Pasar Internasional (Bagian 53)
Garis batas telah menciptakan pemikiran dan gaya hidup yang berbeda. Itulah yang dirasakan Agustinus Wibowo saat berada di ”pasar internasional” Indonesia-Papua Niugini.

Suasana pasar internasional di perbatasan Indonesia-Papua Niugini
Setiap Rabu dan Sabtu digelar pasar internasional Indonesia-Papua Niugini pada daerah perbatasan di sisi Indonesia. Ini momen yang dinantikan warga desa-desa perbatasan PNG.
IKUTI BAGIAN PERJALANAN LAINNYA
- Bagian 50 : Pak Tua Rasta
- Bagian 51: Menuju Rawa Berbahaya
- Bagian 52: Pedagang yang Dibenci
Kuem adalah desa PNG yang terdekat dari lokasi pasar itu. Elisa, si pedagang kulit buaya, berangkat pukul tiga dini hari. Lelaki tua itu mengizinkan saya ikut.
Perahu kami membawa 12 penumpang, termasuk empat anak kecil dan 300 ekor ikan mujair yang masih segar. Sekitar dua jam kemudian, ketika matahari mulai bersinar, kami memasuki aliran utama Sungai Fly, ”benjolan” pada garis lurus perbatasan RI-PNG.
Menyeberangi Sungai Fly, kami masuk ke Sungai Wonam yang berada di wilayah Indonesia. Dua jam kemudian, perahu tiba di rawa yang sunyi. Dari kejauhan tercium bau anyir. ”Indonesia. Kita sudah sampai,” kata pemuda yang mengoperasikan perahu.

Perjalanan menuju pasar internasional di perbatasan Indonesia-Papua Niugini
Yang disebut ”pasar internasional” ini sebenarnya hanya lapangan yang dikelilingi pepohonan tinggi hutan perkebunan, dengan beberapa gubuk kayu tempat istirahat.
Lokasi ini mulai berfungsi sebagai pasar sejak tahun 2010. Pasar ini dikenal sebagai ”bus stop” karena dari tempat itu orang bisa menumpang angkot sampai ke Asiki, kampung Indonesia terdekat yang berjarak sekitar 30 kilometer.
Walaupun tampak seperti ”pasar kaget” yang kumuh, bagi warga desa-desa perbatasan PNG, pasar ini sangat vital. Transaksi utamanya ikan. Orang PNG menjual mujair, dan para pedagang perantara dari Indonesia akan membelinya untuk kemudian menjual kembali ikan-ikan itu ke pasar di Asiki dan Tanahmerah.
Transaksi penting lainnya ialah minyak. Di seberang perbatasan di PNG, minyak langka dan mahal. Warga harus menunggu sampai stok BBM datang dari Kiunga atau Daru, dan harga seliter 10 kina (Rp 50.000). Sementara di sisi perbatasan Indonesia, BBM melimpah dan murah.
Para pedagang dari Indonesia datang ke pasar ini membawa bensin. Mereka membeli BBM dari pom bensin di Asiki dengan seharga Rp 10.500, dan dijual seharga Rp 12.000 per liter kepada warga PNG.

Pejabat dari distrik di Papua Indonesia datang untuk melakukan inspeksi di pasar internasional.
Kebetulan hari itu ada inspeksi dari para pejabat distrik (sebutan untuk kecamatan di Provinsi Papua). Ketika mobil-mobil pejabat berdatangan, para tentara Indonesia di sekitar pasar itu lalu mengumpulkan semua orang PNG ke tengah lapangan.
Para pejabat Indonesia ini sebenarnya orang suku Mandobo yang sama seperti warga Desa Kuem di perbatasan PNG. Namun, garis batas telah membuat mereka bicara bahasa yang berbeda.
Semua pidato disampaikan dalam bahasa Indonesia, dan seorang warga Papua Indonesia diminta menerjemahkannya ke dalam bahasa Mandobo. Namun, kemampuan bahasa Mandobo orang itu terbatas. Akhirnya, seorang warga desa PNG menerjemahkan isi pidato itu ke dalam bahasa Inggris.
Kapolsek bicara tentang perdagangan barang terlarang, terutama alkohol dan ganja, yang sering diselundupkan dari PNG. Sementara Danramil mengingatkan, warga PNG yang bepergian sampai ke kampung pedalaman tanpa membawa paspor atau pas lintas batas akan dihukum dan diusir dari wilayah Indonesia.
Garis batas itu telah menciptakan pemikiran yang berbeda. Walaupun sama-sama orang Mandobo, para pejabat distrik itu semata bicara tentang kepentingan Indonesia.

Warga Papua Niugini umumnya membeli BBM di pasar internasional.
Garis batas juga terlihat di kalangan masyarakat biasa. Semua pedagang ikan dan bensin dari sisi Indonesia adalah warga non-Papua, kebanyakan dari Jawa, Makassar, dan Manado. Sementara di bagian tengah lapangan adalah deretan para perempuan (”mama-mama”) Papua Indonesia yang menggelar dagangan di tanah, seperti mi instan, nasi bungkus, minyak angin, dan baterai.
Gaya hidup orang Papua Indonesia juga lebih terpengaruh Indonesia, sangat kontras dengan warga asli PNG. Seorang mama Papua bernama Rahel mengeluh, anaknya sudah tak mau makan sagu, hanya mau nasi dan mi instan.
Para perempuan Papua ini tinggal di kamp transmigran bernama Kampung Naga, yang tak jauh dari pasar itu dan mayoritas penduduknya orang Jawa. Rahel merasa nyaman dan aman tinggal di kamp transmigran. Dari para transmigran itu, Rahel belajar berdagang.
Di pasar ini, orang asli Papua Indonesia cukup membaur dengan para pendatang non-Papua. Mereka berkomunikasi, berbisnis, berbagi gosip. Sebaliknya, saya melihat ada sekat yang memisahkan antara orang Papua dari sisi Indonesia dan mereka yang dari PNG. Mereka hampir tidak berbicara satu sama lain.
Anita, pedagang Papua Indonesia lainnya, mengaku pernah ke Kuem untuk mengunjungi kerabatnya. Ia hanya tinggal lima hari di Kuem karena tak betah. ”Kita tak bisa tinggal di situ. Tak ada listrik, tak ada air, tak ada televisi,” katanya.
”Seburuk itukah PNG?” tanya saya.
”Ada satu hal yang bagus di sana. Uang rupiah kita di Indonesia itu uang mati, tapi kalau dibawa ke seberang, langsung jadi uang hidup,” katanya sambil menyeringai bangga.
Baca juga : Cermin Identitas di Antara Garis Batas
Ikuti bagian berikutnya dari perjalanan Agustinus Wibowo dalam ”Indonesia dari Seberang Batas” hanya di Kompas.id.