Mayoritas pengungsi dari Papua Indonesia yang tinggal di kamp-kamp sepanjang perbatasan Indonesia-Papua Niugini adalah manusia tanpa status, tanpa perlindungan hukum, dan tanpa jaminan sosial.
Oleh
Agustinus Wibowo
·4 menit baca
AGUSTINUS WIBOWO
Suasana misa di Gereja Katolik Kiunga, Papua, Niugini. Kompleks tempat itu juga dipakai untuk pertemuan antara Pemerintah Indonesia dan pengungsi Papua Indonesia di PNG.
Ketika saya di Kiunga, kebetulan datang rombongan Pemerintah Provinsi Papua yang didampingi Konsulat Jenderal Indonesia di Vanimo. Mereka berupaya membujuk para pengungsi Papua di Kiunga untuk pulang ke Indonesia.
Saya diundang Pastor Masjon Kenedy dari Flores untuk menyaksikan pertemuan antara Pemerintah Indonesia dengan sejumlah warga pengungsi Papua itu yang diselenggarakan di Gereja Katolik Kiunga.
Para pengungsi ini manusia tanpa identitas. Sebagian besar dari mereka bermigrasi dari Papua Indonesia ke PNG pada tahun 1984. Namun, tidak semua dari mereka adalah aktivis OPM. Banyak dari mereka yang juga tidak mengerti motif politik kenapa mereka harus hidup di PNG dengan status yang tidak jelas.
Hanya ada satu kamp resmi pengungsi yang diakui PBB, yaitu di Iowara. Sedangkan mayoritas pengungsi, yang tinggal di kamp-kamp sepanjang perbatasan, adalah manusia tanpa status, tanpa perlindungan hukum, tanpa jaminan sosial.
Dalam pertemuan itu, Konsul Indonesia Jahar Gultom pertama-tama mengucapkan terima kasih kepada Uskup Gilles, orang Perancis yang sudah 43 tahun ini melakukan pelayanan di Western Province. ”Saya menghormati Anda, karena Anda juga memperhatikan orang-orang kami di Kiunga. Dan terima kasih kepada Papua Niugini, yang sudah memperlakukan orang-orang kami dengan baik,” kata Konsul.
Konsul menyebut para pengungsi itu sebagai ”orang kami”, sebagai orang Indonesia sendiri. Dia juga mengatakan, Kabupaten Pegunungan Bintang sudah membangun sejumlah infrastruktur dan siap menyambut 5.000 mantan pengungsi yang datang dari sisi PNG. Dia mendengar laporan, banyak pengungsi yang ingin pulang karena ingin dikuburkan di kampung halaman Papua.
AGUSTINUS WIBOWO
Suasana pertemuan Pemerintah Indonesia dengan pengungsi Papua Indonesia di Kiunga, PNG.
”Sekarang di Indonesia kami sudah punya perspektif baru dan visi baru. Kami sudah menerapkan Otonomi Khusus, Saya harap Anda bisa membantu kami untuk memberikan pemahaman bagi orang-orang kami di sini,” lanjut Konsul.
”Sebagai Gereja, kami tidak bisa terlibat dalam hal politik, kami hanya bisa membantu dari sisi sosial. Untuk repatriasi, itu kebebasan pilihan mereka masing-masing,” balas Uskup sambil tersenyum lembut.
Para pengungsi Papua ini mendapat tiga opsi: dipulangkan ke Indonesia, tinggal di kamp pengungsi Iowara, atau berintegrasi dengan penduduk lokal PNG.
”Posisi Indonesia adalah jika mereka mau pulang, kami akan menerima dengan tangan terbuka,” kata Konsul.
AGUSTINUS WIBOWO
Sebagian peserta pertemuan antara Pemerintah Indonesia dan pengungsi Papua Indonesia di Kiunga, PNG.
Seorang peserta pertemuan ini adalah lelaki muda berumur 24 tahun bernama Steven Dude. Dia berdiri dari duduknya, dan dengan berapi-api berkata, ”Tanah adalah ibu kami, kami ingin pulang tetapi kami mesti mengerti situasi di sana. Kami takut ras kami akan musnah, apakah ada cara untuk menjaga identitas kami dalam otonomi?”
Konsul Indonesia berkata, ”Kamu harus lihat Papua sendiri. Kami akan fasilitasi kamu untuk berangkat ke sana.”
”Semua berita tentang Indonesia adalah negatif. Ketakutan masih ada bersama kami.” Steven berkata semakin berapi-api.
Pada saat inilah, seorang pejabat perempuan dari Provinsi Papua angkat bicara. Dia adalah Kepala Badan Perbatasan dan Kerja Sama Luar Negeri Provinsi Papua Suzana Wanggai. ”Kamu pernah dengar tentang Wanggai? Bapak Thomas Wanggai? Itu Bapa Tua saya.” Suaran Ibu Suzana bergetar seperti menahan tangis.
AGUSTINUS WIBOWO
Pertemuan antara Pemerintah Indonesia dan pengungsi Papua Indonesia di Kiunga, PNG.
Pada 14 Desember 1988, sekitar 60 orang berkumpul di stadion Mandala, Jayapura, untuk menghadiri upacara pembacaan ”Proklamasi OPM”. Yang dikibarkan bukan bendera Bintang Kejora, melainkan sebuah bendera baru rancangan si pembaca proklamasi, Thomas Wanggai. Dia memproklamasikan berdirinya negara ”Melanesia Barat”.
Thomas Wanggai adalah pendukung OPM yang berpendidikan paling tinggi saat itu, meraih gelar doktor di bidang Hukum dan Administrasi Publik dari Jepang dan AS. Wanggai kemudian divonis dipenjara 20 tahun dan meninggal di penjara tahun 1996.
”Tapi Indonesia sekarang berubah. Sekarang, saya, saya Suzana Wanggai,”—dia memegang dadanya sendiri—”Ayah saya adalah Wanggai dari Desa Ambai. Saya adalah Wanggai”—dia memegang rambutnya yang keriting—”Saya Wanggai”—dia menunjuk pada kulitnya yang agak hitam—”Seperti kamu. Kamu orang Papua, saya orang Papua.”
Mata Ibu Suzana semakin berkaca-kaca. ”Saya tidak mau membujuk kamu, karena itu pilihanmu. Hidup adalah pilihan. Tetapi saya Wanggai. Semua Wanggai pernah masuk daftar hitam Pemerintah Indonesia.”
Dia menelan ludah sejenak. ”Tapi itu dulu. Sekarang sudah berubah. Tahun 2001 kita mendapat otonomi khusus. So, adik sayang, saya kasih tahu, kita sekarang sudah dapat otonomi khusus. Saya sekarang memang bersama Pemerintah Indonesia. Tetapi lihatlah saya sebagai kakak.” Suzana berkata sambil terus mengusap air matanya, hingga akhirnya dia tak sanggup berkata-kata lagi.
Pertemuan ditutup. Sebagian pulang dengan wajah berseri-seri dan mengklaim pertemuan ini sukses besar. Sebagian menaruh harap akan perubahan yang indah. Sebagian lagi bersungut-sungut, mengatakan ini semua cuma tipuan.