Pengungsi dari Papua Indonesia yang ada di Papua Niugini dilarang mengekspresikan pendapat tentang gerakan Papua merdeka. Ini karena Pemerintah Papua Niugini mendukung kedaulatan Indonesia atas Papua.
Oleh
Agustinus Wibowo
·4 menit baca
AGUSTINUS WIBOWO
Papan peringatan bahaya AIDS di Kiunga, Papua Niugini.
Sudah dua minggu saya di Kiunga, menggali kisah kehidupan para pengungsi dari West Papua, atau Papua Indonesia, yang bermukim di Papua Niugini. Namun, aktivitas saya telah memancing kecurigaan. Pernah saya dihampiri seorang pemabuk, yang meneriaki saya dalam bahasa Indonesia bahwa saya mata-mata Indonesia.
Pastor Masjon Kenedy yang berasal dari Flores mengatakan, ”Jangankan kamu yang baru datang, kami yang sudah bekerja melayani mereka bertahun-tahun pun terkadang masih dicurigai.”
Pastor Masjon menceritakan, pernah seorang pastor mengunjungi kamp pengungsi West Papua di Iowara untuk melakukan penelitian tentang kehidupan para pengungsi. Namun, dia justru dimusuhi, kamera dan komputernya dirampas dan dirusak sehingga semua hasil kerjanya sia-sia.
AGUSTINUS WIBOWO
Pastor Masjon Kenedy.
Saya membutuhkan bantuan pastor Indonesia untuk memperkenalkan saya kepada para pengungsi agar saya bisa mendapat kepercayaan mereka.
Lelaki bernama Eduardus Nenggen itu berusia 66 tahun. Dia dari daerah Tanahmerah, Kabupaten Boven Digoel. Dia melakukan perjalanan melintas batas ini pada 1984 bersama keluarga dan hampir semua warga sedesanya. Di PNG, mereka ditampung di desa-desa perbatasan, seperti Yogi, Dome, dan Komokpin.
”Mengapa harus tetap hidup di perbatasan, padahal sangat sulit?” saya bertanya.
”Kami harus tetap tinggal di sini untuk mempertahankan perjuangan. Apabila perbatasan ini kosong dari orang-orang kami, perjuangan kami habis, dan Papua tak akan merdeka.”
Eduardus merasa bahwa seluruh hidupnya telah diabdikan untuk perjuangan kemerdekaan ini. Namun, lama-lama dia berpikir, keadaan organisasi semakin tidak jelas. Bagaimana mungkin bisa merdeka kalau tetap bodoh dan terbelakang? Anak-anak pengungsi pun tak boleh masuk sekolah PNG.
”Tidak mungkin kita membangun negara dengan orang buta huruf. Jadi, sambil berjuang, pendidikan harus jalan terus,” tutur Eduardus. Sejak 1993, ia lalu mengajar anak-anak pengungsi supaya bisa baca tulis.
AGUSTINUS WIBOWO
Surat pernyataan Eduardus saat masuk ke kamp pengungsi resmi PBB di Iowara.
Tahun 1997, Eduardus pindah ke kamp pengungsi resmi PBB di Iowara supaya anaknya bisa sekolah. Hanya di Iowara ada sekolah bagi anak-anak pengungsi. Namun, sebelum masuk kamp, pengungsi diwajibkan menandatangani persetujuan untuk mematuhi persyaratan ”tidak terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas OPM, termasuk memegang posisi militer dan sipil dalam organisasi itu.”
Pemerintah PNG mendukung kedaulatan Indonesia atas Papua. ”Itulah sebabnya di PNG kami tak boleh mengekspresikan pendapat tentang gerakan Papua merdeka,” uarnya.
Dari kata-katanya yang lembut penuh kepastian, tidak terdengar sama sekali nada ratapan dalam bicara Eduardus. ”Dalam diri kami ada penyakit,” ucapnya.
”Penyakit?” saya bertanya.
”Ini adalah penyakit semua pengungsi. Penyakit kami satu: Merdeka. Kami ingin kemerdekaan seperti kalian!” katanya menatap saya.
AGUSTINUS WIBOWO
Saferus Dedi.
Eduardus mengajak saya pergi ke kampung tinggalnya di Kiunga. Setelah berganti dua kendaraan umum, kami berjalan di bawah terik matahari. Perkampungan Michael adalah daerah kumuh yang sering tergenang air rawa.
Di sini, sebagian besar penghuninya adalah pengungsi, dan mereka semua menyapa dengan penuh hormat kepada Eduardus dalam bahasa Inggris atau Melayu. Setiap kali ada yang bertanya tentang siapa saya, Eduardus selalu mengatakan, ”Dia orang China,” atau ”Dia orang Filipina.” Dia tak menyebut saya orang Indonesia demi melindungi saya.
Perjalanan kami diikuti seorang lelaki yang lebih muda, mengenakan kaus merah bergambar bendera PNG, dan menyelempangkan tas yang juga bergambar bendera PNG. Lelaki ini lalu mengajak Eduardus dan saya pergi ke rumahnya.
”Menurut kisah penciptaan, orang hitam berasal dari Pulau Papua, sedangkan orang putih bukan dari Papua. Orang hitam sudah sejak dulu merdeka lewat alam, dan kami berdikari lewat ladang, kapak, batu api, dan lainnya. Kemudian orang putih datang dan merusak alam kami, memasukkan politik, menjajah kami. Inilah kisah semua bangsa Melanesia,” kata lelaki bernama Saferus Dedi ini.
Saferus pernah menghadiri acara Dewan Melanesia yang diselenggarakan di kota Madang pada tahun 2004. Di hadapan utusan beberapa negara-negara bangsa Melanesia di Pasifik Selatan, Saferus menarikan sebuah tarian dari Papua.
Perjuangan generasi muda Papua, kata Saferus, berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi tua sudah berjuang angkat senjata dan begitu banyak yang mati dalam perjalanan pengungsian, dan sampai di PNG menjadi korban. ”Namun, kami generasi muda, kami tidak berjuang lewat kekerasan, tetapi lewat alam,” kata Saferus. Dia kemudian menambahkan dengan suara lirih, ”Manusia kecil, sedangkan alam berkuasa. Alam adalah Tuhan.”