Hampir semua warga Digo kini lahir pascaperistiwa pengungsian tahun 1984 sehingga mereka sudah tak tahu lagi sejarah pengungsiannya. Mereka kini hanya bisa bertanya, kenapa di daerahnya tak ada sekolah atau jalan.
Oleh
Agustinus Wibowo
·4 menit baca
AGUSTINUS WIBOWO
Meniti pohon berlumut saat perjalanan menuju Digo.
Saya banyak mendengar tentang Digo, sebuah kamp kecil pengungsi OPM yang terletak di tengah hutan, tepat di perbatasan Republik Indonesia-Papua Niugini. Para pengungsi terdampar di tempat itu karena diusir oleh penduduk desa PNG yang semula menampung mereka.
Untuk mencapai Digo, saya berangkat dari Tarakbits, desa PNG yang berjarak sekitar 10 kilometer dari garis perbatasan Indonesia. Saya ditemani Felix Ahole. Tingginya hanya sekitar 140 sentimeter. Orang Yomgom penghuni Tarakbits memang umumnya berpostur pendek.
”Saya sebenarnya juga orang Indonesia,” kata Papa Felix dalam bahasa Inggris. ”Saya lahir di sana. Paman kami menjadi komandan tentara di Koramil Kabupaten Boven Digoel.”
Kami harus melewati tiga sungai besar dan belasan sungai kecil. Sungai besar pertama sedalam pinggang dan sungai besar kedua sedalam dada.
AGUSTINUS WIBOWO
Perjalanan menuju Digo.
Tengah hari, kami sampai di sebuah tanah lapang di puncak bukit. Papa Felix mengatakan, itulah letak batas antara Indonesia dan PNG. Di atas peta, garis batas itu terlihat tegas dan mutlak. Namun, kenyataannya, ada di tengah hutan rimba dan alam liar, nyaris tanpa penanda.
Kalau Digo berada sesudah garis ini, berarti kamp pengungsi OPM itu berada di dalam wilayah Indonesia. Ini aneh, karena bukankah mereka mengungsi ke PNG demi melarikan diri dari Indonesia?
Sungai besar ketiga adalah rintangan terberat. Kami menuruni tebing yang sangat terjal setinggi lima meter, lalu menyusuri sungai lebar sedalam pinggang, yang airnya tampak jernih, tetapi bebatuan di dasarnya penuh lumut. Setelah itu kami harus menyeberangi satu batang pohon berlumut yang berfungsi sebagai jembatan menuju bukit terjal berikutnya.
Setelah itu, masih ada empat sungai kecil lagi, juga lautan rawa sagu yang lembek dan lengket. Ketika matahari meredup, dan kami baru saja menuruni satu bukit terjal, Felix menuding rumah gubuk di puncak bukit berikutnya. ”Digo. Kita sudah sampai,” katanya.
AGUSTINUS WIBOWO
Rumah di Digo
Di puncak bukit hijau, rumah-rumah panggung bertebaran di atas tanah lapang yang tanahnya berwarna merah. Semua rumah terbuat dari kayu pohon yang kasar dan atapnya dari daun sagu.
Anak-anak berlarian di lapangan. Mereka semua bertubuh kurus dan berperut buncit karena kurang gizi. Banyak dari bocah itu menderita penyakit kulit yang parah.
Kami disambut Filipus Marapyap. Lelaki kurus dan berkumis pekat itu mengajak saya masuk ke rumah panggungnya yang nyaris tanpa perkakas. Bilah kayu dan kulit pohon sagu yang jadi lantai rumahnya pun terlalu sedikit sehingga banyak lubang di sana sini. Di atas bilah-bilah inilah mereka tidur, tanpa matras dan tanpa alas.
Filipus lahir tahun 1975, termasuk orang paling tua di kamp ini. Pada tahun 1984, dia ikut orangtuanya dalam gelombang besar pengungsian orang Papua ke PNG. Kampung aslinya di Kerengo di sisi Indonesia, dan dia termasuk suku Wengwap yang berbahasa Are.
”Waktu itu kami takut tentara Indonesia. Mereka punya senjata. Jadi, kita undur (mengungsi) ke sini,” kata Filipus.
Pengungsian mereka semula disambut baik orang PNG, yang menganggap mereka saudara sesama bangsa Melanesia. Namun, hanya tiga tahun mereka tinggal di Tarakbits, perselisihan dengan penduduk asli memanas soal perebutan tanah dan makanan. Akhirnya mereka mundur lagi ke barat, hingga ke tengah hutan ini, tanpa menyadari bahwa mereka telah kembali lagi ke wilayah Indonesia, sekitar 5 kilometer dari garis perbatasan.
Walaupun sudah ada di tanah Indonesia, akses yang paling mudah dari Digo adalah ke PNG. Namun, ini pun tidak terlalu mudah. Mereka perlu berjalan kaki satu hari untuk sampai di Tarakbits, dan dari sana berjalan kaki satu hari lagi sampai Ningerum, tempat beradanya pasar terdekat. Di sanalah mereka bisa menjual babi dan mendapatkan uang. Perjalanan yang terlalu jauh dan berbahaya membuat mereka tak bisa sering melakukannya.
AGUSTINUS WIBOWO
Kemiskinan mewarnai kehidupan di Digo
Itulah sebabnya warga Digo tak punya uang. Mereka tidak sanggup membeli gula, garam, teh, atau kopi. Mereka juga tidak pernah mandi pakai sabun. Lebih parah lagi, sungai mereka tercemar limbah pertambangan sehingga mereka tidak bisa makan ikan. Makanan mereka cuma pisang mentah, sagu, keladi, ubi rambat, yang bisa mereka ambil langsung dari alam.
Akses pelayanan kesehatan yang sangat sulit membuat penduduk kamp ini banyak yang mati pada usia muda. Filipus sendiri pernah kehilangan seorang anak berusia empat bulan karena terkena malaria.
Jarang orang Digo yang bisa hidup melewati usia 40 tahun. Hampir semua warga Digo sekarang lahir pascaperistiwa pengungsian akbar tahun 1984 sehingga mereka sudah tak tahu lagi sejarah pengungsiannya. Mereka kini hanya bisa bertanya-tanya: kenapa di daerahnya tidak ada sekolah atau jalan? Kenapa Pemerintah PNG tidak membangun apa-apa?
”Kalian orang PNG atau Indonesia?” tanya saya.
”Kami ada di tengah, jadi bebas mau ikut siapa. Kalau Indonesia bangun proyek sampai ke sini, kami ikut Indonesia. Kalau PNG yang bangun, kami ikut PNG,” jawab Filipus.
Mendengar itu, Papa Felix yang menemani saya menyeletuk, ”Itu ibarat seorang istri punya dua suami!”