatan suci.
Dulu, tradisi mengunci gembok cinta ini marak di jembatan Pont des Arts yang melintang di atas Sungai Seine. Pada 2014, surat kabar Le Monde memperkirakan ada 700.000 gembok yang dicantelkan di pagar jembatan itu. Hal itu memunculkan kekhawatiran tumpukan gembok itu akan membahayakan struktur jembatan sehingga Pemerintah Kota Paris mencoba mencegah turis memasang gembok seperti itu lagi.
Para pemasang gembok cinta ini kemudian mencari lokasi-lokasi lain untuk mencantelkan gemboknya. Rupaya pagar halaman Sacre Coeur ini menjadi salah satunya.
Selain pagar bergembok cinta itu, ada satu lagi daya tarik romantis kawasan elite Paris ini menurut Christophe. Itu adalah sebuah restoran kecil di salah satu sudut gang-gang sempit di Montmartre yang menjadi salah satu setting film serial Emily in Paris yang tayang di Netflix. Restoran bernama La Maison Rose yang dicat warna merah muda itu menjadi salah satu lokasi favorit turis berfoto bersama atau melakukan swafoto.
Restoran ini kecil saja, hanya ada beberapa meja di dalam ruangannya yang relatif sempit. Tanpa imajinasi akan drama komedi romantis itu, mungkin semuanya biasa-biasa saja di sana. Walau harus diakui La Maison Rose menghidangkan cokelat panas yang begitu pas diseruput di tengah hawa mendung hari itu.
Baca juga: Kepingan Memori Salju Nagano
Seusai check-in di hotel, pihak Lexus Indonesia mengajak kami menikmati makan malam istimewa. Makan malam ini diselenggarakan di salah satu restoran mewah yang berada di dalam Menara Eiffel. Andai kami datang dengan pasangan masing-masing, makan malam di Restoran Jules Verne itu bakal menjadi acara yang sangat romantis. Betapa tidak, kami makan tepat di jantung penanda kota paling terkenal di dunia itu, sambil menikmati 7 course hidangan fine dining dengan pemandangan kota Paris dan Sungai Seine membentang di luar jendela.
Selain bisa mencicipi hidangan berkualitas di restoran tersebut, kami juga mendapat kesempatan melihat konstruksi Menara Eiffel dari sangat dekat. Sebab, lift menuju restoran itu berdinding kaca sehingga terlihat konstruksi menara setinggi 300 meter itu saat kami mendaki ke lantai dua.
Keesokan harinya, jadwal mengeliling kota Paris dengan helikopter terpaksa dibatalkan karena kondisi cuaca tidak mendukung. Masih dengan mendung menggayut dan suhu udara di kisaran 10-11 derajat celsius, kami kembali berkeliling Paris mencari tempat alternatif untuk melancong.
Masih dengan mendung menggayut dan suhu udara di kisaran 10-11 derajat celsius, kami kembali berkeliling Paris mencari tempat alternatif untuk melancong.
Musee d’Orsay menjadi tujuan berikutnya. Terus terang Kompas penasaran dengan museum yang menggunakan gedung bekas stasiun kereta api ini. Betapa tidak, di dalamnya tersimpan koleksi lukisan impresionisme dari para maestro aliran ini, seperti Claude Monet, Edouard Manet, Degas, Renoir, Cezanne, Gauguin, Van Gogh, dan masih banyak lagi.
Namun sekali lagi pil kekecewaan harus ditelan kembali, karena untuk memasuki museum itu sebaiknya memesan tiket lebih dulu. Jika tidak, kita harus masuk ke dalam antrean calon pengunjung yang sangat panjang untuk membeli tiket. Waktu bisa habis hanya untuk antre. ”Padahal untuk menikmati isi museum ini, paling sedikit dibutuhkan waktu dua jam penuh,” ujar Christophe.
Tak jadi ke Musee d’Orsay, kami akhirnya bergerak ke tempat makan siang. Kami sudah dipesankan tempat di restoran bernama Le Relais de L’Entrecite. Yang luar biasa, saat kami tiba di sana menjelang pukul 12 siang, restoran itu belum buka, tapi antrean pengunjungnya sudah sangat panjang. Rasa lapar dan penasaran bergumul untuk tak sabar segera mencicipi hidangan restoran laris ini.
Tiba giliran restoran dibuka, kami segera mencari tempat duduk dekat jendela. Ternyata restoran ini menyajikan steak daging sapi yang dikucuri kuah semacam kari yang membuat rasa steaknya lebih gurih.
Baca juga: Ziarah ke Ngarai Agung
Seusai makan siang ini, salah satu teman di rombongan berkeras ingin melihat stadion Parc des Princes, markas klub sepak bola Paris Saint Germain (PSG). Perjalanan selama beberapa menit menyusuri tepian Sungai Seine membawa kami ke stadion yang didominasi warna biru itu. Ukuran stadionnya tidak terlalu besar, tak sebesar nama klub PSG yang termasyhur.
Di atas pintu gerbang utama, terbentang gambar para pemain kunci klub sepak bola itu. Gambar Lionel Messi, Kylian Mbappe, dan Neymar terlihat paling mencolok.
Kami menghabiskan satu jam lebih di stadion yang dalamnya sangat modern dan bersih itu. Kami diizinkan turun ke tepi lapangan, tetapi semua pengunjung dilarang menginjak rumput lapangan yang begitu hijau, rapi, dan bersih. Wajar saja, mengingat jejak kaki para turis bisa merusak lapangan rumput kualitas tinggi ini.
Tujuan ”wajib”
Selesai menikmati stadion ini sekaligus membeli beberapa suvenir resmi klub, kami meninggalkan stadion itu menuju Museum Louvre, salah satu titik kunjungan ”wajib” saat di Paris. Kala itu kami ditemani pemandu wisata yang sudah cukup berumur. Nicole Koch namanya. Meski sudah berumur, gerak-geriknya sangat lincah dan bahasa Indonesia-nya bagus sekali.
Namun karena waktu yang terbatas, kami tidak bisa menjelajah museum besar itu sampai ke detailnya. Seperti turis pada umumnya, kami langsung diajak ke ruangan tempat lukisan Monalisa karya Leonardo da Vinci dipasang. Ruangan itu luar biasa penuh sehingga pengunjung harus antre mengular untuk melihat dari dekat lukisan termasyhur itu.
Nicole bercerita, begitu besarnya Louvre dan begitu banyak koleksinya, seorang turis asal China pernah menggunakan jasanya untuk menjelajahi Louvre sepuasnya. ”Saya disewa selama seminggu penuh untuk menemaninya menjelajahi Louvre. Itu pun belum semua koleksi bisa dilihat,” papar perempuan ramah ini.
Karena waktu yang sempit, kami terpaksa meninggalkan Louvre setelah melihat Monalisa. Kami harus segera menuju tepian Seine untuk masuk ke salah satu perahu wisata di sungai tersebut sekaligus menikmati makan malam.
Bateau Parisien, nama perahu wisata yang kami tumpangi, mulai bergerak menyusuri Seine dari pangkalannya di dekat Menara Eiffel ke arah timur hingga tiba di pulau kecil di tengah sungai tempat gereja Notre Dame de Paris berdiri megah. Saat ini gereja itu masih dalam perbaikan setelah terbakar pada 15 April 2019.
Entah apa yang dia pikirkan melihat para turis tertawa-tawa gembira di dalam restoran terapung itu.
Kembali kami mengalami pengalaman romantis makan malam sambil menyusuri Sungai Seine tersebut. Di salah satu tempat, terlihat seorang gadis sedang melamun sambil melihat ke dalam perahu wisata yang kami tumpangi. Entah apa yang dia pikirkan melihat para turis tertawa-tawa gembira di dalam restoran terapung itu.
Walau tempat-tempat yang kami tuju masih ”standar Paris”, tetap saja perjalanan ini membawa memori tersendiri akan Paris. Namun, masih banyak sisi Paris yang belum terjelajahi dalam dua hari ini. Semoga suatu saat bisa kembali mengunjungi Kota Cahaya itu dan menikmatinya secara lebih mendalam. Au revoir, Paris…!