Pemandangan saat perjalanan lewat jalan pintas dari Manda menuju Kuem, Papua Niugini, menjadi salah satu pemandangan terindah yang pernah disaksikan Agustinus Wibowo.
Oleh
Agustinus Wibowo
·4 menit baca
Sudah enam hari saya tinggal di Manda, menantikan tumpangan perahu ke utara. Hari ini mendung tebal menggantung di angkasa. Mendung itu juga menggantung di hati saya: visa Papua Niugini saya hanya tersisa satu minggu, sedangkan saya masih terdampar di pedalaman terpencil ini.
Kemarin sebenarnya saya punya harapan. Satu perahu panjang merapat di Manda. Penumpangnya sekitar sepuluh orang, mayoritas perempuan, semua berasal dari Kuem. Desa itu terletak beberapa kilometer di utara Manda.
Saya sempat bersama Papa Leo—lelaki tua yang paling dihormati di Manda—pergi ke belakang desa, tempat para tamu dari Kuem itu tinggal. Dari sebuah rumah, menghambur keluar seorang perempuan paruh baya, menyambut Papa Leo dalam bahasa Indonesia fasih. ”Pagi, Tete!” katanya. Tete adalah bahasa Melayu Papua yang berarti ’kakek’.
Perempuan itu melirik saya. Papa Leo buru-buru menjelaskan, ”Dia orang Malaysia, turis.” Papa Leo membentangkan tangan kanannya di depan badan saya, memberi kode supaya saya tak bicara apa-apa.
Setelah kami pergi, saya bertanya kepada Papa Leo siapa perempuan itu. ”Dia OPM,” kata Papa Leo singkat.
Daerah perbatasan PNG ini memang ditinggali banyak pengungsi Papua Indonesia dan sebagian besar mereka adalah pendukung gerakan OPM.
”Saya ingin ikut mereka ke Kuem,” kata saya kemudian.
”Tidak boleh,” kata Papa Leo tegas. ”Penduduk Kuem berbeda dengan kami orang Buazi. Kami orang baik, suka bantu orang, bantu kau seperti keluarga sendiri. Di sana suku lain, bahasa lain. Di sana juga banyak OPM, terlalu bahaya.”
Gara-gara Papa Leo tak mengizinkan saya berbicara dengan orang-orang Kuem itu, saya kehilangan kesempatan menumpang perahu mereka dan meninggalkan Manda. Saya lalu mencari Johny Atabakai, pemuda Manda yang selama ini banyak membantu saya.
Dia memberi tahu bahwa Kuem cukup jauh, tapi ada jalan pintas rahasia dari Manda. ”Kalau saya beli bensinnya, kau bisa bantu antar saya ke sana?” tanya saya.
Johny meminta saya menyediakan 6 galon bensin, atau 30 liter, dengan harga 10 kina per liter. Itu total sekitar Rp 1,5 juta. ”Boleh saya bayar pakai rupiah?” tanya saya.
”Kalau rupiah, 500 cukup,” katanya. Maksudnya Rp 500.000. Penduduk Manda sering berbelanja barang Indonesia sehingga di sini rupiah lebih diminati daripada kina.
Papa Leo menyarankan kami berangkat besok pagi karena hari ini sudah tengah hari dan jalan menuju Kuem terlalu bahaya. Tapi, saya bersikeras untuk berangkat hari ini juga karena visa saya tak bisa menunggu lagi. Papa Leo terdiam sejenak. ”Saya ikut,” katanya.
Papa Leo juga mengajak anak bungsunya, Reynold.
Perahu berangkat menyusuri Sungai Fly ke arah utara, dan hati saya semakin berdebar. Itu artinya, sebentar lagi kami akan mencapai bagian ”benjolan” Sungai Fly yang menjadi perbatasan Indonesia dan PNG. Mulai dari mil ke-320, Sungai Fly akan berbelok ke arah Indonesia, dan di sana ada patok perbatasan M-11.
”Bisakah kita berhenti di patok perbatasan? Saya ingin lihat sebentar,” kata saya.
”Tidak bisa. Kita harus masuk jalan pintas sebelum itu,” jawab Papa Leo tegas.
Perahu kami merapat ke tepian di kanan sungai. Papa Leo memerintahkan Johny mematikan mesin. Kami telah sampai di jalan pintas.
Tapi, mana jalannya? Yang saya lihat hanya rumput tinggi dan pekat. Rumput di sini seperti pohon, tingginya lebih dari 2 meter dan batang hijaunya cukup keras. Papa Leo menebas rumput dengan parang, seperti sedang membuka hutan. Kedua lelaki muda menggerakkan perahu dengan menancapkan batang dayung ke dasar air.
Lebih dari satu jam kami berusaha menembus rapatnya rumput tinggi. Mereka bilang, setelah melewati rumput ini, kami akan tiba di hutan, lalu rawa, lalu Sungai Agu, dan barulah kami akan tiba di Kuem.
Perjalanan lewat jalan pintas ini adalah salah satu pemandangan terindah yang pernah saya saksikan. Dunia begitu hening, hanya terdengar kecipak-kecipuk dayung kami. Burung-burung putih berparuh besar bertengger di pepohonan, lalu mengepakkan sayap begitu anggun ke angkasa saat perahu kami mendekat perlahan.
Langit menggelap, hujan rintik dan kabut menghalangi kami melihat ruwetnya tanaman eceng gondok yang rapat menutupi rawa. Warga PNG menyebut eceng gondok dengan bunga sepik.
”Alam berubah cepat sekali,” kata Papa Leo mendesah. ”Dulu ketika saya kecil, sungai ini bersih dan tanah sangat hijau. Kau tak bisa melihat perahu di kejauhan karena semua tertutup pohon. Tapi sekarang, kau bahkan bisa lihat Desa Mipan dari Manda. Ikan tak ada, ular air tak ada, walabi tak ada. Yang ada sekarang hanya bunga sepik.”
Langit semakin gelap, hujan sesekali turun, angin bertiup kencang, membuat kami yang kebasahan tak berhenti menggigil. Kami tersesat berkali-kali.
Kami akhirnya memasuki Sungai Agu. Dalam remang terlihat cahaya lampu di kejauhan. ”Kuem,” kata Papa Leo datar.